Minggu, 26 Desember 2010

AGAMA, BUDAYA DAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

AZYUMARDI AZRA


Budaya, pendidikan, dan agama merupakan tiga bidang yang berkaitan satu sama lain. Ketiga-tiganya berkaitan pada tingkat nilai-nilai yang sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi masyarakat.

Pendidikan—selain mencakup proses transfer dan transmissi ilmu pengetahuan—juga merupakan proses yang sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya.

Tetapi, ketiga sumber nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan masyarakat yang berkarakter, berkeadaban, dan berharkat. Budaya, pendidikan dan bahkan agama boleh jadi mengalami disorientasi karena terjadinya perubahan-perubahan cepat berdampak luas, misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali globalisasi.

Kondisi watak atau “karakter” manusia dewasa ini, sejak dari level internasional sampai kepada tingkat personal individual, khususnya bangsa kita, kelihatan mengalami disorientasi. Karena itu, harapan dan seruan dari berbagai kalangan untuk pembangunan kembali watak atau karakter kemanusiaan menjadi semakin meningkat dan nyaring.

Pada tingkat internasional, perdamaian masih jauh daripada berhasil diwujudkan. Bahkan hari-hari kita sekarang ini masih menyaksikan, konflik, kekerasan dan perang di berbagai bagian bumi. Kekerasan dan pembunuhan terus terjadi, misalnya, di Timur Tengah antara Israel dan Palestina, Iraq, dan Afghanistan yang terus bergejolak akibat pendudukan Amerika, Inggris dan sekutu-sekutunya yang berkelanjutan, meski demokrasi seolah mulai mendapatkan akarnya di negeri-negeri ini.

Berbagai kekerasan yang mengorbankan nyawa dan harta benda tersebut terkait dengan masih bertahannya “kekerasan struktural” (structural violence) pada tingkat internasional baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, teknologi, informasi, dan sosial-budaya. Akibatnya, perdamaian hakiki tidak atau belum pernah berhasil diwujudkan.

Pada level bangsa (nation) Indonesia, seperti terlihat dalam sedikit contoh di atas, harus segera diakui bahwa negara kita tidaklah sepenuhnya dalam keadaan in order, bahkan sebaliknya dalam banyak segi masih dalam kondisi disorder. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia hanya mampu mengatasi krisis ekonomi dan politik secara relatif sangat lamban. Politik memang kelihatan relatif lebih stabil sejak masa Presiden Megawati Soekarnoputri hingga hampir berakhirnya masa Presiden SBY sekarang ini, setelah hiru-biru berbagai kontroversi pada masa Presiden Abdurrahman Wahid.

Sementara itu, kondisi ekonomi belum sepenuhnya membaik juga; meski mobil-mobil mewah built up semakin banyak melintasi jalan raya. Kehidupan sangat kontras yang mengerikan. Bahkan lebih mengerikan lagi, Indonesia masih saja terancam disintegrasi sosial dan politik baik secara vertikal maupun horizontal. Benih-benih disintegrasi dan konflik-konflik dan kekerasan sosial masih terus potensial tumbuh karena berbagai faktor: politik, sosial, budaya dan agama yang masih rawan.

Bisa dipastikan, jumlah mereka yang kandas dan terkapar semakin banyak, dengan terpaksanya kembalinya TKI dan TKW dari berbagai negara, apakah karena dipulangkan paksa sebagai “pendatang haram”, atau melarikan diri dari kebuasan majikan mereka. Di negara serumpun Malaysia bangsa kita masih juga disebut “Indon” yang penuh dengan nada pejoratif; kira-kira sama dengan sebutan “the Japs” bagi orang-orang Jepang setelah Perang Dunia II.

Kita memang sudah menjadi “bangsa kuli”, “bangsa TKI/TKW”, yang nyaris tidak lagi memiliki kehormatan dan harga diri. Kalau anda—kalangan sosiolog dan intelegensia lainnya—pergi ke Malaysia, psikologi “bangsa kuli” itu tidak hanya ada di kalangan orang-orang Malaysia, bahkan bisa menghinggapi diri kita sendiri; ada semacam rasa risih melihat TKW/TKI dengan segala keluguannya memenuhi bandara-bandara internasional.

Hasilnya, tidak heran kalau sebagai orang Indonesia, misalnya, hampir dalam setiap kali memperingati Hari Kebangkitan Nasional menyatakan tidak lagi memiliki kebanggaan sebagai orang Indonesia (having no pride as Indonesians). Rasa kebanggaan nasional ini semakin terpuruk saja, ketika kita masih tidak mampu saja membereskan rumahtangga kita. Pejabat-pejabat tinggi Malaysia bahkan pernah mengajari Amien Rais—sewaktu masih menjabat Ketua MPR RI—untuk tidak mencampuri urusan mereka ketika ia mengritik hukuman cambuk bagi TKI illegal yang tertangkap; kira-kira ungkapannya “don’t mess up with our business. Mind your own messy house”.

