Senin, 18 Juli 2011

Kasta Dalam Pendidikan Nasional.


Pengertian kasta sejatinya harus mengacu kepada ajaran agama Hindu. Kasta dalam agama Hindu terbagi menjadi lima macam yaitu kasta brahmana untuk para pendeta, kasta kesatria untuk golongan bangsawan dan prajurit, kasta paria untuk golongan masyarakat yang serba kekurangan serta kasta sudra untuk golongan rakyat biasa dan kasta waisya golongan pedagang, petani, dan tukang. Lalu adakah itu terjadi juga dalam dunia pendidikan nasional ?. Sepertinya tidak persis seperti itu.

Tetapi penggolongan dalam dunia pendidikan nasiobal sepertinya sebuah keharusan. Karena dari sisi jenis pendidikan maka pendidikan nasional kita terdiri dari pendidikan umum, pendidikan kejuruan dan ada juga madrasah dan pesantren. Dapat juga pendidikan nasional dibagi menjadi dua macam, yaitu pendidikan formal dan nonformal. Sedang jenjang pendidikan kita adalah terdiri dari pra sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Tetapi itukah yang disebut kasta. Bukan.

Kelompok yang menuduh adanya kasta kasta dalam pendidikan nasional nampaknya pendekatannya lebih kepada pendekatan ekonomis. karena mahalnya biaya pendidikan sehingga kelompok masyarakat miskin memiliki peluang yang tipis untuk mengikuti pendidikan. Dan mereka terancam untuk tetap bodoh. berbagai progranm pendidikan seperti RSBI, RSBN dan lain lain prakteknya justeru menjadi dalih untuk memungut biaya lebih, yang sulit terikuti masyarakat miskin.

Beranjak dari posisi sekolah kita yang berada ranking yang kurang menguntungkan dibanding sekolah sekolah di berbagai negara maju. Maka undang undang pendidikan nasional kita mengamanatkan agar setiap kota di Kabupaten dan kota setidaknya memiliki satu sekolah yang bertarap internasional. lalu dibentuklah program RSBI, yaitu rintisan sekolah bertarap internasional.

sekolah bertarap Internasional (SBI) didefinisikan sebagai sekolah yang telah memenuhi standar nasional dan ada program yang mengacu kepada sekolah sekolah pada negara negara yang tergabung dalam Organization Economic Corporation Development (OECD) serta sekolah sekolah maju lainnya. Untuk itu masing masing sekolah harus telah memiliki keunggulan, dengan modal keunggulan itu sekolah dapat mengacu kepada zekolah sekolah yang lebih maju.

Cilakanya biaya yang disediakan oleh Pemerintah melalui dana Bantuan Operasional sekolah (BOS) atau Bantuan Operasional Manajemen (BOM) sangat tidak mencukupi. Ditambah lagi berbagai ketidak tepatan dalam penggunaan serta berbagai kebocoran lainnya. BOS dan BOM semula dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dengan sebuh filosofi bahwa ini hanya sekedar bantuan untuk meringankan dana yang harus disiapkan oleh Pemerintah Daerah elalui dana alokasi umum (DAU). dengan mengacu kepada kesepakatan semula yang menggunakan rumusan 5 : 3 : 2, yaitu 50% disipakn oleh Pemerintah Pusat, 30% disiapkan oleh Pemerintah Provinsi dan 30% disiapkan oleh pemerintah kabupaten/ Kota.

Di satu pihak seolah selalu dibebani tugas untuk melakukan terobosan terobosan guna peningkatan mutu pembelajaran, tetapi di lain pihak dana yang tersedia relatif kurang, maka seperti kucing kucingan, berbagai dalih sering dijadikan alasan guna mendanai pelaksanaan operasional pembelajaran ini. Keslitan akan lebih terasa lagi sebenarnya bagi SMK, untuk membiayai praktik di SMK membutuhkan biaya yang sangat mahal. Jangankan di SMK di SMA saja untuk membiaya praktik laboratorium yang menggunakan bahan kimia juga membuthkan biaya besar.

