Jumat, 31 Desember 2010

Belajar Menyulam

Mengawali tahun 2011. Bismillah. Ingin lebih banyak menulis, merekam banyak peristiwa kehidupan supaya pelajarannya bisa diambil. Salah satunya adalah kegiatan anak-anak pada akhir Desember 2010.

Mengalir. Mungkin agak tepat mewakili gambaran aktivitas belajar kami. Meskipun saya tak sepenuhnya setuju dengan kata 'mengalir' jika konotasinya tak tentu tujuan, namun mengalir dengan membawa visi, jelas itu sangat menyenangkan.

Saya punya cita-cita, anak-anak tetap memiliki keterampilan 'klasik'seperti menyulam, menjahit, menganyam, merajut, dan sejenisnya. Kini sedikit orang masih menganggapnya penting,namun bagi saya hal itu tetap dibutuhkan supaya peninggalan budaya tak punah begitu saja. Apalagi, sebenarnya menurut saya aktivitas semacam itu jauh lebih bermanfaat daripada anak-anak keluyuran tak tentu di luaran. Mudah-mudahan akan menjadi bekal alternatif bagi anak-anak dalam melewatkan masa remajanya nanti.

Alhamdulillah, perlahan-lahan, meski awalnya tak terlalu tertarik, Azkia dan Luqman mulai mau belajar menyulam. Nenek mereka yang sedang bersama kami menjadi sumber belajar yang penuh kasih sayang. Usai nenek mengajar anak-anak anggota perpustakaan yang juga antusias belajar menyulam, anak-anak kami mengambil sisa waktu setelahnya di saat senggang.

Keterampilan klasik lainnya secara bertahap mudah-mudahan bisa juga mereka pelajari. Selain menjadi terapi kesabaran dan ketelitian, keterampilan klasik menurut saya bisa melembutkan jiwa, membuat anak-anak lebih terlatih mengontrol dirinya. Karena itulah, saya tak hanya menstimulus anak perempuan saya untuk mempelajari keterampilan ini, tapi juga anak laki-laki saya. Toh dia tetap tak kehilangan identitas gender-nya dengan melakukan kegiatan ini. Ia tetap bersepeda, memanjat, main bola. Keterampilan dipilah-pilah berdasarkan gender sudah bukan zamannya lagi.

Mudah-mudahan semua usaha ini tak sia-sia. Dan kita semua tahu, pendidikan bukanlah pekerjaan yang setahun atau dua tahun bisa diperoleh hasilnya. Pendidikan adalah proses panjang. Semoga saya tetap konsisten. Amin.

Kamis, 30 Desember 2010

Peran Media Penting untuk Pengetahuan Guru

Ruwa Jurai Lampost : Kamis, 30 Desember 2010


BLAMBANGAN UMPU (Lampost): Peran media sangat penting dan dapat memberikan informasi, baik dalam lingkup ilmu, teknologi maupuan wawasan pengetahuan para guru.

"Tidak ada jalan lain mencerdaskan bangsa ini, kecuali dengan membaca. Semua akses informasi akan kita ketahui dan membuat kita cerdas," kata Kepala Dinas Pendidikan Way Kanan Gino Vanolie, dalam sosialisasi peran media dalam pendidikan, Rabu (29-12).

Menurut dia, kerja sama dengan media Lampung Post dapat menjadikan dunia pendidikan di Way Kanan menjadi lebih intelektual. Kerja sama tersebut perlu ditindaklanjuti dan lebih ditingkatkan. "Apalagi, sekolah merupakan pusat pembudayaan dan guru sebagai aktor penggeraknya," kata Gino.

Sementara itu, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat menjelaskan minat baca koran di negara maju, seperti Jepang, Amerika, dan Singapura, sangat tinggi, mencapai satu media tiga orang.

Sedangkan di Indonesia sangat rendah. Hal tersebut menunjukkan negara yang maju dan besar ketika rakyatnya gemar membaca. Bahkat, kata Djadjat, di Jepang profesi seorang guru sangat-sangat dihormati sejak terjadi Perang Dunia II.

Dengan seluruh guru, negara Jepang dapat menjadi maju dan besar dalam bidang teknologi. "Negera Jepang mempunyai prinsip, maju, malu, dan makasih," kata dia.

Sebelumnya, mulai tahun 2011, pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Way Kanan wajib membayar zakat mal sebesar 2,5% dari gaji yang diterima. Nantinya, dana itu digunakan untuk kegiatan sosial di kabupaten setempat.

Hal itu dikatakan Bupati Way Kanan Bustami Zainudin, saat membuka rapat koordinasi seluruh kepala sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiah (MI) se-kabupaten setempat.

Rangkaian kegiatan dikemas sekaligus dengan sosialisasi peran media dalam peningkatan kualitas pendidik, bekerja sama dan dihadiri Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat.

Untuk pemungutan zakat mal itu, kata Bustami, pihaknya akan membentuk badan amil zakat. Di antaranya terdiri dari kepala satuan kerja sampai dengan seluruh UPTD tingkat kecamatan. "Merekalah yang nantinya memungut langsung zakat mal yang akan dibayar PNS," ujarnya.

Untuk satu tahunnya, kata dia, jumlah keseluruhan gaji PNS di Way Kanan mencapai Rp280 miliar. Jika dipungut sebesar Rp2,5%, uang yang dapat dikumpulkan sebanyak Rp7 miliar. Dana itu dapat digunakan untuk kegiatan sosial berupa perbaikan sekolah dan honor guru mengaji. (LEH/D-3)

Pengawasan Bos Harus Diubah

Pendidikan Lampost : Kamis, 30 Desember 2010

Pengawasan BOS Harus Diubah

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Mekanisme pengawasan bantuan operasional sekolah (BOS) harus diubah untuk meminimalkan, bahkan menghapus penyimpangan.

“Jika penyalurannya berubah, mekanisme pengawasan pun harus diubah. Kalau dulu pertanggungjawabannya dari Pemerintah Provinsi ke Pusat, sekarang harus dari eksekutif ke DPRD. Ini wajar karena penyaluran BOS mulai 2011 menjadi dari bendahara negara disalurkan ke pemerintah kabupaten kota melalui APBD sebelum ke sekolah-sekolah,” kata Koordinator Komite Antikorupsi (Koak) Lampung Ahmad Yulden Erwin di Bandar Lampung kemarin.

Ia dimintakan komentarnya bertalian dengan keputusan pemerintah yang akan mengubah mekanisme penyaluran dana BOS mulai 2011. Jika selama ini dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Provinsi lalu diserahkan ke sekolah, kini dari bendahara negara disalurkan ke pemkab/pemkot lalu ke sekolah.

Erwin mengatakan selama ini pelaporan dana BOS dilakukan pemerintah provinsi ke pemerintah pusat setelah sekolah memberikan laporan.

Hal senada juga diutarakan Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Lampung Sutopo Ghani Nugroho. Menurut dia, perubahan mekanisme ini memberikan peluang melakukan pengawasan penggunaan BOS secara lebih ketat.

"Pada sistem lama pengawasan dana BOS di lapangan tidak bisa dilakukan secara ketat. Badan Pemeriksa Keuangan selama ini hanya melakukan pengawasan dengan jumlah sampel yang sangat terbatas," kata dia.

Menurut Sutopo, status dana BOS yang menjadi dana dekonsentrasi pendidikan dari Kementerian Pendidikan Nasional yang dilimpahkan Pusat ke daerah menyebabkan masyarakat tidak memiliki akses untuk melakukan pengawasan.

"Jika dana BOS sudah menjadi bagian dari dana alokasi umum daerah, pengawasan persekolah semestinya dapat dilakukan. Karena, kekuasaan anggaran tidak lagi berada pada Pemerintah Pusat melainkan pemerintah derah," kata dia.

Sutopo mengatakan dengan demikian lembaga pengawas keuangan seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dapat melakukan pengawasan langsung ke setiap sekolah. (MG14/S-1)

Rabu, 29 Desember 2010

Mekanisme Baru BOS Rawan Penyimpangan

Pendidikan Lampost : Rabu, 29 Desember 2010

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Mekanisme penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang kini dari bendahara Pemerintah Pusat langsung diserahkan lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebelum disalurkan ke sekolah-sekolah dinilai rawan penyimpangan. Oleh karena itu, perlu pengawasan ketat untuk memantau penyaluran tersebut.

Demikian antara lain kesimpulan Lampung Post dari perbincangan terpisah dengan Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Lampung Sutopo Ghani Nugroho dan Koordinator Komite Anti-Korupsi (Koak) Lampung Ahmad Yulden Erwin, di Bandar Lampung, Selasa (28-12).

Dalam jumpa pers di Kemendiknas, Jakarta, Senin (27-12), Mendiknas M. Nuh menjelaskan mekanisme penyaluran BOS diubah mulai 2011. Kalau dahulu dari Kemendiknas ke sekolah-sekolah, kini penyalurannya langsung dari bendahara negara dikirim ke kabupaten/kota melalui mekanisme APBD sebelum disalurkan ke sekolah-sekolah penerima dana BOS.

Menurut Erwin, tidak ada jaminan perubahan format ini akan meminimalisasi terjadinya praktek penyimpangan penggunaan dana BOS. Penyimpangan selama ini terjadi karena mental aparatur, bukan pada sistem.

"Celakanya pemerintah juga sepertinya tidak siap melakukan perubahan mekanisme penyaluran dana BOS ini. Buktinya, hingga kini petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis saja belum ada, padahal akan digulirkan tahun depan," ujarnya.

Namun, Erwin menambahkan dengan diubahnya dana BOS yang semulai bagian dari dana dekonsentrasi pendidikan menjadi pendapatan daerah atau masuk dalam APBD juga memberikan hal positif.

"Ketika dana BOS menjadi dana dekon, maka dewan perwakilan daerah tidak memiliki hak pengawasan. Namun, dengan dijadikannya dana BOS dalam bagian APBD daerah, DPRD dapat melakukan fungsi pengawasan," kata dia.

Hal senada juga diutarakan Sutopo Ghani Nugroho. Menurut dia, perubahan sistem itu memiliki dampak positif maupun negatif. "Lima puluh-lima puluh lah. Apakah akan menjadi baik atau buruk," kata Topo.

Sisi positifnya, menurut Topo, fungsi pengawasan dana BOS kini dapat dilakukan karena Dewan kini memiliki akses untuk melakukan pengawasan, begitu pula dengan instrumen pengawasan lainnya kini dapat melakukan pengawasan langsung ke sekolah-sekolah.

"Negatifnya ya tetap terjadi permainan karena Dinas Pendidikan di daerah kini memiliki kekuasaan, maka dapat saja terjadi permainan antara sekolah dan pihak dinas. Artinya cuma pindah tangan sajalah," kata dia.

Topo menyatakan dengan menjadi bagian dari APBD daerah, pertanggungjawaban penggunaan dana BOS kini harus dilaporkan oleh kepala daerah dalam rapat paripurna DPRD setiap tahunnya. Ini juga salah satu peluang Dewan untuk melakukan pengawasan. (MG14/S-1)

Televisi Punya Pengaruh Lebih Dahsyat Pada Anak

Pendidikan Lampost : Rabu, 29 Desember 2010

‘STADIUM GENERAL’

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Televisi memiliki kekuatan memengaruhi sikap dan perilaku anak lebih dahsyat dibandingkan dengan media lainnya. Siaran televisi kini telah memasuki ruang keluarga di Indonesia dalam durasi lebih dari 20 jam sehari. Tanpa bimbingan orang tua, televisi dapat berdampak negatif bagi anak.

Hal itu disampaikan Nina Mutmainnah, wakil ketua umum Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sekaligus akademisi Universitas Indonesia pada stadium general di Jurusan Komunikasi FISIP Unila, Selasa (28-12).

Ia mengatakan di antara berbagai media massa, televisi memainkan peran terbesar dalam menyajikan informasi yang tidak layak dan terlalu dini bagi bagi anak-anak.

"Menurut para pakar media dan psikologi, di balik keunggulan yang dimilikinya, televisi berpotensi besar meninggalkan dampak negatif di tengah masyarakat, khususnya anak-anak," kata dia.

Memang ada usaha untuk menggerakkan para orang tua agar mengarahkan anak mereka menonton program atau acara yang dikhususkan untuk mereka saja, tetapi pada prakteknya sedikit sekali orang tua yang memperhatikan ini.

"Lebih mengkhawatirkan, kebanyakan orang tua tidak sadar akan kebebasan media yang kurang baik atas anak-anak. Anak-anak tidak diawasi dengan baik saat menonton televisi. Dengan kondisi ini sangat dikawatirkan bagaimana dampaknya bagi perkembangan anak-anak," ujar Nina.

Ketua Umum HMJ Ilmu Komunikasi FISIP Unila Fitra Fatahillah mengatakan acara stadium general ini diikuti lebih dari 200 mahasiswa baik dari jurusan komunikasi maupun jurusan lainnya di lingkungan FISIP Unila. (MG14/S-1)

Kisah Akhiran "ir" dan "isasi"

Pendidikan Lampost : Rabu, 29 Desember 2010

LARAS BAHASA

OYOS SAROSO, HN.