Ada kepedihan mendalam di sini? Meski bisa terkesan sedikit simplistis dan menyederhanakan masalah, hilangnya kebanggaan sebagai bangsa karena berbagai krisis sosial itu dalam skala besar bersumber dari terjadinya krisis dalam watak dan karakter bangsa. Dan, jika dilacak lebih jauh, krisis dalam watak dan karakter bangsa itu terkait banyak dengan semakin tiadanya harmoni dalam keluarga (Cf. International Education Foundation 2000).

Banyak keluarga mengalami disorientasi bukan hanya karena menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia. Sebagai contoh saja, gaya hidup hedonistik dan materialistik; dan permissif sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan rumahtangga.

Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar dari keluarga dan rumahtangga hampir tidak memiliki watak dan karakter. Banyak di antara anak-anak yang alim dan bajik di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya, seperti perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split personality).

Sekolah menjadi seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini. Dan sekolah selalu menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter bangsa. Padahal, sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat menyangkut kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang rendah. Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah kehilangan relevansinya dengan pembentukan karakter. Sekolah, sebagai konsekuensinya, lebih merupakan sekadar tempat bagi transfer of knowledge daripada character building, tempat pengajaran daripada pendidikan.

Krisis Budaya dan Agama
Pembicaran dan wacana tentang membangun kembali watak guna revitalisasi ketahanan bangsa telah memenuhi ruang publik sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada 1998 hingga sekarang ini—telah lebih daripada satu dasawarsa. Perubahan-perubahan dramatis, cepat dan berjangka panjang dalam kehidupan politik yang pada gilirannya juga menimbulkan disorientasi sosial dan kultural memunculkan wacana dan harapan tentang perlunya pembentukan kembali watak bangsa; ungkapan Presiden pertama RI, Soekarno tentang ‘nation and character building’ kembali menemukan relevansinya.

Berakhirnya kekuasaan Orde Baru, berbarengan dengan munculnya krisis dalam berbagai aspek kehidupan bangsa telah menimbulkan krisis pula dalam watak dan ketahanan bangsa. Semakin derasnya arus globalisasi yang membawa berbagai bentuk dan ekspresi budaya global merupakan faktor tambahan penting yang mengakibatkan pengikisan watak bangsa berlangsung semakin lebih cepat dan luas. Akibat lebih lanjut, krisis watak bangsa menimbulkan disrupsi dan dislokasi dalam kehidupan sosial dan kultural bangsa, sehingga dapat mengancam integritas dan ketahanan bangsa secara keseluruhan.

Padahal, kita mengharapkan terciptanya masyarakat Indonesia yang memiliki jati diri dan ketahanan; berkepribadian dan berkarakter yang tangguh; berpegang teguh pada nilai-nilai demokratis; menghargai tinggi law and order; berkeadilan sosial, politik, dan ekonomi; memiliki kesalehan individual formal dan kesalehan komunal-sosial sekaligus; berkeadaban (civility) dalam lingkup civil society; menghargai keragaman dan kehidupan multikultural; dan memiliki perspektif lokal, nasional dan global sekaligus. Daftar ciri-ciri ideal ini tentu saja masih bisa ditambah lagi.

Masa sejak masa pasca-Soeharto yang sering disebut dengan indah sebagai “masa reformasi” agaknya hanya mampu mewujudkan sebagian dari cita-cita pembentukan masyarakat Indonesia yang berwatak dan berketahanan; tetapi masih banyak lagi agenda yang harus dilakukan. Untuk menyebut satu bidang kehidupan saja, Indonesia memang menjadi lebih demokratis, bahkan kini mungkin “terlalu demokratis”.

Jika pada masa Soeharto kita memiliki “too little too late democracy”, kini kita agaknya mempunyai “too much democracy”, yang secara salah masih saja diekspresikan dalam bentuk demonstrasi yang berkepanjangan. Dengan demikian, konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya terwujud, meski Indonesia sukses melaksanakan Pemilu legislatif dan Presiden 2004; Pemilu legislatif 9 April 2009, dan sebentar lagi Pilpres 8 Juni 2009, yang kita harapkan juga berjalan secara langsung, aman, damai dan fair dan berkeadaban.

Namun pada pihak lain, Pilkada yang berlangsung seolah-olah tidak pernah putus di berbagai daerah juga sering berujung konflik horizontal, seperti pernah terjadi pada Pilkada Maluku Utara dan beberapa daerah lain; keadaban nyaris lenyap dalam aksi-aksi massa yang terlibat dalam pertikaian.

Keadaban (civility) ini penting ditekankan. Karena dalam beberapa tahun terakhir masyarakat kita cenderung semakin kehilangan “keadaban” (civility). Kita menyaksikan amuk massa; tawuran kini tidak lagi hanya terjadi di lingkungan pelajar dan kampung, tetapi juga antar mahasiswa—bahkan di lingkungan satu perguruan tinggi. Merosotnya keadaban ini juga bisa disaksikan pada berbagai kalangan masyarakat lainnya; sejak semakin meluasnya KKN melalui “desentralisasi” korupsi yang menumpang desentralisasi dan otonomi daerah.

Banyak anak bangsa telah kehilangan “rasa malu”, sehingga keadabannya hampir tidak terlihat sama sekali. Bisa dipastikan, kenyataan ini merupakan gejala terjelas dari krisis sosial yang semakin parah dalam masyarakat kita. Karena itulah kita perlu kembali berbicara tentang pendidikan karakter, keluarga mawaddah wa rahmah guna revitalisasi ketahanan bangsa.

Pendidikan Karakter dan Nilai: Keluarga Mawaddah wa Rahmah
Berbicara tentang pendidikan karakter, baik kita mulai dengan ungkapan indah Phillips dalam The Great Learning(2000:11): “If there is righteousness in the heart, there will be beauty in the character; if there is beauty in the character, there will be harmony in the home; if there is harmony in the home, there will be order in the nation; if there is order in the nation, there will be peace in the world”.

Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang kita hadapi seperti dikemukakan di atas, hemat saya, pendidikan karakter merupakan langkah penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri bangsa dan menggalang pembentukan masyarakat Indonesia baru. Tetapi penting untuk segara dikemukakan—sebagaimana terlihat dalam pernyataan Phillips tadi—bahwa pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat).

Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.

Dengan demikian, rumahtangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah kembali menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih sayang (Phillips 2000). Dalam perspektif Islam, keluarga sebagai “school of love” dapat disebut sebagai “madrasah mawaddah wa rahmah, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.

Tidak perlu diungkapkan panjang lebar, Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis dari ummah (bangsa); dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan keadaan ummah itu sendiri. Bangsa terbaik (khayr ummah) yang merupakan ummah wahidah (bangsa yang satu) dan ummah wasath (bangsa yang moderat), sebagaimana dicita-citakan Islam hanya dapat terbentuk melalui keluarga yang dibangun dan dikembangkan atas dasar mawaddah wa rahmah.

Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Anas r.a, keluarga yang baik memiliki empat ciri. Pertama; keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, keluarga di mana setiap anggotanya saling menghormati dan menyayangi; saling asah dan asuh. Ketiga, keluarga yang dari segi nafkah (konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam pembelanjaan. Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya; dan karena itu selalu berusaha meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota keluarganya melalui proses belajar dan pendidikan seumur hidup (life long learning), min al-mahdi ila al-lahdi.

Datang dari keluarga mawaddah wa rahmah dengan ciri-ciri seperti di atas, maka anak-anak telah memiliki potensi dan bekal yang memadai untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Dan, sekali lagi, sekolah—seperti sudah sering dikemukakan banyak orang–seyogyanya tidak hanya menjadi tempat belajar, namun sekaligus juga tempat memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan watak dan pendidikan nilai.

Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka. Seperti dikemukakan Fraenkel (1977:1-2), sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise).

Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola perkembangannya.

Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai. Apakah nilai-nilai tersebut? Secara umum, kajian-kajian tentang nilai biasanya mencakup dua bidang pokok, estetika, dan etika (atau akhlak, moral, budi pekerti).

Estetika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap apa yang dipandang manusia sebagai “indah”, apa yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan standar-standar itu adalah nilai-nilai moral atau akhlak tentang tindakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter. Dari perspektif Islam, menurut Quraish Shihab (1996:321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula.

Dalam konteks itu, al-Qur’an dalam banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama, solidaritas yang sama. Di sinilah, tulis Quraish Shihab, muncul gagasan dan ajaran tentang amar ma`ruf dan nahy munkar; dan tentang fardhu kifayah, tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang buruk.

Pendidikan Nilai: Penanaman
Pembentukan watak melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak untuk dilakukan. Bahkan, kalau kita berbicara tentang masa depan, sekolah bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam jati diri, karakter dan kepribadian. Dan hal ini relevan dan kontekstual bukan hanya di negara-negara yang tengah mengalami krisis watak seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara maju sekalipun (cf. Fraenkel 1977: Kirschenbaum & Simon 1974).