Itulah sebabnya label label yang dilekatkan di sekolah sekolah seperti RSBI, RSSN dan lain semacamnya, sering mengalami dillematis, disatu pihak Ia harus membuktikan kebenaran label itu, tetapi di pihak yang lain sekolah mengalami kekurangan dana.

Pernah ada wacana untuk mengklassifikasikan sekolah sekolah dengan sistem keadron dengan unsur sarana sekolah, mutu pendidik/ tenaga kependidikan, mutu siswa dan keadaan ekonomi orang tua. Bagi sekolah yang telah memiliki sarana yang memadai, mutu pendidik dan tenaga kependidikan baik, siswa cukup berprestasi dan orang tua memiliki kemampuan ekonomi menengah ke atas, maka sekolah ini dibolehkan memungut dana dari orang tua siswa.

Sedang bagi sekolah yang sarana terbatas, mutu pendidik dan tenaga kependidikan harus ditingkatkan, sedang siswa kurang berprestasi sementara ekonomi orang tua hanya menenghah ke bawah, maka sekolah ini dilarang mengutip sumbangan, tetapi dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah.

Setelah diadakan penghitungan unit kos yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran yang harus diselenggarakan oleh sekolah di Lampung oleh Bapeda Lampung tahun 2008, ternyata biaya operasional sekolah yang disediakan oleh Pemerintah bagi SD, SMP dan SMA ternyata memang kurang, banyak sekali biaya operasional dan personal yang sebenarnya belum tersedia. Walaupun anggaran telah mendekati 20%, karena sebagian besar anggaran itu justeru dikelola oleh satker satker non pendidikan.

Menyadari bahwa mutu sekolah tidak sama, keahlian pendidik dan tenaga kependidikan tidak merata, ekonomi orang tua pada umumnya kurang baik, sementara pembiayaan memang kurang, maka biaya pendidikan akan semakin dirasakan berat oleh masyarakat. Dilain pihak akan terbentuk dengan sendirinya akan adanya kasta kasta dalam pendidikan. Itupun kalau istilah kasta dibenarkan dalam kontek ini.

Minggu, 17 Juli 2011

Skandal Cita-cita Pendidikan Sastra

EKO TRIONO

/1/

TAHUN ajaran baru 2011/2012 telah dimulai di sekolah, cita-cita disemai, dan impian dilepaskan setinggi awan suci, tetapi siapa di antara mereka yang datang dan sengaja bercita-cita menjadi seorang sastrawan? Bukan pegawai negeri [polisi, guru, tentara], artis, dokter, dan seterusnya. Tidak, nyaris tidak ada, sebab tidak “wajar” yang demikian, kecuali pada beberapa sekolah di Madura yang anak didiknya telah berani bercita-cita menjadi seorang penyair, pekerja puisi. Padahal cita-cita mereka adalah gambaran masa depan bangsa pada suatu hari nanti.

Bagi sebagian besar penduduk Indonesia, topik ini memang terdengar tidak penting untuk dibicarakan. Mereka terbiasa—mungkin juga dibiasakan—menganggap sastra adalah hal yang tidak lebih penting dari ekonomi, politik, hukum, dan sembako. Jadilah kemudian: simbol sebuah mata dari rantai lingkaran setan yang terus melilit dunia literasi Indonesia, sebuah ...mata sangkur [yang] menghujam mata batin... karena mereka terlalu serakah hanya... mengejar mata uang (dinukil dari sajak W.S. Rendra, Mata Kejora).

Para orang tua dengan sadar menjauhkan anak jadi pekerja sastra, sebagian besar karena alasan masa depan ekonominya kelak, dan akibatnya anak tak pernah sempat menulisnya menjadi cita-cita, bahkan yang paling rahasia di antara cita-cita rahasia sekalipun. Dan hancur—seperti kata para ahli—hancurlah kemudian, dengan perlahan yang menyakinkan, sebuah bangsa yang telah jauh dari baca-sastra: dengan menjangkitnya ketidakhumanisan, penindasan, korup, ketidakadilan sosial, dan seterusnya.

Dengan begitu, manjurlah pula hubungan sebab-akibat ini: jika ingin menghancurkan sebuah umat jauhkanlah mereka dari kitab sucinya (penulis sarikan dari perkataan seorang nabi), dan jika ingin menghancurkan sebuah bangsa jauhkanlah mereka dari buku dan literasinya. Apa, kenapa, dan bagaimana semua ini bisa disadari kembali?

/2/

SENGAJA penulis menggunakan istilah “disadari kembali”, karena pada akhir abad XVIII cikal Indonesia sadar bahwa penjajahan (yang sama dengan penderitaan) yang menghantui selama berabad, salah satu sebabnya adalah kegagalan menguasai mantra dari ilmu dan pengetahuan. Mantra itu bernama: tulisan atau kompleksnya adalah literasi. Awal 1900-an munculah beragam surat kabar pribumi dan pergerakan dimulai dengan pena; koordinasi, propaganda, transfer pengetahuan, dan seterusnya. Sampai kemudian mereka berhasil meraih kemerdekaan.

Tentu kenyataan itu bukanlah ingatan jamak dari manusia Indonesia.

Sebagian besar, ketika mengingat perjuangan, hanyalah kenangan tentang darah, senjata, pertempuran, dan kematian. Ini salah satu biang kerok ganjil yang nyaris mewabah hingga kini, karena semua monumen berpatung (bahkan nama jalan) dan teks sejarah perjuangan kemerdekaan didominasi oleh dunia kekerasan militer. Tidak ada nama jalan seorang sastrawan atau teks dari judul pleidoi Indonesia Menggugat-nya Bung Karno yang membawa bangsa ini dipeluk dukungan semesta, dan juga catatan atau karya lain dari para pahlawan-pahlawan nonmiliter, lebih tepatnya pahlawan-pahlawan literasi [tidak melulu pahwalan revolusi] seperti Chairil Anwar dengan propaganda beberapa puisinya di zaman perjuangan.

Dan, bukankah juga Bung Karno, orang nomor satu yang berteman dengan Chairil itu, tidak bertempur di medan perang? Ia justru mengisap jutaan buku, merakit kata, menyetel strategi, dan menggempur dengan jitu-menyakinkan dalam teks, termasuk proklamasi hingga orang-orang bertepuk girang dan kita semua menjadi senang? Meski kemudian Bung Karno aneh juga ternyata. Ia yang memulai mode pelarangan buku dengan keluarnya UU Nomor: 14/PNPS/1963.

Kilas balik ini kecil, tetapi penting artinya untuk membuka beberapa pemikiran dasar dari sikap antiliterasi sebagian besar penduduk Indonesia. Pertama, sejumlah oknum telah mencederai sejarah. Sejarah adalah kiblat cerita dan cita-cita. Perhatikanlah efeknya: menjadi tentara lebih terkesan mulia, dan dianggap pahlawan, daripada menjadi seorang sastrawan. Ini kemudian melebar tradisi menjadi berebut kolom cita-cita dalam peluk dan naungan gaji abadi hingga mati, sebagai pegawai negeri [segala jenis pegawai negeri dari ‘seleksi’ sampai pemilu], dengan tak peduli cara apa pun harus dilalui. Percayalah, dari sinilah korupsi, kolusi, dan nepotisme sesungguhnya dimulai; ketika uang bulanan resmi telah menjadi cita-cita yang paling benderang untuk dijunjung tinggi, untuk disampaikan ke anak-anak dan dituliskan ke sela-sela putih awan suci di langit Tuhan yang seluas bumi.

Kedua, bangsa kita masih dijajah dan akan menghancurkan dirinnya sendiri. Hanya bangsa yang masih dijajahlah yang mual terhadap literasi. Bedakan dengan China, Jepang, Eropa, Amerika, dan negara lain yang benar-benar merdeka. Tandanya gampang: sejauh mana daya baca dan daya karya warga negaranya, bukan daya citra dan daya konsum-manjaisnya. Sekali lagi kita masih dijajah, dijajah oleh “negeri” lain dan pemikiran yang tidak tepat dari dalam diri kita sendiri. Itu terlihat dari cita-cita para kanak masuk sekolah setelah libur panjang berkemas pulang. Sungguh, cita-cita mereka yang ditulis pada balon dan di lambung tinggi itu adalah cita-cita sebuah bangsa pada kelak nanti.

/3/

Kita memerlukan revolusi. Dan, berhentilah memaknai revolusi secara fisik, secara ornamental. Itu penyakit.

Revolusi itu kita namai: revolusi cita-cita. Sementara ini, anak-anak bercita-cita dengan meniru keadaan sekelilingnya atau atas dorongan orang tua [yang cenderung mempertimbangkan aspek ekonomi]. Padahal, jumlah penduduk Indonesia terus membesar. Jika pekerjaan yang diperebutkan itu-itu saja, maka karakter buruk [KKN] dalam persaingan tidak dapat dihindarkan dan bangsa ini akan berjalan di tempat karena banyak sektor lain yang tidak tergarap: seni, budaya, sastra, hutan, sawah, gunung, lautan, dan seterusnya. Anak-anak bangsa harus memiliki cita-cita yang proporsional dan rasional. Termasuk boleh bercita-cita menjadi seorang sastrawan.

Dengan demikian, pendidikan sastra di sekolah pun jadinya bukan lagi sekedar formalitas kurikulum sewajarnya, yang berarti termasuk guru ajar di dalamnya, melainkan semacam anak tangga yang harus dikuasai untuk bisa mencapai cita-cita menjadi seorang sastrawan. Ini akan membuat sektor literasi bangsa kembali bangkit. Yang artinya, akan kembali merevolusi segala macam penjajahan baik atas nama politik maupun ideologi, yang selalu menutupi kejujuran. Percayalah, karena sastra senantiasa mengajarkan keindahan dan kebaikan terhadap sesama manusia, bukan sebaliknya.

Eko Triono, Sastrawan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Juli 2011

Perpustakaan Buat Para Ibu

Perpustakaan anak, untuk anak, dan oleh anak, sudah kami coba walau praktiknya butuh dedikasi lagi. Kalau nggak diurus, perpustakaan ya begitu-begitu saja, tak berkembang. Satu lagi cita-cita yang masih belum terealisasi, yaitu perpustakaan buat para ibu. Mengapa ibu? Karena mereka-lah yang menjadi kontroler pendidikan di rumah. Mereka harus berpengetahuan untuk mendidik anak-anaknya, dan buku adalah satu media pendidikan yang efektif.

Perpustakaan buat para ibu semestinya dianggap penting sejajar dengan taman bacaan/perpustakaan anak. Bahkan dengan gerakan 'ibu membaca', maka secara paralel akan memicu motivasi anak-anak untuk juga membaca. Bukankah anak-anak adalah peniru yang hebat?

Sekolah saja tidak cukup untuk menumbuhkan minat membaca. Mayoritas anak-anak yang saya temui tidak terlalu memiliki kebutuhan terhadap buku sebagai 'makanan' otak. Buku bagi mereka hanyalah sumber hafalan yang dibaca untuk ulangan atau ujian.

Kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka dengan kebiasaan itu. Rumah dan sekolah faktanya memang sama-sama tidak terlalu membangun iklim membaca, sehingga wajar anak-anak pun tak merasa perlu untuk melakukannya.

Akan tetapi, mengingat harga buku juga tidak-lah terlalu murah. Mengingat tak semua keluarga punya anggaran cukup untuk beli buku. Mengingat, sebagian ibu juga masih tidak merasa perlu membaca buku, maka perpustakaan yang disediakan khusus untuk mereka akan sangat membantu dan mengedukasi.

Wacana ini bukan sebuah kemusykilan. Siapapun bisa membuka taman bacaan/perpustakaan semacam ini asalkan mau. Mulai dari visi di atas, energi mudah-mudahan terkumpul. Meski dalam praktik dibutuhkan keseriusan para pengelola perpustakaan, namun coba saja dan coba saja memulainya. Biarkan hasilnya bergulir. Mudah-mudahan memberikan perubahan yang signifikan. Kita tak bisa hanya andalkan sekolah formal untuk pendidikan. Kita butuh gerak tambahan, sehingga rasa butuh akan ilmu pengetahuan tumbuh dari dalam, bukan dari 'paksaan' eksternal.


Selasa, 05 Juli 2011

RSBI Tak Punya Filosofi



BANDAR LAMPUNG (Lampost): Program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dinilai tidak memiliki dasar filosofis dan strategi kebudayaan. Akibatnya, program ini hanya memenuhi kebutuhan jangka pendek dan bersifat pragmatis.

Hal itu dikatakan Dekan Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (UKI) Fajar Setiawan Roekminto dalam diskusi RSBI di kantor redaksi Lampung Post, Minggu (19-6).

Diskusi ini dihadiri Idris H.M. Noor dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), yang memiliki agenda melakukan penelitian tentang RSBI di Lampung.

Celakanya, kata Fajar, kebijakan RSBI juga tidak ditunjang dengan strategi pengembangan pendidikan bermuatan kebudayaan sehingga dapat dikatakan program ini bermuara kepada kegagalan. Bahkan, menurut dia, perkembangan RSBI justru bertentangan dengan program pemerintah yang saat ini mewacanakan dan menggembar-gemborkan pendidikan karakter dan kebangsaan.

"Bagaimana anak memiliki karakter yang baik, mampu menghargai dan menghormati orang lain, jika sedari kecil sudah diajari untuk bersaing tidak sehat dam tumbuh dalam iklim pendidikan yang diskriminatif," kata dia.

Fajar mencurigai motif berkembangnya RSBI di Indonesia adalah untuk mengomersialisasikan pendidikan karena RSBI yang nanti berhasil menjadi SBI tak ada bedanya dengan sekolah swasta. "Jika sudah menjadi sekolah SBI, mereka tidak lagi mendapat bantuan dari pemerintah dan memiliki kebebasan untuk memungut biaya dari masyarakat, dan yang terjadi adalah komersialisasi pendidikan," kata Fajar.

Ia mengatakan dalam menjalankan kebijakan pendidikan, pemerintah harus berpegang pada filosofi dasar pendidikan mengangkat harkat derajat manusia setinggi-tingginya, yang tentunya dilakukan tampa ada unsur diskriminasi.

Dalam diskusi tersebut juga terungkap tentang kemampuan guru RSBI tidak jauh beda dengan guru di sekolah reguler. Kemampuan guru dalam berbahasa Inggris, misalnya, sangat kurang. Akibatnya, pelajaran Fisika yang diantarkan dengan bahasa Inggris menyulitkan siswa RSBI memahami apa yang dimaksud guru.

“Jangankan bahasa Inggris. Belajar Fisika menggunakan bahasa Indonesia saja masih sulit,” kata Idris.

Menurut Idris, RSBI akan dievaluasi dua tahun lagi, apakah layak dilanjutkan atau dihapus saja. “Kan, waktunya tujuh tahun untuk dievaluasi. Sekarang sudah lima tahun, tinggal dua tahun lagi. Masalahnya, kalau nanti dihapus, muncul pertanyaan selama tujuh tahun ini ngapain aja,” ujarnya sambil tertawa. (MG1/S-1)

Sumber: Lampung Post, Senin, 20 Juni 2011