GARA-GARA Soekarno-Hatta "memproklamasikan" kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka akhiran "ir" seolah menjadi salah satu khazanah akhiran dalam bahasa Indonesia. Maka, dalam praktek berbahasa sehari-hari, banyak orang latah dengan sering menyebut kata "koordinir", "mengakomodir", "mempolitisir", dan sebagainya.

Sialnya, pemakaian akhiran "ir" ini sungguh produktif. Mungkin karena masyarakat gemar analogi. “Mengkoordinir” pembentukannya dianalogikan dengan “memproklamirkan”. Padahal, sebenarnya sudah ada padanan akhiran “ir” dalam bahasa Indonesia, yaitu "isasi". Namun, nah di sinilah lucunya, akhiran "sasi" atau "isasi" itu sendiri sebenarnya juga bukan akhiran asli bahasa Indonesia. Ia merupakan serapan dari akhiran bahasa asing.

Jika ditinjau struktur mormofologi kata, sebenarnya bahasa Indonesia tidak mengenal akhiran -si, -isasi, atau -sasi. Tumbuh dan berkembangnya akhiran tersebut pada awalnya adalah sebuah anomali bahasa. Namun, kemudian berkembang menjadi analogi. Sebagai anomali atau penyimpangan berarti pemakaiannya salah. Namun, kalau akhiran itu sudah dianggap sebagai akhiran yang benar (oleh ahli bahasa dan Pusat Bahasa) berarti akhiran "si, -isasi, -sasi" masuk kategori analogi.

Maka, mulai sekarang, mari mencoba lebih memakai kata memproklamasikan (bukan memproklamirkan), mengorganisasikan (bukan mengorganisir), mengoordinasikan (bukan mengkoordinir). Namun, jangan pula menjadi latah dan menganggap semua kata bisa ditambahi akhiran -isasi. Hanya kata yang berasal dari kata dasar serapan (diambil dari bahasa asing) yang bisa dibentuk menjadi kata bentukan dengan akhiran “-asi” atau "isasi".

Jadi, upaya memasyarakat tanaman lamtoro gung, ternak lele, dan program pompa air masuk desa jangan pula kemudian disebut dengan “lamtoronisasi” atau “lamtoroisasi”, “lelenisasi” atau “lelenisasi”, dan “pompaisasi” atau “pompanisasi”. Jangan latah dan tetaplah jangan malas untuk menyebut usaha memasyarakat menanam pohon lamtoro, usaha beternak lele, dan gerakan pemasangan pompa air. Memang, itu kurang praktis karena kata berubah menjadi frase sehingga menjadi jauh lebih panjang. Namun, berbahasa itu bukan panjang-pendek, tapi soal taat asas.

Kalaupun akhiran -isasi sudah dianggap benar menurut bahasa Indonesia, tidak selayaknya kita lantas latah memproduksi bentukan kata dengan akhiran "isasi" secara berlebihan. Sebab, kata yang dibentuk dengan campur tangan akhiran “isasi” sebenarnya bisa diindonesiakan dengan tetap ciamik dengan konfiks "peng-an".

Kata dasar "kader" yang berubah menjadi "kaderisasi" (masih berbau asing) artinya tetap sama dengan peng-kader-an. Karena fonem 'k' luluh, menjadi mengaderan. Bukankah itu juga ciamik dan efisien? Yang perlu diingat, ada kata dasar berfonem s, p, t, k, yang masih bisa ditoleransi tidak luluh jika ia masih terasa sebagai kata asing.

Jadi, sebenarnya kita tidak perlu merasa lebih bergengsi memakai kata bentukan dengan akhiran "isasi". Dengan begitu, tidak seharusnya kita baru merasa sebagai kelompok intelektual atau kelompok terpelajar kalau sudah bisa sering memakai kata yang ada "bau-bau" asingnya. ***

*Jurnalis

Kearifan Lokal daerah Lampung adalah Piil Pesenggiri


Kearifan lokal atau local wisdom atau genius lokal kini semakin penting untuk didalami, berkenaan dengan rencana Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan karakter bangsa dan ekonomi kreatip. Masing masing daerah memiliki kerifan lokal. Letak geografis dan perjalanan sejarah politik suatu daerah melahirkan kearifan lokal yang berkembang didaerah tersebut..

Demikian juga halnya dengan daerah Lampung, akibat letak geografis dan perjalanan sejarah politik masa lalu serta kontak kontak budaya yang selama itu terjadi, telah melahirkan genius lokal yang telah berhasil menghantar masyarakat Lampung ke era sekarang. Genius lokal atau kearifan lokal adalah merupakan sesuatu yang bernilai dan disepakati untuk dijadikan pegangan bersama sehingga tetap tertanam dalam waktu yang sedemikian lama.

Ciri Kearifan Lokal.


Ada beberapa ciri ciri kearifan lokal, yaitu : (1) memiliki kemampuan bertahan dari gempuran budaya lain, (2) memiliki kemampuan untuk mengakomodasi budaya luar, (3) memiliki kemampuan mengintegrasikan budaya luar ke dalam budaya lokal, (4) memiliki kemampuan untuk mengendalikan, dan (5) memiliki kemampuan untuk memberikan arahan dalam perkembangannya. Ditinjau dari kelima ciri tersebut maka piil pesenggiri pantas untuk disebut sebagai genius lokal, lokal wisdom atau kearifan lokal.

Menakar Piil Pesenggiri.


Piil pesenggiri sepertinya tak terpisahkan dari prinsip hidup masyarakat Lampung dari era yang satu ke era yang lain. Kalau boleh ditetapkan periodeisasinya adalah terdiri dari pra Islam, masa Islam dan era modern. Pada era modern ini ternyata tetap saja piil pesenggiri menarik untuk dibicarakan, dan komunitas yang cukup luas tetap mendukungnya.

Dahulu masyarakat adat budaya Lampung hanya memiliki ‘piil’ belaka (tampa pesenggiri) dengan unsur : Laki laki piilnya perempuan, perempuan pillnya harta, perhiasan dan makanan. Anak perempuan piilnya kelakuan dan anak laki laki piilnya adalah perkataan.Kaidah ini mampu bertahan dalam waktu yang tidak sebentar. Dengan masuknya agama Islam dan terjadi kontak budaya dengan masyarakat Banten, sebagai penyebar agama Islam di Lampung, maka piilpun berubah atau tepatnya ditambah menjadi “Piil Pesenggiri”. Ada kata “pesenggiri” berhasil ditambahkan. Dan unsurnyapun berubah menjadi Nemui nyimah. Nengah Nyappur, sakai sambaian dan Juluk Adek.

Kata pesenggiri yang berarti persaingan sepakat untuk ditambahkan dengan mengacu kepada ajaran Islam, yaitu fastabiqul khairoot (berlomba melakukan kebaikan). Masyarakat adat dan budaya Lampung berhasil mempertahankan piil, namun juga mampu mengakomodir pesenggiri, dan bahkan mengintegrasikannya. Seperti disebutkan terdahulu bahwa ciri genius lokal adalah memiliki kemampuan mengakomodasi dan mengintegrasikan nilai budaya lain ke dalam budaya lokal.

Nilai nilai piil pesenggiri demikian islami, adalah hasil integrasi yang dilakukan oleh kelompok intelektual masyarakat budaya Lampung pada saat itu. Menghormati tamu, bekerja keras, memupuk ukhuwah, dan meningkatkan kualitas diri yang itu semua merupakan ajaran Islam, yanag sarat mewarnai piil pesenggiri. Ini merupakan bukti bahwa piil pesenggiri telah mampu mengintegrasikan nilai nilai luar ke dalam nilai yang selama ini mereka anut.

Nemui nyimah sebagai unsur piil pesenggiri terdiri dari dua kata, nemui yang berasal dari kata temui yang artinya tamu, dan nyimah yang berasal dari kata simah yang artinya santun. Seseorang baru diakui eksistensinya manakala ia mampu menjadi tamu atau tuan rumah penerima tamu, dan dalam posisi apapunia mampu menjadi pihak yang santun. Untuk menuju santun maka seseorang dituntut produktif.

Nengah nyappur terdiri dari dua kata. Nengah memiliki tiga arti yaitu kerja keras, berketerampilan dan bertanding. Dan kata nyappur yang artinya toleransi. Kerja keras, berketerampilan dan bertanding jelas bernuansa persaingan, walaupun untuk memberikan yang terbaik, namun tidak kehilangan nuansa kompetisi.

Sakai sambaian terdiri dari dua kata, yaitu kata sakai yang berasal dari kata akai atau kakkai, yang artinya terbuka. Dan kata sambai yang artinya lihat, teliti dan selidik. Setelah mampu berproduksi dan juga mampu berkompetisi, maka seseorang diharapkan terbuka untuk mnerima masukan masukan, tetapi dalam waktu bersamaan, juga siap memberikan masukan. Intinya adalah kooperatif.

Juluk – Adek. Terdiri dari dua kata, yaitu juluk adalah nama baru yang diberika kepada seseorang yang telah mampu merumuskan cita citanya, sedangkan adek atau adok adalah nama baru yang diberikan kepada seseorang yang telah berhasil mencapai cita cita itu. Setiap seseorang diarahkan agar selalu mencapai prestasi baru dalam hidupnya. Setelah seseorang itu mampu produktif, lalu mampu kompetitif serta mahir untuk kooperatif, maka saatnya seseorang harus inivatif.




Unsur dan pengertian dari piil pesenggiri itu sendiri ternyata sangat sejalan dengan batasan dan ciri dari genius loka, lokal wisdom atau kearifan lokal. Karena piil pesenggiri adalah sebuah nilai yang tidak statis, piil pesenggiri memiliki kemampuan . untuk akomodatif dan integrative. Hingga sekarangpun sebenarnya masyarakat Lampung masih demikian terikatnya dengan piil pesenggiri. Sayang dengan munculnya regulasi yang justeru melemahkan keberadaan lembaga adat, mengakibatkan piil pesenggiri mulai semakin kurang pamiliar. Namun demikian karakter piil pesenggiri tetap terpatri pada pendukukungnya.

Sebagai system nilai piil pesenggiri bukan diajarkan secara akademis kepada pendukungnya, tetapi harus dikembangkan. Piil pesenggiri selain berkembang pada pribadi pribadi, juga dikembangkan melalui kontak budaya. Kelompok intelektual pendukung dan pelaku budaya sangat dibutuhkan dalam terjadinya kontak budaya, sehingga nilai nilai ini menjadi berkembang. Kelompok intelektuallah yang akan dengan lincah dan diaksep oleh pendukung dalam proses akomodasi serta integrasi nilai nilai luar, dalam rangka melakukan berbagai pengembangan dan “perubahan” (dalam tanda petik).

Kelompokm intelektual yang akan diaksep oleh komunitas pendukung dan pelaku budaya, adalah kelompok intelektual yang memiliki ikatan kekerabatan dalam arti luas, yang selama ini memang mereka kenal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas tersebut. Di sini harus kita bedakan kelompok intelektual dengan akademisi, karena kelompok intelektual yang dimaksud adalah bagian dari komunitas tersebut yang memiliki wawasan kedepan, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan piil pesenggiri itu baik kedalam maupun keluar.

Selasa, 28 Desember 2010

Budaya Daerah bentuk Karakter Remaja

Pendidikan Radar Lampung : Selasa, 28 Desember 2010

BANDARLAMPUNG - Pemberian pelajaran tentang kebudayaan daerah dapat meningkatkan kearifan lokal yang bisa mendukung pembentukan karakter positif dalam diri remaja. Karenanya, menurut Staf Pelayanan Museum Ruwa Jurai, Lampung Budi Supriyanto, M.Hum., pengelola museum mengajak masyarakat terutama remaja serta anak-anak untuk menikmati koleksi benda-benda budaya dan bersejarah khas Lampung di museum itu.

Ia menuturkan, upaya tersebut selain sebagai bentuk pelestarian terhadap benda-benda bersejarah, juga untuk meningkatkan kearifan lokal sekaligus membentuk kecintaan generasi muda terhadap benda-benda warisan leluhur.

’’Kebudayaan dapat memperluas budi pekerti seseorang. Hal ini menjadi bahan renungan bahwa budaya membentuk kearifan lokal,’’ ujar Budi saat ditemui Radar Lampung di Museum Ruwa Jurai kemarin.

Menurutnya, budaya menjadi pilar jati diri dan mencerdaskan bangsa, serta sebagai wawasan nusantara. ’’Budaya sebagai komponen pembetuk kearifan lokal dapat mengatur kehidupan masyarakat, seperti hormat dengan orang yang lebih tua dan hidup dalam aturan yang sudah diatur dalam budaya daerahnya,’’ ungkap dia.

Ia menjelaskan, akses pendidikan masa lampau memang kecil dan tak mencakup semua kalangan. Namun, akar adat dan budaya masih sangat kuat sehingga pelajar tempo dulu cenderung memiliki kepribadian serta karakter yang santun dan arif, tetapi tetap cerdas.

Budi mengungkapkan, hilangnya kearifan lokal kini bukan disebabkan lenyapnya kecintaan terhadap budaya. ’’Bukan karena tidak mencintai budayanya, tapi remaja tidak mengenal budayanya sendiri. Orang tua juga jarang bercerita dengan budaya. Sekolah pun jarang menyinggung budaya daerah. Akibatnya, mereka terkontaminasi dengan budaya barat,’’ katanya.

Oleh karena itu, untuk membentuk kearifan lokal, ia mengatakan, perlu dilakukan pembinaan dan waawasan kepada pelajar dan masyarakat mengenai budaya daerah yang dimilikinya. ’’Meski hidup dalam modernisasi, tetap harus memegang kearifan lokal. Dan, itu didapat dari kebudayaan,’’ pungkas Budi. (ysn/c3/tru)

MEKANISME PENYALURAN DANA BOS DIRUBAH

Ragam Lampost : Selasa, 28 Desember 2010

PENCEGAHAN KORUPSI

JAKARTA (Lampost): Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) bersama Kemenkeu dan Kemendagri sepakat mengawasi penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) tahun 2011. Salah satu bentuk pengawasannya adalah mengubah mekanisme penyaluran.

"Kalau dulu dari Kemendiknas kemudian ke sekolah. Sekarang hanya mengawasi karena penyaluran langsung dari bendahara negara dikirim ke kabupaten/kota melalui mekanisme APBD, lalu disalurkan sekolah-sekolah penerima dana BOS," kata Mendiknas M. Nuh di Jakarta, Senin (27-12).

Alasan perubahan mekanisme penyaluran ini, kata Nuh, memberi kewenangan lebih kepada sekolah yang menerima BOS. "Sekolah-sekolah daerah yang menerima selama ini cenderung merasa hanya sebagai perpanjangan tangan tanpa ada kewenangan."

Menyinggung penyaluran, Kemendiknas menerapkan tiga ketetapan yang harus dipatuhi Pemerintah Pusat dan daerah. Tiga ketepatan itu, yakni menyangkut ketepatan dari sisi waktu penyaluran, ketepatan jumlah dana yang disalurkan, dan ketepatan sisi penggunaan dan pemanfaatannya.

Nuh mengatakan saat ini ada 181 ribu SD dan SMP yang menerima dana BOS. Pemerintah pada 2011 menyiapkan anggaran Rp16 triliun.

Untuk SD Rp10,8 triliun dan Rp5,4 triliun untuk SMP. Dengan besaran dananya masing-masing Rp400 ribu per siswa/tahun untuk SD di kota besar, Rp397 ribu per tahun untuk SD di kabupaten. Sedangkan untuk SMP di kota Rp575 ribu per tahun dan Rp570 ribu di kabupaten.

Jumlah tersebut, kata Nuh, mencakup 70% biaya operasional sekolah per siswa. "Sisanya 30% ditutup dari BOS daerah yang juga punya kewajiban dari anggaran mereka menyisihkan 20%."

Tahun depan juga ada perubahan mekanisme penyaluran dana BOS. Pelaksanaannya juga diawasi banyak pihak seperti publik, Kemendiknas, Kemenkeu, Kemendagri, dan KPK.

Nuh menambahkan Kementerian Pendidikan akan mulai menginformasikan mekanisme baru tersebut kepada kepala dinas pendidikan di seluruh daerah. "Maka itu, dana BOS yang telah masuk ke dalam APBD, diharapkan tidak terhambat penyalurannya. Paling lambat sekolah harus menerima tujuh hari setelah dana tiba." (R-1)

Guru Butuh Advokasi Hukum


Semenjak diterapkannya Pendidikan Berbasis HAM, maka pada masa masa mendatang diperkirakan para guru akan banyak berhadapan dengan kasus kasus hukum, karena guru akan banyak mendapatkan komplin dari peserta didik, orang tua siswa dan masyarakat umum, sehubungan pelanggaran HAM dan atau setidaknya peserta didik, orang tua siswa dan masyarakat luas menganggap adanya hak hak mereka yang belum terakomodir oleh guru ataupun lembaga sekolah.

Banyak sudah contoh kasus, guru harus berhadapan dengan aparat hukum yang disebabkan oleh ketidak pahaman para guru terhadap hak azasi manusia. kehadiran guru sebagai pesakitan dalam pengadilan, sekalipun bukan karena kasus pidana, tetap saja akan merusak citra guru itu sendiri, sebagai pihak yang memiliki kompetensi personal dan sosial, yang sejatinya selalu menjadi teladan.

Seyogyanya semenjak pencanangan bahwa pendidikan nasional sekarang ini dilaksanakan berdasarkan HAM maka sepatutnya para guru banyak menerima penjelasan apa apa saja yang harus diantisipasi agar tidak mendapat tuduhan sebagai pihak yang melanggar HAM dalam proses pembelajaran umapamanya. Guru juga harus tahu berdasarkan HAM itu apa saja hak peserta didik dan masyarakat yang harus segera diakomodir, agar tidak dikatakan lalai, apa lagi melanggar hak azasi seseorang.

Kepada pihak yang bergerak dalam bidang hkum, seperti lawyer umpamanya, dimohon juga agar berkenan mempelajari peraturan dan perundangan yang berlaku, serta berbagai kebijakan yang telah ditetapkan dalam rangka pelaksanaan pendidikan nasional, karena guru guru pada umumnya tidak terlalu memahami aspek aspek khusus yang rawan pelanggaran HAM.

Tentu saja banyak aspek nantinya, yang merupakan hak seseorang baik peserta didik maupun masyarakat umum yang kurang tersentuh oleh proses pembelajaran. dengan banyaknya jumlah mereka yang masih buta aksara, putus sekolah, kesulitan dalam mengikuti pelajaran, atau mereka yang berprestasi tetapi sulit untuk masuk ke Perguruan Tinggi akibat berbagai rebulasi yang menyulitkan mereka mereka yang membutuhkan layanan untuk mengikuti pendidikan dalam segala jenjangnya.

Demikian juga dengan kebijakan lembaga sekolah yang mengharuskan peserta didik, orang tua siswa dan masyarakat luas untuk melakukan sesuatu yang dirasakan berat dan atau mungkin di luar kemampuan mereka untuk melaksanakannya. Lalu pihak sekolah memberikan sansi sangsi yang dirasakan sebagai sesuatu yang melanggar rasa keadilan seseorang.

demikian juga sebaliknya adanya pihak pihak yang kehadirannya cukup mengganggu ketentraman dan kelancaran proses pembelajaran, yang dengan dalih dalih tertentu ingin melihat dan memeriksa kebijakan dan program yang diselenggarakan di sekolah, yang selama ini dalam prakteknya berujung pada pemaksaan kepada pihak sekolah untuk mengeluarkan sejumlah dana, untuk diserahkan kepada seseorang atau lembaga tertentu.

Kehadiran pihak pihak yang bersedia menkuni problema ini tentu saja akan sangat membantu kelancaran proses pembelajaran, yang pada gulirannya nanti akan mencerdaskan generasi yang akan datang. Sehingga bangsa ini akan mampu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara negara maju lainnya di dunia.

Alunan Al-Quran Sebelum Belajar

Bintang Pelajar Lampost : Selasa, 28 Desember 2010

SISI LAIN

MENDIDIK pribadi yang takwa kepada Tuhan merupakan salah satu tujuan SMAN 1 Pringsewu. Hal itu ditunjukan dengan adanya program membaca Alquran sebelum belajar dan salat zuhur berjamaah.

Kegiatan ini untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan siswa SMAN 1 Pringsewu agar menjadi pribadi yang senantiasa meningkatkan ketakwaan diri kepada Tuhan.

Membaca ayat suci sebelum belajar itu dikoordinasikan oleh OSIS SMAN 1 Pringsewu bekerja sama dengan ekskul Rohis yang didukung dewan guru dan kepala sekolah.

“Alhamdulillah kegiatan ini sudah mulai dilaksanakan Senin di bulan Oktober 2010. Syukur sekali respons dari teman-teman baik, karena 95% siswa SMAN 1 Pringsewu muslim,” ujar Fadhil Al Hafidz, koordinator bidang ketakwaan.

Pembacaan ayat Alquran ini dilaksanakan di sekolah, tepatnya di musala. Alunan ayat Alquran ini dibacakan oleh salah seorang siswa dengan pengeras suara sehingga dapat didengar di seluruh penjuru sekolah.

Selain program lantunan ayat suci Alquran, SMAN 1 Pringsewu juga mengadakan salat zuhur berjamaah. Hal ini agar seluruh warga SMAN 1 Pringsewu dapat sahat zuhur secara berjamaah.

Untuk mengoptimalkan kegiatan ini, salat zuhur berjamaah diimami dewan guru sendiri agar para siswa tergugah untuk melaksanakan salat zuhur. (TIM REDAKSI/S-1)

PKAB Dilaksanakan Terpusat Mulai Tahun Depan

Pendidikan Lampost : Selasa, 28 Desember 2010


BANDAR LAMPUNG (Lampost): Penerimaan mahasiswa baru melalui jalur penelusuran kemampuan akademik dan bakat (PKAB) akan dilakukan secara nasional mulai tahun depan.

Hal itu dikatakan Pembantu Rektor I Bidang Akademik Universitas Lampung (Unila) Hasriadi Mat Akin, di ruang kerjanya, lantai II Gedung Rektorat, Senin (27-12).

Seperti halnya SNMPTN, kata Hasriadi, penerimaan mahasiswa baru PKAB Unila 2011 juga akan diselenggarakan secara nasional, melalui sebuah kepanitian bersama secara terpusat, tidak lagi sendiri-sendiri seperti tahun sebelumnya.

"Namun, hingga kini, kami masih menunggu teknis pelaksanaannya, kapan akan dibuka, bagaimana cara pendaftaran, siapakah yang akan menyeleksi apakah panitia pusat atau tetap diserahkan ke masing-masing perguruan tinggi masih belum diketahui," kata dia.

Hasriadi menambahkan perubahan ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 34 Tahun 2010 tentang Mekanisme Penerimaan Mahasiswa Baru bagi Seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut mempertegas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 1020 tentang penyelenggaraan perguruan tinggi mengenai pengelolaan perguruan tinggi sebagai pengganti undang-undang badan hukum pendidikan (BHP), yang telah dihapus awal tahun ini.

Dalam peraturan tersebut dinyatakan 60 kuota mahasiswa baru perguruan tinggi negeri harus dilakukan melalui jalur penerimaan mahasiswa baru secara nasional, dalam hal ini dilakukan melalui jalur SNMPTN ditambah jalur PKAB.

"Sedangkan sisanya sebanyak 40 persen diserahkan ke masing-masing perguruan tinggi untuk melakukan sistem penerimaan secara otonom. Hal ini dilakukan untuk kembali memperluas kesetaraan hak dalam menempuh jalur pendidikan tinggi," kata Hasriadi.

Selain mewajibkan untuk memberikan beasiswa kepada keluarga miskin, peraturan itu juga mengharuskan semua perguruan tinggi untuk menerima mahasiswa baru secara nasional sebesar 60 persen, sedangkan penerimaan mahasiswa secara mandiri maksimal hanya 40 persen dari total mahasiswa baru

Ia menjelaskan sesuai dengan peraturan tersebut, Unila mengambil kebijakan sebesar 60 persen mahasiswa baru akan diterima melalui seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) dan penelusuran kemampuan akademik dan bakat (PKAB).

Hasriadi pun kembali mengingatkan mulai tahun depan Unila juga mulai menerapkan kebijakan penerimaan mahasiswa baru bagi masyarakat miskin. Sebanyak 20 persen akan diambil melalui jalur nasional SNMPTN dan PKAB, sedangkan 10 persen akan dilakukan melalui jalur otonom. (MG14/S-1)

Perguntara Bentuk Lembaga Advokasi Guru

Pendidikan Lampost : Selasa, 28 Desember 2010

TENAGA PENDIDIK

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Perguntara (Persaudaraan Guru Nusantara) Provinsi Lampung meningkatkan intensitas pelatihan dan pembinaan karya tulis ilmiah di kabupaten/kota. Hal ini merupakan salah satu hasil dari Rapat Kerja Wilayah ke-2 Perguntara yang digelar selama 2 hari (25—26 Desember) di gedung Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Lampung.

Kegiatan ini diawali pelantikan pengurus kabupaten/kota oleh Dewan Penasihat Perguntara Lampung Syarifudin Basyar dan dihadiri 45 peserta perwakilan pengurus kabupaten/kota se-Provinsi Lampung. Turut hadir Suwondo (perwakilan Komisi D DPRD Kota Bandar Lampung) dan Riyuzen Praja Tuala (Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung).

Ketua Umum Perguntara Ahmad Nurkholis dalam rilisnya yang diterima Lampung Post, Senin (27-12), mengatakan program ini disepakati karena kemampuan meneliti dan menulis guru masih perlu diasah sehingga meningkatkan kualitasnya dan menjadi guru yang profesional.

Di samping itu, untuk memenuhi dan menjawab kesulitan guru-guru yang ingin naik pangkat/golongan dari IV/a ke golongan yang lebih tinggi.

Rakerwil ke-2 ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi, salah satunya Perguntara akan membentuk lembaga/badan advokasi guru. "Oleh sebab itu Perguntara akan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan advokasi," kata Nurkholish.

Ia menuturkan masih banyak program yang akan dilakukan selama tahun 2011. Antara lain, peningkatan SDM pengurus, sosialisasi dan konsolidasi organisasi dengan pihak-pihak terkait, peluncuran pendidikan luar sekolah (PLS). Kemudian seminar, pelatihan, dan lokakarya pendidikan, serta pengaderan di kalangan mahasiswa. (UNI/S-1)

Senin, 27 Desember 2010

Pendidikan Karakter Mulai dari Karakter Guru

Oleh : Muhammad Mukhlisin

Kabar Indonesia 17-Des-2010. Lebih dari 65 tahun yang lalu bangsa indonesia telah memproklamasikan diri menjadi negara yang merdeka, terbebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan. Ini berarti bahwa bangsa indonesia harus memulai babak baru dimana penjajahan dan penindasan dengan alasan apapun tidak dapat dianulir dari negeri ini. Begitupun juga dengan payung-payung keadilan harus ditegakkan.

Janji setia bangsa indonesia 65 tahun silam seakan semakin lapuk oleh gurasan zaman. Bagaimana tidak, setelah sekian lama proklamasi dikumandangkan tetapi sampai sekarang bangsa ini masih belum terlepas dari penjajahan dan penindasan. Memang kita sudah tidak terjerat lagi terhadap kolonial penjajah Portugis, Inggris, Belanda, Spanyol atau Jepang. Tetapi kita masih dijajah oleh bangsa kita sendiri. Siapa sangka justru penjajahan bangsa sendiri lebih berbahaya dari pada penjajahan yang dilakukan oleh bangsa lain. Penjajahan oleh bangsa sendiri akan merongrong sendi-sendi keadilan berbangsa dan bernegara, melemahkan sistem kenegaraan, menurunkan tingkat kualitas hidup dan menjadikan masyarakat sebagai budak di negeri sendiri.

Penjajahan oleh bangsa sendiri ini bisa kita klasifikasikan kedalam 6 bagian. Yaitu, penjajahan hukum, penjajahan politik, penjajahan ekonomi, penjajahan kesehatan, penjajahan pendidikan dan penjajahan HAM. Tidak perlu diuraikan sejauhmana penjajahan ini karena kita semua sudah menyadari dan mengetahui hampir setiap hari dimedia-media baik cetak maupun elektronik. Tetapi yang pasti adalah yang menjadi korban dari ini semua adalah rakyat miskin yang semakin lama semakin sengsara.

Yang patut kita lakukan adalah mencari solusi sehingga semua jenis penjajahan ini bisa dihapuskan dari bumi Pancasila ini. Pangkal dari permasalahan ini adalah hilangnya rasa humanisme dan mengikisnya karakter bangsa Indonesia. Seandainya para pemegang wewenang dalam setiap lembaga dapat melakukan tugasnya sesuai dengan fungsi dan hati nuraninya tentu penyelewengan dan segala bentuk penyalahgunaan wewenang tidak akan terjadi. Selain itu juga dibutuhkan karakter dan sikap yang tegas untuk mengatakan tidak atas segala bentuk kemungkinan yang mengindikasikan terhadap penyalahgunaan wewenang. Sehingga dengan demikian hal-hal yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang akan dapat dihindari.

Seharusnya sudah menjadi perhatian kita bersama mengenai pentingnya memupuk sikap humanisme serta memperbaiki karakter bangsa indonesia yang telah pudar ini. Oleh sebab itu, kita masih mempunyai kesempatan serta masa depan dengan mendidik generasi masa depan dengan nilai-nilai humanisme yang luhur serta mempunyai karakter yang bersih dan mulia. Pendidikan karakter merupakan aspek dominan dalam wilayah ini. Pendidikan karakter sebenarnya sudah lama didengungkan oleh depdiknas dan sebentar lagi akan disusul oleh depag. Tetapi sejauh ini belum jelas indikator dan proses pembelajarannya.

Sesuai dengan taksonomi bloom bahwa ada 3 aspek dominan yang harus dikembangkan dalam diri setiap individu yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan karakter akan mengenalkan individu kepada nilai-nilai serta norma kedalam wilayah kognitif. Kemudian nilai-nilai serta norma tersebut secara bertahap akan diarahkan untuk dihayati dan diresapi kedalam wilayah afektif siswa. Sedangkan di dalam pengejawantahan di dalam pribadi siswa, disetiap harinya siswa akan menerapkan di dalam masyarakat dimana siswa mampu berinteraksi dan bersosialisasi secara langsung. Proses kontak serta interaksi inilah yang akan menuntun aspek psikomotorik siswa untuk menerapkan nilai yang telah difahami dalam wilayah kognitif dan afektif.

Di dalam mendedikasikan pendidikan karakter ini diperlukan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter yang meliputi komponen-komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai luhur baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Dalam pendidikan karakter disekolah perlu dilibatkan semua komponan stakeholders, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, seperti kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan sekolah, serta ethos kerja seluruh lingkungan sekolah.

Karakter Guru

Sedangkan stakeholders yang paling berpengaruh di dalam proses pendidikan karakter ini adalah guru. Pendidikan karakter tidak perlu membutuhkan teori yang berlebihan tetapi yang lebih diutamakan adalah praktik di dalam kehidupan sehari-hari. Guru lebih dituntut untuk memberikan praktik dan contoh yang baik terhadap siswa. Selain itu guru adalah seorang motivator sekaligus menjadi seorang teladan bagi siswa-siswinya.

Seoarang guru selain mempunyai kompetensi pedagogis sebagai basic pengajar, guru harus mempunyai beberapa kompetensi utama dalam melakukan proses pembelajaran pendidikan karakter. Kompetensi pertama adalah kompetensi kepribadian, menjadi guru yang berkepribadian baik, santun, serta mengembangkan sifat terpuji sebagai seoarang guru. Pendidikan karakter membutuhkan guru yang dapat memberikan nilai yang dapat langsung dicontoh oleh siswa. Bukan malah sebaliknya, guru memberikan contoh yang berdampak kurang persuasifnya siswa terhadap karakter dan kepribadian. Seperti sebagian guru dikota metropolitan yang berorientasi kemateri. Menuntut tunjangan lebih besar tetapi tidak diimbangi dengan kualitas serta profesionalitas di dalam melaksanakan pembelajaran. Hasil ujian nasional menunjukkan bahwa hasil kelulusan siswa SMP dan SMA di Jakarta menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Padahal gaji dan tunjangan guru di Jakarta merupakan angka yang tertinggi dari pada di daerah lain di Indonesia. Hal ini menunjukkan karakter guru yang bermasalah.

Kedua, kompetensi berinteraksi dan berkomunikasi. Guru berhasil membangun hubungan yang baik dengan siswa tanpa menghilangkan sopan santun antara guru dan murid. Sudah menjadi kewajiban guru untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan siswanya. Melakukan pendekatan yang persuasif untuk meningkatkan motivasi dalam belajar. Mampu memberikan konsep belajar mengajar yang tidak menekan dan memaksa terhadap siswa. Serta memberi sanksi yang sesuai dan konstruktif jika siswa melakukan kesalahan. Dan yang paling urgen adalah tidak ada legitimasi bagi guru untuk melakukan kekerasan terhadap siswa apapun alasanya baik kekerasan fisik maupun psikis.

Ketiga, kompetensi bimbingan dan penyuluhan. Dalam teori tabularasa siswa digambarkan sebagai sebuah kertas putih yang masih bersih yang nanti akan diisi dengan catatan-catatan kehidupan. Oleh sebab itu guru harus selalu memberikan bimbingan di dalam pengisian kertas putih yang bersih ini. Siswa akan selalu membutuhkan bimbingan dari orang lain dalam menjalani kehidupanya yang semakin kompleks. Memang sudah banyak disekolah-sekolah terdapat guru BK (Bimbingan dan Konseling), tetapi kebanyakan dilapangan justru siswa menjauhi guru BK karena merasa takut dan minder jika mengahadap guru BK. Kompetensi bimbingan dan penyuluhan seharusnya dimiliki oleh setiap guru, tidak hanya guru BK. Karena siswa lebih merasa nyaman dengan salah satu guru dari pada guru yang lain. Jika ada siswa yang ingin bimbingan maka guru harus membimbing siswa tersebut.

Kita patut untuk memberikan apresiasi terhadap guru-guru indonesia yang selama ini telah berjuang mencerdaskan generasi bangsa. Menghilangkan kebodohan dan membentuk kepribadian yang luhur serta memperjuangkan karakter bangsa yang bersih. Tetapi disisi lain, masih banyak karakter-karakter bejat dan culas yang masih menggerogoti negeri ini. Hal ini bukan menjadi tugas guru semata tetapi juga tugas kita semua. Semoga dimasa yang akan datang guru-guru Indonesia lebih berkarakter luhur di dalam melaksanakan pendidikan karakter nasional yang lebih realistis.


*Penulis adalah Koordinator Umum Forum Kajian Sosial dan Keagamaan PIRAMIDA CIRCLE Jakarta.

perpustakaan Sekolah Tersia-sia

Oleh : Deni Hamkamijaya

24-Des-2010
KabarIndonesia - Milyaran rupiah dana negara dikucurkan melalui program Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pengadaan perpustakaan untuk 46 sekolah di SD negeri dan swasta di kota Cimahi terbuang sia-sia. Masing-masing sekolah mendapatkan kucuran dana Rp. 250 juta, untuk pengadaan buku saja mencapai Rp. 100 juta.

Dan untuk membangun ruang perpustakaannya sebesar Rp. 60 juta, namun 2 (dua) tahun setelah program itu dikucurkan, tepatnya tahun 2008. Ruang-ruang atau gedung-gedung perpustakaan itu banyak yang beralih fungsi ; ada yang menjadi ruang kelas dipakai kbm (kegiatan belajar dan mengajar), ada yang berubah fungsi menjadi ruang komputer, mushola, ruang kantor kepala sekolah.

Tentu saja buku-bukunya menjadi terpinggirkan, dan boleh jadi, rencana dan tujuan yang hendak dicapai, untuk peningkatan mutu menjadi tersia-sia atau tidak tercapai.
Dari 46 skolah yang mendapat kucuran dana untuk pembangunan perpustakaan sekolah pada tahun 2008, yang masih memfungsikannya sebagai perpustakaan bisa dihtiung dengan jari. Itupun tidak maksimal.

Padahal fasilitas serta sarana yang dibrikan pada program tersebut sangatlah "menggiurkan" bagi peningkatan mutu pendidikan, terutama untuk menggairahkan motivasi belajar di kalangan para siswa dan juga para guru. Betapa tidak, selain diberikan bantuan buku yang mencapai nilai ratusan juta *Rp. 100 juta), juga diberikan bantuan CD interaktif yang berisi mata pelajaran dari klas 1 - 6. Berbagai mata pelajaran dengan nilai uang mencapai Rp. 32 juta per sekolah.

Maka sungguh mengiriskan, ketika 2 (dua) tahun kemudian, prpustakaan-perpustakaan itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Atau disia-siakan. Milyaran rupiah terbuang sia-sia.

ARISTOTELES DALAM SEPENGGAL KARYA

ETIKA BERKARYA

Oleh : Hendra Sugiantoro

24-Nov-2010
KabarIndonesia - Pada masa lalu, hiduplah seorang Filsuf yang namanya tak lenyap sampai kini. Filsuf ini lahir pada tahun 384 SM di Stagira, Makedonia. Perjalanan hidupnya memiliki kisah untuk bisa belajar kepada Plato di Athena, Yunani, sejak sekitar usia 17 tahun. Di Akademi Plato, ia mendalami pelbagai hal. Tercatat, ia menempuh studi di sekolah milik Plato itu selama kurang lebih 20 tahun. Pada tahun 322 SM, ia meninggal dunia. Siapakah ia?

Michael H. Hart memasukkan namanya dalam 100 orang paling berpengaruh di dunia sepanjang sejarah. Ia adalah Aristoteles yang seperti gurunya sempat mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Lyceum sekitar tahun 355 SM. Dari begitu banyak karya tulisnya, ada dua karya Aristoteles yang menarik dicermati: buku Etika Nikomakheia dan Politika.

Bryan Magee dalam buku The Story of Philosophy memaparkan garis besar dua buku Aristoteles itu. The Story of Philosophy diterbitkan Dorling Kindersley Limited, London, pada 2001. Diterjemahkan oleh Marcus Widodo&Hardono Hadi, buku ini diterbitkan Penerbit Kanisius, Yogyakarta, pada 2008, dalam edisi bahasa Indonesia.

Berikut pemaparannya:
“Lewat tulisannya, Aristoteles juga membahas etika. Karya utamanya adalah buku Etika Nikomakheia................
Ia mulai dengan proposisi bahwa setiap orang menginginkan kehidupannya bahagia dalam arti sepenuh-penuhnya. Menurutnya, kehidupan yang bahagia itu dicapai jika manusia bisa menjalankan dan mengembangkan segala kapasitas dirinya secara maksimal dan sesuai dengan kehidupan dalam sebuah masyarakat. Mengumbar keinginan pribadi dengan cara semaunya sendiri atau dengan memaksa kehendak sendiri akan membawa kita ke dalam konflik abadi dengan orang-orang lain. Itu buruk. Namun, bila keinginan dan kehendak tidak disalurkan, itu juga sama buruknya. Maka, Aristoteles mengajukan doktrinnya yang terkenal, yang disebut “jalan tengah emas”(the golden mean), yakni titik tengah di antara dua ekstrem yang masing-masing sama buruknya. Misalnya, kemurahan hati adalah jalan tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah jalan tengah antara kenekatan dan ketakutan, menghargai diri sendiri adalah jalan tengah antara sombong dan rendah diri, rendah hati adalah jalan tengah antara pemalu dan tebal muka. Yang menjadi tujuan adalah menjadi pribadi yang seimbang. Dan, menurutnya, inilah jalan untuk meraih kebahagiaan...................................

Etika Nikomakheia karya Aristoteles mengantar langsung kepada karyanya yang lain, Politika. Sebenarnya kedua buku ini memang dimaksudkan sebagai bagian pertama dan kedua dari risalah yang sama, sebab, menurut Aristoteles, tujuan pemerintahan adalah memungkinkan para warganya memperoleh hidup yang penuh dan bahagia. Hanya dengan menjadi anggota masyarakatlah, seorang individu dapat memperolehnya. Kebahagiaan dan kepenuhan diri tidak mungkin diperoleh dalam keterkucilan pribadi. Inilah inti pernyataannya yang banyak dikutip: “Dari kodratnya, manusia adalah makhluk politik”. Menurutnya, ada pelbagai dimensi sosial dan politik yang tak dapat dilepaskan dari kehidupan pribadi yang bahagia. Salah satu aspek yang paling berpengaruh dari filsafat politiknya adalah pandangan bahwa negara harus memampukan. Fungsi negara adalah memungkinkan perkembangan dan kebahagiaan individu.”

Begitulah pemikiran Aristoteles dalam dua karyanya yang diberi judul Etika Nikomakheia dan Politika. Apa yang dipaparkan Bryan Magee lewat buku The Story of Philosophy sedikit banyak telah memberikan gambaran pemikiran Aristoteles, meskipun untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tetap harus membaca buku Aristoteles secara langsung. Pemikiran Aristoteles tentu juga memerlukan koreksi.

Selain dua karya di atas, ada banyak lagi karya tulis Aristoteles lainnya. Michael H. Hart dalam buku 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah menuturkan, “Aristoteles menulis soal etika dan metafisika, soal psikologi dan ekonomi, soal teologi dan politik, serta soal retorika dan estetika. Dia menulis tentang pendidikan, syair, adat-istiadat bangsa-bangsa kurang beradab, dan konstitusi Athena. Salah satu proyek risetnya adalah pengumpulan konstitusi sejumlah besar negara, yang kemudian diujinya dengan studi perbandingan.”

Michael H. Hart menuliskan, “Tercatat 47 karyanya berhasil diselamatkan, dan daftar tempo dulu mengenai karyanya mencantumkan tidak kurang dari 170 judul. Tapi, bukan sekadar jumlahnya saja, melainkan juga luasnya bidang pengetahuan yang digelutinya yang amat mengagumkan. Karya-karya tulis ilmiahnya nyaris seperti sebuah ensiklopedia pengetahuan ilmiah di zamannya. Aristoteles menulis soal astronomi, ilmu hewan, embriologi, ilmu bumi, ilmu batuan, fisika, anatomi, fisiologi, dan hampir semua bidang pengetahuan yang dikenal orang Yunani Kuno. Sebagian karya-karya ilmiahnya merupakan kompilasi pengetahuan yang sebelumnya diperoleh ilmuwan lain, sebagian merupakan hasil temuan para asisten yang dipekerjakannya, dan sebagian lagi merupakan hasil dari sekian banyak pengamatan yang dilakukannya.”

Begitulah Aristoteles. Yang jelas, dunia Arab berjasa dalam menyelamatkan karya-karyanya ketika dunia Eropa justru tak merawatnya. Banyak ilmuwan dan intelektual muslim zaman silam mempelajari, mengkaji, dan menelaah ataupun memberikan komentar dan kritik terhadap karya-karya Aristoteles. Ada yang mengatakan bahwa Aristoteles adalah “jembatan yang menghubungkan dunia Arab dengan Yunani”. Wallahu a’lam.

Catatan: Buku Michael Hart yang digunakan untuk referensi di atas menggunakan buku 100 A Ranking of The Most Influential Persons in History (Revised and Update), terbitan Citadel Press, Kensington Publishing Corp, tahun 1992. Edisi terjemahan diterbitkan Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika), Jakarta, cetakan I 2009. Dengan judul 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah.
Michael Hart dalam mendaftar 100 orang yang paling berpengaruh di dunia terus melakukan revisi-revisi. Hal ini disebabkan perkembangan zaman dan akan tetap ada orang-orang berpengaruh yang muncul kemudian. Nabi Muhammad SAW tetap berada di urutan pertama, tanpa tergeser.

Penulis: Pegiat Pena Profetik Yogyakarta


Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://www.kabarindonesia.com//

PENDIDIKAN EKONOMI KREATIF

Implementasi Pendidikan Ekonomi Kreatif
Oleh : Abdul Gofur | 14-Des-2010, 12:50:19 WIB

KabarIndonesia - Ekonomi kreatif yang mencakup industri kreatif di berbagai negara di belahan dunia saat ini diyakini dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian bangsa secara signifikan. Indonesia pun mulai melihat bahwa berbagai subsektor dalam industri kreatif berpotensi untuk dikembangkan. Karena bangsa indonesia memiliki sumber daya insani kreatif dan warisan budaya yang kaya.

Berdasarkan bukuberjudul: "Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025" terbitan Kementerian Perdagangan RI tahun 2009, ekonomi kreatif ini diyakini dapat menjawab tantangan permasalahan dasar jangka pendek dan menengah seperti:
1) relatif rendahnya pertumbuhan ekonomi pasca krisis (rata-rata hanya 4,5 % pertahun);
2) masih tingginya pengangguran (9-10 %),
3) tingginya tingkat kemiskinan (16-17 %),
4) rendahnya daya saing industri di Indonesia.


Selain permasalah tersebut, Ekonomi Kreatif juga diharapkan dapat menjawab tantangan seperti isu global warming, pemanfaatan energi yang terbarukan, deforestasi, dan pengurangan emisi karbon karena arah pengembangan industri kreatif ini akan menuju pola industri ramah lingkungan serta penciptaan nilai tambah produk dan jasa yang berasal dari intelektualitas sumber daya insani yang dimiliki oleh Indonesia, dimana intelektualitas sumber daya insani merupakan sumber daya yang terbarukan.


Dari pemaparan di atas, ekonomi kreatif akan mampu menjawab tantangan negeri ini baik dalam jangka pendek dan menengah dalam berbagai aspek. Jika kita melihat di antara aspek-aspek yang sangat dipengaruhi oleh ekonomi kreatif adalah isu global warming, pemanfaatan energi terbarukan, deforestasi, dan pengurangan emisi karbon, hal-hal tersebut salah satunya akan tercapai jika ekonomi kreatif diimplementasikan dalam bidang pendidikan terutama di sekolah-sekolah.

Menurut John Howkins dalam The Creative Economy: How People Make Money From Ideas, Ekonomi Kreatif didefinisikan sebagai segala kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas (kekayaan intelektual), budaya dan warisan budaya maupun lingkungan sebagai tumpuan masa depan. Sedangkan definisi lain menyatakan bahwa ekonomi kreatif merupakan era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan pada ide dan stock of knowledge dari SDM sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya.

Dalam suatu kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak dan sepakat bahwa industri Ekonomi Kreatif harus digalakkan mulai sekarang dengan meningkatkan kualitas hasil karya dan cipta. Beliau pun mengatakan untuk bisa mencapai hal tersebut harus ada usaha memperkenalkan Ekonomi Kreatif di kalangan anak-anak sejak dini.

"Dengan pendidikan sejak dini, akan menciptakan potensi pengembangan industri kreatif". Selain itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengatakan, Ekonomi Kreatif merupakan masa depan ekonomi Indonesia. Demikian diungkapkan SBY saat membuka Pekan Produk Kreatif Indonesia 2009 di Jakarta, Jumat (26/6).

Menurut SBY, selain mengembangkan ekonomi tradisonal seperti pengembangan pertanian, sumber daya alam dan jasa, pemerintah harus memberikan perhatian khusus bagi Ekonomi Kreatif yang berbasis budaya dan teknologi.

Tampaknya presiden benar-benar serius, terlihat dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif yang isinya; Mendukung kebijakan Pengembangan Ekonomi Kreatif tahun 2009-2015, yakni pengembangan kegiatan ekonomi berdasarkan pada kreativitas, keterampilan, dan bakat individu untuk menciptakan daya kreasi dan daya cipta individu yang bernilai ekonomis dan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Menanggapi keseriusan presiden di atas, KEMENTERIAN Pendidikan Nasional (Kemendiknas) tengah melakukan kajian dan revisi terhadap kurikulum pendidikan dan pelatihan. Pemerintah saat ini memasukkan materi ajar berbasis kreativitas dan kewirausahaan pada berbagai tingkat pendidikan. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Djoko Santoso mengatakan, untuk mendukung sikap kreatif Kemendiknas dapat menyusun kurikulum pendidikan dasar dan " pertama dengan memasukkan materi yang bersifat inovatif, misalnya melakukan penelitian yang dapat menumbuhkan berbagai ide. Sedangkan pada Jenjang pendidikan lanjut dan tinggi diberikan program kewirausahaan, yaitu Program Wirausaha Muda, dan Inkubator Bisnis.

"Pemerintah akan mendukung para mahasiswa agar dapat menjadi pengusaha yang berbasis pada industri kreatif dan Inovasi." katanya. Selain itu, terobosan kreatif juga perlu dikembangkan untuk pendidikan anak. Apalagi sebagian besar waktu anak ada di rumah, sehingga orang tua juga dapat mengarahkan anaknya menjadi insan yang kreatif. "Peran keluarga sebetulnya jauh lebih penting ketimbang sekolah," katanya.

Kebijakan Kemendiknas yang lain adalah menciptakan akses pertukaran informasi dan pengetahuan kreatif antar penyelenggara pendidikan, meningkatkan jumlah dan perbaikan kualitas lembaga pendidikan, pelatihan formal dan informal yang mendukung insan kreatif dalam pengembangan Ekonomi Kreatif. Pemerintah juga akan menciptakan hubungan dan keterpaduan antara lulusan perguruan tinggi dan sekolah menengah kejuruan.

Selain itu, wirausahawan yang sukses akan berbagi pengalaman dan keahlian di institusi pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, memfasilitasi pengembangan jejaring dan mendorong kerja sama insan kreatif di dalam dan luar negeri. Mari Elka Pangestu mengatakan, ada 6 faktor penting dalam Ekonomi Kreatif, yakni kontribusi terhadap ekonomi; Iklim bisnis, citra dan Identitas bangsa, sumber daya terbarukan, inovasi dan kreativitas, serta dampak sosial.

Sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh pengelola pendidikan di Kemendiknas sudah sangat baik, tinggal para pelaksana di lapangan. Dalam hal ini, baik kepala daerah sampai kepala sekolah dan guru, apakah mereka mampu melaksanakan apa yang menjadi harapan presiden dan cita-cita negara kedepan?

Tampaknya kalangan penyelenggara pendidikan harus bekerja ekstra keras untuk mewujudkan hal ini, sebagai tolak ukurnya adalah target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 (RPJMN) yang memprioritaskan bidang pendidikan di posisi kedua.

Dalam RPJMN dijelaskan target pencapaian dalam bidang pendidikan meliputi Peningkatan akses pendidikan yang berkualitas, terjangkau, relevan, dan efisien menuju terangkatnya kesejahteraan hidup rakyat, kemandirian, keluhuran budi pekerti, dan karakter bangsa yang kuat. Pembangunan bidang pendidikan diarahkan demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang didukung keselarasan antara ketersediaan tenaga terdidik dengan kemampuan untuuk menciptakan lapangan kerja atau kewirausahaan dan menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja.

Karena itu, substansi inti program aksi bidang pendidikan adalah sebagai berikut:

1) Akses pendidikan dasar-menengah: Peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan dasar dari 95% di 2009 menjadi 96% di 2014 dan APM pendidikan setingkat SMP dari 73% menjadi 76% dan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan setingkat SMA dari 69% menjadi 85%; Pemantapan/rasionalisasi implementasi BOS, penurunan harga buku standar di tingkat sekolah dasar dan menengah sebesar 30-50% selambat-lambatnya 2012 dan penyediaan sambungan internet ber-content pendidikan ke sekolah tingkat menengah selambat-lambatnya 2012 dan terus diperluas ke tingkat sekolah dasar;

2) Akses pendidikan tinggi: Peningkatan APK pendidikan tinggi dari 18% di 2009 menjadi 25% di 2014;

3) Metodologi: Penerapan metodologi pendidikan yang tidak lagi berupa pengajaran demi kelulusan ujian (teaching to the test), namun pendidikan menyeluruh yang memperhatikan kemampuan sosial, watak, budi pekerti, kecintaan terhadap budaya-bahasa Indonesia melalui penyesuaian sistem Ujian Akhir Nasional pada 2011 dan penyempurnaan kurikulum sekolah dasar dan menengah sebelum tahun 2011 yang diterapkan di 25% sekolah pada 2012 dan 100% pada 2014;

4) Pengelolaan: Pemberdayaan peran kepala sekolah sebagai manajer sistem pendidikan yang unggul, revitalisasi peran pengawas sekolah sebagai entitas quality assurance, mendorong aktivasi peran Komite Sekolah untuk menjamin keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses pembelajaran, dan Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten;

5) Kurikulum: Penataan ulang kurikulum sekolah yang dibagi menjadi kurikulum tingkat nasional, daerah, dan sekolah sehingga dapat mendorong penciptaan hasil didik yang mampu menjawab kebutuhan SDM untuk mendukung pertumbuhan nasional dan daerah dengan memasukkan pendidikan kewirausahaan (diantaranya dengan mengembangkan model link and match);

6) Kualitas: Peningkatan kualitas guru, pengelolaan dan layanan sekolah, melalui:

* Program remediasi kemampuan mengajar guru;
* Penerapan sistem evaluasi kinerja profesional tenaga pengajar;
* Sertifikasi ISO 9001:2008 di 100% PTN, 50% PTS, 100% SMK sebelum 2014;
* Membuka luas kerja sama PTN dengan lembaga pendidikan internasional;
* Mendorong 11 PT masuk Top 500 THES pada 2014;
* Memastikan perbandingan guru:murid di setiap SD & MI sebesar 1:32 dan di setiap SMP dan MTs 1:40;
* Memastikan tercapainya Standar Nasional Pendidikan (SNP) bagi Pendidikan Agama dan Keagamaan paling lambat tahun 2013.

Begitu banyaknya target yang harus dicapai untuk mewujudkan negara maju terutama pengembangan sektor pendidikan yang berbasis ekonomi kreatif. Selayaknya ini kembali pada pemegang tampuk kekuasaan dan para partisipan pendidikan yang diharapkan menjalankan tugas-tugas mereka dengan sebaik-baiknya demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Impelementasi pendidikan ekonomi kreatif menjadi salah satu cara agar masyarakat kita dapat mengembangkan diri menjadi insan kreatif yang nantinya diharapkan menjadi penggerak Ekonomi Kreatif bangsa. Dalam suatu forum ditanyakan; "Bagaimana mengimplementasikan Ekonomi Kreatif di sekolah?", ternyata masih terjadi polemik.

Ada yang menganggap Ekonomi Kreatif yang tengah diterapkan di sekolah akan membuat siswa semakin kreatif dan memiliki wawasan kewirausahaan sehingga para lulusannya telah memiliki modal dan kemampuan untuk menghadapi masa depan mereka. Sedangkan yang lain lebih menyoroti pada jenjang pendidikan yang akan merapkan pendidikan Ekonomi Kreatif, yaitu "bagaimana penerapannya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta tingkat lanjutan (SMA/SMK)?", tapi untuk wirausaha dan Ekonomi Kreatif itu lebih ditekankan penerapannya di SMK, sedangkan untuk SD, SMP dan SMA lebih ke arah informatif saja.

Beberapa referensi menyebutkan bahwa kewirausahaan yang diterapkan di tingkat mulai Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Atas memang sasarannya berbeda. Misalnya di SD kewirausahaan terutama diarahkan pada penanaman nilainya bukan wirausahanya, begitu pula di SMP dan SMA tetapi lebih baik lagi apabila dalam pembelajaran itu bukan hanya sekedar menanamkan nilai kewirausahaan saja tetapi bisa diimplementasikan langsung. Dengan demikian dalam diri siswa tertanam jiwa itu yang diharapkan nantinya bisa bermanfaat dan mainset bahwa sekolah menjadi PNS bisa berubah.

Pendidikan itu adalah menyiapkan peserta didik untuk menghadapi masa depannya bukan masa sekarang. Hal ini sejalan dengan Tema dari Kongres Guru Indonesia tahun 2010 yaitu tentang ESD ( Educational for Sustainable Development). Jadi Kewirausahaan diterapkan di TK, SD, SMP, SMA itu adalah penanaman nilai-nilainya tapi lebih baik jika dalam PBM itu langsung menyentuh ke implementasinya.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa implementasi pendidikan Ekonomi Kreatif di sekolah merupakan suatu alternatif untuk memecahkan permasalahan bangsa dalam penerapan Ekonomi Kreatif di berbagai subsektor ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan bangsa dan kemajuan negara khususnya di sektor ekonomi. Pendidikan berperan aktif dalam penanaman nilai sampai pada implementasi Ekonomi Kreatif agar tercipta lulusan yang memiliki kompetensi dan keterampilan untuk mengahadapi masa depan mereka.

Hal ini, akan terwujud jika semua saling berusaha, bekerja sama, dan berkomitmen untuk mengerjakan tugas ini dengan sungguh-sungguh tanpa dilandasi kepentingan negatif dari pribadi maupun golongan. Kita berharap di masa yang akan datang, bangsa ini bukan lagi sebagai bangsa yang konsumtif, akan tetapi kita adalah bangsa yang produktif dengan kemampuan dan sumber daya insani kreatif yang kita miliki di tambah dengan perpaduan warisan budaya yang kaya. Semoga bermanfaat bagi kita semuanya. Amin... (*)



Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://www.kabarindonesia.com//

pendidikan karakter bangsa jangan indoktrinasi


JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan karakter yang bakal gencar dilaksanakan di dunia pendidikan Indonesia semestinya dilaksanakan dalam rangka membentuk dan memperkuat karakter bangsa. Karena itu, pendidikan karakter perlu dipersiapkan dengan matang dan dilaksanakan secara bertahap supaya tidak menjadi sekadar pengetahuan atau indoktrinasi.



Jangan sampai pendidikan karakter yang
sebenarnya bagus itu nasibnya
sama seperti P-4 di masa
Orde Baru yang bentuknya indoktrinasi.
-- kata HAR Tilaar


Selain itu, pendidikan karakter yang dikembangkan sudah seharusnya berakar dari budaya bangsa Indonesia yang menyepakati Bhineka Tunggal Ika. Pendidikan karakter yang ditanamkan pada anak-anak lewat pendidikan formal meliputi nilai-nilai yang khas Indonesia dan nilai-nilai universal.

"Tidak bisa pemerintah mau gampang saja soal pendidikan karakter. Harus dipersiapkan dulu dasarnya dan bagaimana nanti bisa melaksanakannya dengan baik. Jangan sampai pendidikan karakter yang sebenarnya bagus itu nasibnya sama seperti Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di masa Orde Baru yang bentuknya indoktrinasi," kata HAR Tilaar, Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dalam diskusi terbatas sejumlah pemerhati masalah pendidikan di Jakarta, Kamis (23/12/2010).

Tilaar mengatakan, Bhineka Tunggal Ika mampu menjadi keunikan negara dan bangsa Indonesia di tengah arus globalisasi. Keberhasilan Indonesia membentuk karakter anak-anak bangsa yang mampu hidup berdampingan dalam beragamnya suku bangsa, agama, ras, dan antargolongan akan menjadi kontribusi terbesar bangsa ini di kancah global.

Charlotte K Priatna, Direktur Sekolah Athalia, menjelaskan mudah saja untuk menyampaikan pendidikan karakter dalam teori atau mata pelajaran. Namun, sekolah yang memang berkomitmen untuk membentuk anak-anak yang cerdas dan berkarakter justru harus mampu membudayakannya di dalam diri anak-anak yang didukung semua anggota komunitas sekolah.

"Jangan pendidikan karakter itu cuma letupan-letupan saja. Seperti kantin jujur yang bagus, kini hampir tak lagi terdengar gaungnya. Kita harus komitmen untuk menjalankan pendidikan karakter di setiap sekolah," kata Charlotte.

Sekolah yang terdiri dari prasekolah hingga SMA tersebut selama 15 tahun menerapkan pendidikan karakter yang berkesinambungan. Di SD, misalnya pendidikan karakter untuk menjadikan siswa yang mandiri bertanggung jawab, sedangkan di SMP membentuk siswa yang peduli dan berbagi. Sementara di SMA diperkuat dengan pembentukan karakter yang mampu memberi pengaruh pada orang lain lewat kepemimpinan serta berkontribusi pada lingkungannya.

Menurut Charlotte, pendidikan karakter untuk anak mesti dibangun dengan memperkuat komunitas sekolah. Orang tua atau keluarga juga mesti terlibat dengan adanya program parenting class yang diadakan di sekolah.

MERENUNGKAN KEMBALI PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

UNY, Yogyakarta

SARDIMAN

Dalam pengembangan karakter, guru harus bekerjasama dengan keluarga atau orangtua peserta didik. Posisi dan peran keluarga tidak sekedar tercatat atau formalitas, tetapi harus lebih efektif dalam bentuk kontrol terhadap pembinaan kepada peserta didik. Orang tua dan guru perlu membuat kesepakatan nilai-nilai utama apa yg perlu dibelajarkan, nilai-nilai kebaikan yang perlu dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan peserta didik agar tercipta kehidupan yang harmonis, di sekolah, keluarga dan masyarakat. Mengutip Thomas Lickona nilai-nilai tersebut antara lain kejujuran, kasih sayang, pengendalian diri, saling menghargai/menghormati, kerjasama, tanggunggjawab, dan ketekunan.

Demikian disampaikan Sardiman,AM,MPd, di depan 90 peserta Raker Guru dan Karyawan SMA Muntilan I, Rabu (23/6) yang diselenggarakan di Wisma Pemda Boyolali, Selo. Sebelum Raker, diawali penandatangan MOU antara Dekan FISE UNY, Sardiman AM,MPd dan Kepala Sekolah SMA I Muntilan, Asep Sukendar,MPd. Acara yang berlangsung dua hari tersebut, juga dihadiri Pembantu Dekan I FISE UNY, Suhadi Purwantara, MSi, Kepala Kantor Humas, Promosi, Protokol, Lena Satlita,MSi, Kabag FISE UNY dan staf humas FISE UNY.

Sardiman melanjutkan pendidikan karakter di lembaga pendidikan tidak dapat ditawar lagi. Perilaku sebagian remaja dan peserta didi k yang cenderung semau gue, tidak tegur sapa, kurang hormat dan menghargai guru ataupun orang tua tidak dapat dibiarkan.Munculnya berbagai masalah ditengah kehidupan masyarakat seperti kenakalan remaja, narkoba, pelecehan seksual, indisiplin, hedonis kerusakan lingkungan, kurang menghargai karya-karya budaya bangsa, rendahnya komitmen dan jati diri bangsa, sudah tidak dapat ditolerir lagi.

Sardiman menegaskan mandegnya pendidikan budi pekerti di sekolah tidak terlepas dari paradigma dan kebijakan serta arah pembangunan nasional di masa Orde Baru yang menitikberatkan pembangunan di bidang fisik dan ekonomi.Pertumbuhan ekonomi terjadi tetapi juga membawa perubahan pandangan dan perilaku masyarakat menjadi pragmatis dan mengorbankan idealisme sebagai warga bangsa. Bidang pendidikan yang merupakan lahan kegiatan investasi masa depan yang merupakan aspek fundamental dalam kegiatan pembangunan kurang mendapat perhatian. Pembelajaran di sekolah lebih menitikberatkan pada kegiatan penguasaan materi, lebih banyak melatih otak kiri sehingga cenderung intelektualistik. Pendidikan kita lebih berorientasi pada inovasi dan eksperimentasi yang bersifat teknologis, tetapi kurang membangun perspektif tujuan dan kebutuhan asasi.Lebih didominasi pencarian pengetahuan teknologis daripada pencarian tujuan filosofis yang lebih arif dan mendasar, tegas Sardiman.

Di akhir paparannya, Sardiman mengatakan tidak mudah mengajarkan pendidikan karakter. Agar pendidikan karakter dapat terus dikembangkan maka perlu langkah-langkah sebagai berikut: perlu adanya keteladanan, proses pembelajaran dikembalikan kepada khitahnya sebagai proses pendidikan yang sesungguhnya (hakikat pendidikan). Perlu juga penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif-edukatif, misalnya dipajang berbagai ketentuan, prosedur, slogan-slogan yang mampu memberikan motivasi dan semangat dalam hidup dan kehidupan yang lebih berkarakter, perlu penataan berita dan penyiaran di berbagai media massa, baik di media cetak maupun elektronik, perlu dilakukan kerjasama orangtua/wali dan masyarakat sekitar dan adanya political will dari pemerintah.(lensa 29 Jun 2010)

PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA


Para orangtua kerap berharap: mampukah pendidikan mencetak generasi yang berkarakter kuat?

Bilakah pendidikan mampu menghasilkan orang-orang berintegritas tinggi di negeri ini? Sebuah keinginan yang boleh jadi terdengar berlebihan, meski sesungguhnya amat wajar, mengingat pendidikan memang tumpuan solusi dari sekian banyak persoalan sumber daya manusia dan problem kemasyarakatan.

Pendidikan pada hakikatnya adalah perubahan perilaku. Mengikuti kerangka berfikir seperti ini, sudah selayaknya proses pendidikan sanggup mengubah sikap dan membangun perilaku sesuai harapan.

Tingginya harapan masyarakat terhadap dunia pendidikan tersebut agaknya dipicu oleh kenyataan masih senjangnya harapan dengan kenyataan di lapangan. Prestasi pelajar dan mahasiswa kita di berbagai ajang kompetisi internasional juga membanggakan. Generasi penerus itu setidaknya mampu membuat dada kita mengembang bangga. Mereka memberi bukti nyata bahwa sebetulnya sumber daya manusia kita mampu berjaya bilamana kita bersungguh-sungguh mengupayakannya. Kita bukan bangsa kuli atau inlander bodoh sebagaimana stempel yang ditempelkan kepada kita selama ratusan tahun oleh penjajah.

Di sela-sela prestasi gemilang tersebut di atas, memang harus diakui masih terpampang sisi buram di sekitar kita. Jumlah kaum muda pengguna narkoba masih mencemaskan. Tawuran antar pelajar di jalanan tetap merepotkan petugas keamanan. Bahkan kini kelakuan buruk itu juga merembet ke “kakaknya”. Para mahasiswa tidak malu lagi bentrok fisik dan baku lempar batu dengan sesama mahasiswa, dengan warga kampung, bahkan dengan polisi. Longgarnya pergaulan pria wanita membuat remaja kebablasan. Angka aborsi di kalangan remaja masih tinggi. Kondisi sosial yang semakin permisif, minimnya sanksi sosial, membuat mereka gampang melanggar susila. Kini kian sering saja tersiar kabar beredarnya video mesum di ponsel-ponsel para pelajar, dan ironisnya “aktor-aktris”nya adalah rekan-rekan mereka sendiri. Penggunaan internet yang semakin meluas memang menambah wawasan dan jaringan bagi penggunanya, namun ada dampak ikutan yang harus dicegah yaitu beredar luasnya pornografi. Betapa banyak pejabat publik yang diseret ke meja hijau gara-gara menelan uang rakyat. Angka korupsi negeri ini membubung amat tinggi. Maret 2010, lembaga survey yang bermarkas di Hongkong yaitu Political & Economic Risk Consultancy (PERC) masih menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia Pasifik, mengalahkan posisi Kamboja, Vietnam, dan Filipina.

Mengapa pendidikan belum mampu mengubah perilaku menjadi lebih baik? Mengapa kejujuran, komitmen, keuletan, kerja keras, hingga kesalehan seolah lepas dari persoalan pendidikan. Kini semua pihak bertanya ulang: bagaimana karakter bangsa ini? Atau dalam pertanyaan yang lebih konseptual tapi bernada waswas: bagaimana masa depan Indonesia bila generasi penerusnya tidak memiliki karakter dan jati diri?

“Pembangunan watak (character building) amat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society),” demikian pesan Presiden Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan pelaksanaan Gerakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa pada Puncak Peringatan Hardiknas 2010.

Sasaran gerakan ini adalah seluruh pemangku kepentingan/ lintas kementerian demi terbangunnya karakter bangsa yang kokoh. Khusus di bidang pendidikan, fokus utamanya adalah pada sekolah (peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan), keluarga (anak, orangtua, saudara, pembantu), masyarakat (orang-orang di sekitar peserta didik), dan lingkungan. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan (multiyears).

Uraian tadi merupakan sekelumit dari isi ebook Pendidikan Karakter yang diterbitkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional. Ebook ini mengupas tentang perlunya pembangunan karakter bangsa yang dicanangkan sebagai sebuah gerakan nasional yang diharapkan akan mampu membawa pengaruh terhadap pembentukan karakter bangsa, terutama untuk generasi yang akan datang. Ebook ini juga memuat penerapan pendidikan karakter di sepuluh sekolah yang dipilih, yang telah menerapkannya sejak lama dan sudah menunjukkan perubahan / hasil terhadap peserta didiknya. Secara garis besar, isi ebook ini adalah:

1. Latar Belakang perlunya pendidikan karakter
2. Pengertian pendidikan karakter
3. Contoh penerapan pendidikan karakter di 10 sekolah

Jika anda tertarik untuk membaca dan menerapkan Pendidikan Karakter di sekolah, silahkan download ebook-nya di sini.


Benarkah bangsa kita telah kehilangan karakternya? Maraknya tawuran, baik antar warga, antar mahasiswa, antar siswa SMA, menjadi salah satu ukuran sebagian kalangan mengenai terkikisnya karakter bangsa. Meningkatnya tindak kriminal, pelanggaran disiplin, pergaulan bebas, korupsi, juga menjadi ukuran perlunya pendidikan karakter bagi bangsa.

Tapi sebenarnya, program pendidikan karakter yang sekarang sedang gencar disosialisasikan di sekolah-sekolah, sudah ada dari dulu. Namanya saja yang tidak sama. Pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, akhlaq, adalah perwujudan lain dari pendidikan karakter. Dalam Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas juga dicantumkan, terutama pada Tujuan Pendidikan Nasional. Dalam Standar Kelulusan (permendiknas no 23 tahun 2006) juga memuat pendidikan karakter. Bahkan pendidikan agama sudah masuk sejak jaman dahulu kala. Lantas, mengapa masih terjadi penyimpangan karakter dari yang baik menjadi karakter yang buruk? Apakah ada kesalahan dalam proses pendidikan?

Ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebebab penyimpangan karakter, sehingga pemerintah merasa perlu untuk ‘membangkitkan kembali’ pendidikan karakter di sekolah:

Pertama, karena metode pembelajaran yang tidak sesuai. Tidak dipungkiri, metode pembelajaran dengan ceramah paling banyak dipakai oleh para pendidik kita. Padahal menurut penelitian, siswa yang belajar dengan hanya mendengarkan penjelasan guru, akan sedikit sekali menyerap informasi. Sehingga, jika nilai-nilai karakter itu ditransfer kepada siswa melalui ceramah, kecil kemungkinan akan tertanam di dalam otaknya, apalagi diaplikasikan dalam kehidupan.

Kedua, kebanyakan para pendidik menitik beratkan kepada nilai-nilai kognitif, sedangkan nilai-nilai afektif bahkan diabaikan. Hal inilah yang diduga kuat menjadi penyebab tergerusnya karakter para peserta didik.

Ketiga, peserta didik lebih banyak menghafal daripada memahami. Meskipun hafal kalau tidak faham, pasti akan lupa, apalagi bisa diterapkan. Pemahaman akan nilai-nilai yang baik tidak bisa dilakukan melalui hafalan, melainkan harus dilakukan dan dipraktekkan. Peserta didik akan mengingatnya sepanjang masa sebagai suatu pengalaman yang tidak akan terlupakan.

Keempat, serbuan budaya asing yang begitu dahsyat sehingga mampu menghancurkan benteng moral dan agama para generasi kita. Budaya asing yang belum tentu sesuai, dipakai dan ditiru begitu saja tanpa melalui filter. Sehingga budaya yang baik dan yang tidak baik bercampur bahkan mendominasi dan menghilangkan budaya kita.

MENATA ULANG PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

Bekas, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah (1) tanda yang tertinggal atau tersisa (setelah dipegang, diinjak, dilalui); kesan, (2) sesuatu yang tertinggal sebagai sisa (yang telah rusak, terbakar, tidak dipakai lagi); (3) pernah menjabat atau menjadi. tetapi sekarang tidak lagi, mantan; dan (4) sudah pernah dipakai. Makna lain dari bekas adalah tempat menaruh sesuatu, wadah. Adapun bekasam/pekasam adalah ikan (daging, durian, dsb), yang diasinkan atau diasamkan, lalu dijemur atau disimpan agak lama.

Mobil bekas adalah mobil yang pernah dipakai orang lain. Baju bekas pasti tidak lagi seindah pakaian baru, malah sering kali diberikan kepada orang lain saat bakti sosial. Manusia bekas? Setiap orang, selama bertahun-tahun, telah menjadi korban dari kata-kata orang lain. Orang tua, guru, teman, pimpinan, tokoh masyarakat, politisi, disadari atau tidak, telah membentuk alam pikiran kita menjadi seperti apa yang mereka katakan. Hebatnya, kita sendiri sangat menikmati hidup dalam belenggu kata-kata bekas orang lain itu. Mereka ini disebut Jiddu Krishnamurti, dalam bukunya yang sangat inspiratif, Freedom from the Known, sebagai manusia bekas (secondhand people).

Jika demikian yang dilakukan, tanpa terasa kita telah berubah menjadi entitas bekas. Potensi kemanusiaan telah tereduksi sedemikian rupa menjadi hanya sekadar wadah, tempat menaruh sesuatu. Kebiasaan menjadi wadah, berakibat kecenderungan konformitas lebih kuat daripada kreativitas. Produktivitas, karenanya, menjadi sesuatu yang sangat sulit terjadi. Orang lebih nyaman menjadi konsumen daripada bersusah payah berupaya untuk dapat menjadi produsen. Pendidikan kita selama ini, mohon maaf, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, membebek, dan memintas. Perubahan paradigma pendidikan diperlukan secara lebih fundamental jika kita berharap bangsa ini dapat lebih produktif dan memilik daya saing global di masa depan. Kalau tidak, pendidikan di republik ini hanya akan terus melahirkan secondhand human being.

Pendidikan karakter yang efektif

Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan ‘karakter’ secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan–sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.

Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup.

Sekolah yang telah berkomitmen untuk mengembangkan karakter melihat diri mereka sendiri melalui lensa moral, untuk menilai apakah segala sesuatu yang berlangsung di sekolah mempengaruhi perkembangan karakter siswa. Pendekatan yang komprehensif menggunakan semua aspek persekolahan sebagai peluang untuk pengembangan karakter. Ini mencakup apa yang sering disebut dengan istilah kurikulum tersembunyi, hidden curriculum (upacara dan prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan siswa dengan guru, staf sekolah lainnya, dan sesama mereka sendiri; proses pengajaran; keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran; pengelolaan lingkungan sekolah; kebijakan disiplin); kurikulum akademik, academic curriculum (mata pelajaran inti, termasuk kurikulum kesehatan jasmani), dan program-program ekstrakurikuler, extracurricular programs (tim olahraga, klub, proyek pelayanan, dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah).

Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu meningkatkan efektivitas kemitraan dengan merekrut bantuan dari komunitas yang lebih luas (bisnis, organisasi pemuda, lembaga keagamaan, pemerintah, dan media) dalam mempromosikan pembangunan karakter. Kemitraan sekolah-orang tua ini dalam banyak hal sering kali tidak dapat berjalan dengan baik karena terlalu banyak menekankan pada penggalangan dukungan finansial, bukan pada dukungan program. Berbagai pertemuan yang dilakukan tidak jarang terjebak kepada sekadar tawar-menawar sumbangan, bukan bagaimana sebaiknya pendidikan karakter dilakukan bersama antara keluarga dan sekolah.

Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk menilai kemajuan. Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian: (1) karakter sekolah: sampai sejauh mana sekolah menjadi komunitas yang lebih peduli dan saling menghargai? (2) Pertumbuhan staf sekolah sebagai pendidik karakter: sampai sejauh mana staf sekolah mengembangkan pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong pengembangan karakter? (3) Karakter siswa: sejauh mana siswa memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai etis inti? Hal seperti itu dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan karakter untuk mendapatkan baseline dan diulang lagi di kemudian hari untuk menilai kemajuan.

Menjadi laksanawan
Meski tidak umum, pemunculan istilah laksanawan semoga tidak keliru–wan atau -wati adalah sebuah sufiks dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Sanskerta. Akhiran itu biasanya digunakan bersama-sama dengan kata benda, dan dapat berarti ‘orang yang…’ Dalam perkembangannya, akhiran -wan mengalami perluasan makna sehingga dapat berarti ‘orang yang ahli dan berprofesi dalam bidang…’ Misalnya, usahawan orang yang ahli dan berprofesi dalam bidang usaha tertentu. Oleh karena itu, laksanawan dimaksudkan sebagai orang yang ahli melaksanakan apa yang diyakini, orang yang berprofesi melaksanakan apa yang sudah menjadi keyakinan hidupnya. Manusia jenis itu tidak puas dengan hanya wacana. Inilah man of action, in the real meaning. Bersatu antara kata dan perbuatan.

Semoga pendidikan karakter tidak berhenti hanya wacana karena tidak termasuk dalam program 100 hari pemerintah SBY-Boediyono. Pada poin 13, reformasi di bidang pendidikan, hanya disebut: ‘Menyambungkan atau mencegah mismatch antara yang dihasilkan lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan dan keperluan pasar tenaga kerja. Banyak yang dihasilkan perguruan tinggi, oleh sekolah-sekolah kejuruan, oleh balai-balai latihan kerja, tidak selalu klop dengan yang diminta pasar tenaga kerja.’ Lagi-lagi hanya soal pekerjaan, lalu di mana pendidikan karakter? Who knows?

PENDIDIKAN KARAKTER DAN KECERDASAN

OLEH : SUPARLAN

Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku,
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
(WS Rendra, dalam Sajak Pertemuan Mahasiswa)

Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini,
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
(WS Rendra, dalam Puisi Sebatang Lisong)



Dalam acara peringatan tahun ini, 2 Mei 2010, Menteri Pendidikan Nasional menentukan tema “Pendidikan Karakter Untuk Keberadaban Bangsa”. Sungguh menjadi satu kejutan tersendiri bagi banyak orang yang sudah lama lupa dengan konsep Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang kini telah tiada dan hanya tinggal menjadi sebuah nama dalam perjalanan sejarah masa lalu. Selain itu, banyak pula orang yang memberikan sambutan gegap gempita luar biasa, dengan menyebut sebagai satu kebangkitan pendidikan karakter di negeri ini, ketika negeri ini telah dihuni oleh banyak para pelaku korupsi, makelar kasus, dan video mesum. Korupsi, makelar kasus dan video mesum telah menjadi terminologi yang dibahas setiap hari dalam acara televisi. Sungguh tema Hardiknas itu mengingatkan kita bahwa bangsa ini sudah menjadi bangsa yang tidak civilized lagi. Itulah sebabnya maka upaya membangun bangsa yang beradab harus dilakukan melalui proses pendidikan.

Mengapa Melalui Pendidikan?

“Education is not a preparation of life, but it’s life itself”. Demikianlah pendapat John Dewey ketika beliau berusaha menjelaskan tentang ranah pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan adalah kehidupan. Oleh karena itu, benar kata WD Rendra dalam salah satu puisinya telah mempertanyakan tentang adanya “papan tulis-papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan”. Mengapa? Proses pendidikan di sekolah ternyata masih lebih mengutamakan aspek kognitifnya ketimbang afektif dan psikomotoriknya. Bahkan konon Ujian Nasional pun lebih mementingkan aspek intelektualnya ketimbang aspek kejujurannya. Konon tingkat kejujuran Ujian Nasional itu hanyalah 20%, karena masih banyak peserta didik yang menyontek dalam pelbagai cara dalam mengerjakan Ujian Nasional itu.

Dalam bukunya tentang Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences), Daniel Goleman mengingatkan kepada kita bahwa kecerdasan emosional dan sosial dalam kehidupan diperlukan 80%, sementara kecerdasan intelektual hanyalah 20% saja. Dalam hal inilah maka pendidikan karakter diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih beradab, bukan kehidupan yang justru dipenuhi dengan perilaku biadab. Maka terpikirlah oleh para cerdik pandai tentang apa yang dikenal dengan pendidikan karakter (character education).

Apa itu Karakter dan Pendidikan Karakter?

Para pegiat pendidikan karakter mencoba melukiskan pilar-pilar penting dalam pendidikan karakter dalam gambar berikut.



Sumber: www.google.com

Dari gambar tersebut jelas bahwa pendidikan karakter meliputi 9 (sembilan) pilar yang saling kait-mengait, yaitu:

1. responsibility (tanggung jawab);
2. respect (rasa hormat);
3. fairness (keadilan);
4. courage (keberanian);
5. honesty (kejujuran);
6. citizenship (kewarganegaraan);
7. self-discipline (disiplin diri);
8. caring (peduli), dan
9. perseverance (ketekunan).

Dalam gambar tersebut, dijelaskan bahwa nilai-nilai dasar kemanusian yang harus dikembangkan melalui pendidikan bervariasi antara lima sampai sepuluh aspek. Di samping itu, pendidikan karakter memang harus mulai dibangun di rumah (home), dan dikembangkan di lembaga pendidikan sekolah (school), bahkan diterapkan secara nyata di dalam masyarakat (community) dan bahkan termasuk di dalamnya adalah dunia usaha dan dunia industri (bussiness).

Berkenaan dengan pengertian karakter, dalam tulisan di laman Mandikdasmen, Direktur tur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Suyanto, PhD menjelaskan sebagai berikut. Karakter adalah “cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara”.

Lebih lanjut, Prof. Suyanto, PhD juga menyebutkan sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal manusia, yang kelihatan sedikit berbeda dengan sembilan pilar yang telah disebutkan di atas. Sembilan pilar karakter itu adalah:

1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;
2. Kemandirian dan tanggungjawab;
3. Kejujuran/amanah,
4. Hormat dan santun;
5. Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;
6. Percaya diri dan pekerja keras;
7. Kepemimpinan dan keadilan;
8. Baik dan rendah hati, dan;
9. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Jumlah dan jenis pilar yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain, tergantung kepentingan dan kondisinya masing-masing. Sebagai contoh, pilar toleransi, kedamaian, dan kesatuan menjadi sangat penting untuk lebih ditonjolkan karena kemajemukan bangsa dan negara. Tawuran antarwarga, tawuran antaretnis, dan bahkan tawuran antarmahsiswa, masih menjadi fenomena yang terjadi dalam kehidupan kita. Perbedaan jumlah dan jenis pilar karakter tersebut juga dapat terjadi karena pandangan dan pemahaman yang berbeda terhadap pilar-pilar tersebut. Sebagai contoh, pilar cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya tidak ditonjolkan, karena ada pandangan dan pemahaman bahwa pilar tersebut telah tercermin ke dalam pilar-pilar yang lainnya.

Itulah sebabnya, ada sekolah yang memilih enam pilar yang akan menjadi penekanan dalam pelaksanaan pendidikannya, misalnya digambarkan sebagai berikut:

6 pillars character





Sumber: http://www.fisdk12.net/ww/faculty/mrsgruener.html

Dalam gambar tersebut, SD Westwood menekankan pentingnya enam pilar karakter yang akan dikembangkan, yaitu:

1. Trustworthiness (rasa percaya diri)
2. Respect (rasa hormat)
3. Responsibility (rasa tanggung jawab)
4. Caring (rasa kepedulian)
5. Citizenship (rasa kebangsaan)
6. Fairness (rasa keadilan)

Itulah sebabnya, definisi pendidikan karakter pun akan berbeda dengan jumlah dan jenis pilar karakter mana yang akan lebing menjadi penekanan. Sebagai contoh, disebutkan bahwa “character education involves teaching children about basic human values including honesty, kindness, generosity, courage, freedom, equality, and respect” (http://www.ascd.org). Definisi pendidikan karakter inilebih menekankan pentingnya tujuh pilar karakter sebagai berikut:

1. honesty (ketulusan, kejujuran)
2. kindness (rasa sayang)
3. generosity (kedermawanan)
4. courage (keberanian)
5. freedom (kebebasan)
6. equality (persamaan), dan
7. respect (hormat)

Pengertian karakter ini banyak dikaitkan dengan pengertian budi pekerti, akhlak mulia, moral, dan bahkan dengan kecerdasan ganda (multiple intelligence). Berdasarkan pilar yang disebutkan oleh Prof. Suyanto, PhD, pengertian budi pekerti dan akhlak mulia lebih terkait dengan pilar-pilar sebagai berikut, yaitu cinta Tugan dan segenap ciptaannya, hormat dan santun, dermawan, suka tolong menolong/kerjasama, baik dan rendah hati. Itulah sebabnya, ada yang menyebutkan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti atau akhlak mulia PLUS.

Terkait dengan kecerdasan ganda, kita mengenal bahwa kecerdasan meliputi empat pilar kecerdasan yang saling kait mengait, yaitu: (1) kecerdasan intelektual, (2) kecerdasan spiritual, (3) kecerdasan emosional, dan (4) kecerdasan sosial. Kecerdasan intelektual sering disebut sebagai kecerdasan yang berdiri sendiri yang lebih disebut dalam pengertian cerdas pada umumnya, dengan ukuran baku internasional yang dikenal dengan IQ (intellegence quotion). Sementara kecerdasan yang lainnya belum atau tidak memiliki ukuran matematis sebagaimana kecerdasan intelektual. Kecerdasan di luar kecerdasan intelektual inilah yang lebih dekat dengan pengertian karakter pada umumnya. Dalam hal inilah maka, sebagaimana dijelaskan Prof. Suyanto, PhD, kita memahami pernyataan Dr.Martin Luther King, tokoh spiritual kulit hitam di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat, atau intellegence plus character. ”That is the goal of true education”, demikianlah tambahnya. Itulah tujuan pendidikan yang sebenarnya, yakni menciptakan manusia yang cerdas secara komprehensip, keseluruhan aspek kecerdasan ganda tersebut.

Dengan demikian, pengertian karakter sebenarnya merupakan bagian dari kecerdasan ganda yang dijelaskan Howard Gardner dengan teorinya kecerdasan ganda, yang meliputi tujuh macam kecerdasan yang sering disingkat SLIM n BIL, yaitu:

1. Spatial (keruangan)
2. Language (bahasa)
3. Intrapersonal (intrapersonal)
4. Music (musik)
5. Naturalist (naturalis – sayang kehidupan alam)
6. Bodily Kinesthetics (olahraga – gerak badan)
7. Logical Mathematics (logikal –matematis)

Ketujuh tipe kecerdasan ganda menurut Howard Gardner tersebut terkait dengan potensi universal manusia yang perlu dikembangkan melalui pendidikan. Itulah sebabnya, amatlah tepat amanat Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan tentang empat tujuan negara ini didirikan. Salah satu tujuan itu adalah ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, dalam arti menemukan dan mengembangkan potensi kecerdasan semua anak bangsa. Anak bangsa yang memiliki potensi kecerdasan spatial, didiklah menjadi arsitek yang handal. Anak bangsa yang memiliki potensi kecerdasan language, didiklah menjadi ahli bahasa yang hebat. Demikian seterusnya dengan potensi kecerdasan yang lainnya, sampai dengan potensi kecerdasan logical mathematics, didiklah menjadi intelektual yang handal.

Pengembangan ketujuh potensi kecerdasan tersebut, sudah barang tentu harus dibarengi dengan pembinaan karakternya. Arsitek yang handal sudah barang tentu harus memiliki enam atau sembilan pilar karakter yang telah disebutkan. Demikian seterusnya dengan potensi kecerdasan yang lainnya.

Anak-anak bangsa Indonesia harus dikembangkan semua potensi kecerdasan gandanya. Upaya inilah yang menjadi kebijakan utama pembangunan pendidikan nasional di negeri tercinta ini. Amanat mencerdaskan kehidupan bangsa harus selalu menjiwai setiap daya upaya pembangunan pendidikan. Tidak ada pendidikan, tidak ada pembangunan sosial-ekonomi. Demikian pesan Ho Chi Mien, bapak pendidikan bangsa Vietnam kepada aparat pendidikan di negaranya. Hanya dengan pendidikan, negeri ini akan dapat kita bangun menjadi negara dan bangsa yang memiliki daya saing yang setaraf dengan negara dan bangsa lain di dunia.

Pendidikan Karakter dan Peningkatan Daya Saing Bangsa

Pilar karakter yang mana yang harus dikembangkan di Indonesia? Sesungguhnya semua pilar karakter tersebut memang harus dikembangkan secara holistik melalui sistem pendidikan nasional di negeri ini. Namun, secara spesifik memang juga ada pilar-pilar yang perlu memperoleh penekanan. Sebagai contoh, pilar karakter kejujuran (honesty) sudah pasti haruslah lebih mendapatkan penekanan, karena negeri ini masih banyak tindak KKN dan korupsi. Demikian juga dengan pilar keadilan (fairness) juga harus lebih memperoleh penekanan, karena kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak pendukung pemilukada yang kalah ternyata tidak mau secara legowo mengakui kekalahannya. Selain itu, fenomena tawuran antarwarga, antarmahasiswa, dan antaretnis, juga sangat memerlukan pilar karakter toleransi (tolerance), rasa hormat (respect), dan persamaan (equality).

Untuk tujuan khusus, misalnya membangkitkan semangat bagi para olahragawan yang akan bertanding di tingkat internasional, maka pilar rasa percaya diri (trustworthiness) dan keberanian (courage) juga harus mendapatkan penekanan tersendiri.

Akhirnya, dengan pendidikan yang dapat meningkatkan semua potensi kecerdasan anak-anak bangsa, dan dilandasi dengan pendidikan karakternya, diharapkan anak-anak bangsa di masa depan akan memiliki daya saing yang tinggi untuk hidup damai dan sejahtera sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang semakin maju dan beradab.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com