Usaha pembentukan watak melalui sekolah, hemat saya, selain dengan pendidikan karakter di atas, secara berbarengan dapat pula dilakukan melalui pendidikan nilai dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, menerapkan pendekatan “modelling” atau “exemplary” atau “uswah hasanah”. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup (living exemplary) bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.

Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. Usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah; memberi penghargaan (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging) berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk secara terbuka dan kontinu; memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai; melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan; membiasakan bersikap dan bertindak atas niat dan prasangka baik (husn al-zhan) dan tujuan-tujuan ideal; membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik yang diulangi secara terus menerus dan konsisten.

Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-based education). Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan character-based approach ke dalam setiap mata pelajaran yang ada di samping matapelajaran-mata pelajaran khusus untuk pendidikan karakter, seperti pelajaran agama, sejarah, Pancasila dan sebagainya. Memandang kritik terhadap matapelajaran-matapelajaran terakhir ini, maka perlu dilakukan reorientasi baik dari segi isi/muatan dan pendekatan, sehingga mereka tidak hanya menjadi verbalisme dan sekedar hapalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan kembali watak bangsa.

Wallahu a`lam bish-shawab.

Bibliografi
Azra, Azyumardi, 2006, “Faith, Values, and Integrity in Public Life”, makalah disampaikan pada World Ethics Forum: Leadership, Ethics, and Integrity in Public Life, Oxford, International Institute for Public Ethics (IPPE) dan The World Banl, 9-12 April, 2006.

Azra, Azyumardi, 2003 (cetakan 2, 2006), Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Penerbit Kompas.

Azra, Azyumardi, 1999a, “Membangun Kembali Karakter Bangsa: Peran dan Tantangan Perguruan Tinggi”, makalah disampaikan pada Dies Natalis ke-50 Universitas Gadjah Mada, 13 Nopember 1999.

Azra, Azyumardi, 1999b, “Pembinaan Pendidikan Akhlak Didik pada Era Reformasi”, pokok-pokok pikiran untuk Seminar tentang Pendidikan Anak dalam Indonesia Baru, Direktorat Pembinaan Pendidikan Islam pada Sekolah Umum, Depag RI, Jakarta, 2 Nopember 1999.

Azra, Azyumardi, 1999c, “Catatan tentang Evaluasi atas Arah Pendidikan serta Fungsionalisasi Pemikiran Pendidikan di Indonesia”, makalah pada Diskusi Ahli “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”, Yayasan Fase Baru Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1999.

International Education Foundation, 2000, “The Need for Character Education”, makalah pada National Conference on Character Building, Jakarta, 25-26 Nopember, 2000.

Fraenkel, Jack R., 1977, How to Teach about Values: An Analytical Approach, Englewood, NJ: Prentice Hall.

Kirschenbaum, Howard & Sydney B. Simon, 1974, “Values and Futures Movement in Education”, dalam Alvin Toffler (ed.), Learning for Tomorrow: The Role of the Future in Education, New York: Random House.

Navis, AA, 1999, “Pendidikan dalam Membentuk Watak Bangsa”, makalah pada Diskusi Ahli “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”, Yayasan Fase Baru Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1999.

Phillips, C. Thomas, 2000, “Family as the School of Love”, makalah pada National Conference on Character Building, Jakarta, 25-26 Nopember, 2000.

Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan.

*Azyumardi Azra adalah Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 sampai sekarang; dan juga pernah menjabat Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (Mei 2007-Obtober 2010). Sebelumnya, dia adalah Rektor IAIN/UIN selama dua periode (1998-2002, dan 2002-2006). Ia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Komite Akademis Aga Khan International University London (2006-8); anggota Dewan Penasehat Centre for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne); anggota Board of Trustees International Islamic University, Islamabad, Pakistan (2005-sekarang); anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-sekarang); anggota Presidium ICMI (2006-2010).

Memperoleh MA, MPhil dan PhD dari Columbia University, New York (1992), pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Dia mempresentasikan makalah pada banyak seminar dan konperensi baik di dalam maupun luar negeri; dan telah menerbitkan lebih dari 20 buku, yang terakhir adalah Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in Global Contexts (2006), Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development (Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashagate: 2008). Lebih 30 artikelnya dalam bahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional.

Dia juga anggota Dewan Penasehat UNDEF New York (2006-8); International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-9); Multi Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-9); Institute of Global Ethics and Religion (2004-sekarang); Council on Faith, World Economic Forum, Davos, Swiss (2008-sekarang); Bali Democracy Forum (2008-sekarang).

Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun TAF atas peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dan dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15 Agustus 2005 mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.*
Share and Enjoy:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar