Jumat, 24 Desember 2010

UJIAN NASIONAL vs SEPAK BOLA

Opini Lampost : Kamis, 23 Desember 2010

SYAMSUL ZAKARIA
Mahasiswa Prodi Hukum Islam Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Terdengar kabar di berbagai media tentang kebijakan baru terkait ujian nasional (UN). Dalam hal ini pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh telah membuat terobosan baru terkait dengan evaluasi akhir belajar siswa di sekolah. Nilai UN tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. UN yang dilakukan sebagai evaluasi akhir hanya sebagai salah satu penentu keberhasilan siswa di samping penilaian guru terhadap proses belajar siswa selama masa studi. Hal ini tentu membuat lega para praktisi pendidikan/pengajar.

Sejak bergulirnya aturan UN sebagai penentu mutlak kelulusan siswa para pengajar menjadi gelisah. Pasalnya harga diri dipertaruhkan, khususnya guru mata pelajaran yang di-UN-kan, manakala banyak siswa yang tidak lulus nantinya. Belum lagi cercaan dari wali murid yang semakin menambah kesedihan sang guru. Akhirnya tidak jarang jalan yang tidak edukatif ditempuh demi meluluskan para siswanya.

Penulis sendiri merasakan bagaimana dilemanya menghadapi UN. Ketika masih duduk di bangku madrasah aliah (MA) hal itu begitu kentara. Dalam menghadapi UN pihak sekolah sudah jauh hari mempersiapkan segala sesuatunya. Persiapan itu, meliputi bimbel dan intensivitas pembelajaran mata pelajaran yang di-UN-kan di kelas. Belum lagi sekolah mendatangkan motivator ulung untuk memberikan motivasi siswa agar belajar lebih intens dan serius. Semua menjadi kalang kabut dikerjai oleh momok yang bernama UN.

Patut disyukuri karena ujian nasional 2011 nanti sudah tidak memakai aturan yang selama ini berlaku. UN tidak lagi menjadi penentu mutlak kelulusan siswa karena ada faktor lainnya, yaitu nilai rapor dan kepribadian siswa. Penulis berasumsi kebijakan ini adalah sebuah keputusan yang bijak. Walaupun di sisi lain kebijakan ini lahir hanya karena banyaknya tekanan dari pelbagai pihak yang memang tidak setuju dengan adanya UN yang dijadikan patokan mutlak kelulusan siswa. Sebagai seorang akademisi, penulis merasa kita patut memberikan apresiasi terhadap kebijakan itu. Hal ini karena apabila kebijakan itu tidak diubah, semakin menyuburkan praktek pembualan masal.

Sudah maklum penulis kira bahwa belajar adalah sebuah proses pembekalan terhadap siswa dengan pelbagai ilmu dan keahlian yang bermanfaat. Dalam prakteknya belajar adalah perkara yang membutuhkan proses panjang. Sebuah proses yang panjang sudah sepantasnya diperhitungkan untuk menentukan kualitas. Maknanya adalah kualitas siswa tidak semata dihitung melalui evaluasi tertulis dalam wujud UN. Lebih banyak faktor lain yang selaiknya dijadikan acuan keberhasilan siswa. Dengan demikian, evaluasi menjadi lebih akomodatif dan berimbang.

Ujian nasional disakralkan sebagai salah satu acuan keberhasilan siswa adalah benar. Hal ini demi meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Semua orang tidak ada yang memungkiri. Namun ketika UN menjadi acuan mutlak kelulusan siswa justru menjadi dilematis. Seolah proses belajar siswa selama 3 tahun hanya ditentukan dengan ujian yang pada umumnya berlangsung selama lima hari. Boleh jadi siswa jarang (tidak) mengikuti pembelajaran di sekolah tapi bisa dianggap lulus karena berhasil mengerjakan UN. Tentu hal ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri.

Ketika UN tetap dipaksakan menjadi acuan mutlak kelulusan, yang akan terjadi adalah pertarungan sengit antara nilai UN itu sendiri dengan proses belajar. Hal ini ditengarai oleh ketidakseimbangan kedua hal tersebut. Padahal secara lahir, seharusnya proses yang panjanglah yang dinilai signifikan untuk menentukan kelulusan siswa.

Ujian nasional tentu sama sekali berbeda dengan sepak bola. UN adalah sebuah evaluasi pembelajaran sedangkan sepak bola adalah sebuah permainan yang menghibur. UN bukanlah sebuah hiburan yang bisa disamakan dengan sepak bola. Dalam pertandingan sepak bola yang menjadi penentu kemenangan adalah jumlah gol yang dihasilkan. Sebagus dan secantik apa pun permainan tim, kalau tidak mampu menghasilkan gol, tetap dianggap kalah. Ironisnya tim lawan yang sebenarnya tidak mampu bermain cantik bisa menjadi pemenang karena keberuntungan alias hoki lagi berpihak padanya.

Ketika menyaksikan pertandingan sepak bola penonton akan sangat kecewa ketika tim idamannya tidak mampu mengasilkan gol. Hal ini karena dalam kacamata penonton gol adalah tujuan utama dari sebuah pertandingan. Penonton tidak lagi berpikir bagaimana intensivitas latihan para pemain dalam menghadapi pertandingan. Mereka juga tidak pernah memperhitungkan usaha maksimal para pemain untuk menghasilkan sebuah gol. Mereka hanya membutuhkan sebuah gol tercipta untuk memastikan kemenangan tim mereka. Dan mungkin saja hal ini menjadi kebenaran umum.

Para pemain sepak bola yang akan merasa sedih ketika tidak mampu menjebol gawang lawan. Terlebih ketika pemain merasa bahwa latihan yang dilakukan sudah maksimal. Usaha dan permainan dipertontonkan pun semakin menguatkan bahwa timnya layak untuk memenangi pertandingan. Tentu ini menjadi sebuah tekanan batin yang menyebabkan menurunnya kualitas permainan. Berbeda ketika gol tercipta. Gol itu menjadi euforia yang bukan hanya bagi pemain, melainkan juga bagi penonton. Hal ini karena lagi-lagi sepak bola adalah permainan yang orentasi utamanya adalah kemenangan. Dan kemenangan itu hanya bisa ditentukan lewat gol yang tercipta.

Sangat tidak bijak menyamakan sepak bola dengan ujian nasional. UN adalah evaluasi akhir dari sebuah proses yang panjang. Keberhasilan siswa mengerjakan soal UN tidak bisa mewakili keberhasilan studi siswa. Apalagi sampai saat ini UN ditengarai mengandung banyak kecurangan. Hal ini semakin menguatkan bahwa sebenarnya UN tidak efektif untuk menilai keberhasilan studi siswa secara mutlak.

Semoga kebijakan pemerintah ini menjadi permulaan perbaikan mutu pendidikan kita. Indonesia membutuhkan insan cendikia yang bermutu. Bukan hanya mutu yang terwujudkan dengan nilai UN yang tinggi. Mutu yang diharapkan adalah keahlian (skill) dan kredibilitas (credibility) yang tinggi untuk bersama membangun bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar