Senin, 13 Desember 2010

DAMPAK PENELITIAN MASIH RENDAH

Pendidikan Lampost : Senin, 13 Desember 2010


BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tidak adanya indikator yang jelas mengenai hasil penelitian menyebabkan dampak penelitian di Indonesia masih rendah. -----------------lead

Hasil penelitian seharusnya memberi dampak yang baik bagi perkembangan pengetahuan, ketergunaan bagi dunia industri maupun teknologi aplikatif yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas.

Ketua Lembaga Penelitian Universitas Lampung (Unila) Admi Syarif mengemukakan hal itu, Minggu (12-12). Ia dihubungi terkait dengan data United Nations Development Programme (UNDP) yang menyatakan Indonesia menempati peringkat terbawah di bidang pencapaian teknologi lantaran minimnya riset yang berorientasi paten.

"Lemahnya budaya meneliti, sarana prasarana yang tak memadai, serta kebijakan pemerintah yang kurang mendukung menyebabkan sebagian besar hasil penelitian kita tak berdampak," kata dia.

Apalagi hingga saat ini Direktorat Jenderal Pendidkan Tinggi belum memberikan indikator yang jelas tentang hasil penelitian itu sendiri.

"Seharusnya Dikti mengubah regulasi dengan memberikan indikator hasil penelitian yang jelas kepada para penerima dana penelitian. Sehingga hasil penelitian kita bermuara pada output yang jelas dan konkret," kata dia.

Saat ini, kata dia, penelitian di Indonesia masih bermuara pada pelaporan hasil penelitian dan publikasi jurnal ilmiah. Padahal yang terpenting bukan soal sudah terpubilkasi atau tidaknya suatu penelitian, melainkan apakah publikasi itu dibaca atau tidak. "Jika dibaca secara luas, berarti penelitian itu berdampak," kata dia.

Selain terbaca secara luas, Admi mengatakan penelitian yang memiliki dampak adalah penelitian yang bermuara pada hak paten, teknologi tepat guna, dan sejauh mana dunia industri menyerap atau menggunakan hasil penelitian tersebut.

"Di negara-negara maju, gelar profesor atau guru besar tidak lagi diberikan kepada mereka yang memiliki cum yang tinggi. Gelar akademik tertinggi itu diberikan berdasarkan indikator yang jelas, seperti berapa jumlah paten, berapa industri yang menggunakan hail risetnya atau seberapa banyak orang yang membaca jurnal yang ia tulis," kata dia.

Yang terjadi di Indonesia sebaliknya. Gelar tertinggi akademik tersebut diberikan hanya berdasarkan pencapaian cum yang tinggi. Oleh sebab itu, sebagian besar dosen di Indonesia meneliti hanya untuk menaikkan cum. Mereka belum berorientasi pada paten atau teknologi tepat guna.

"Inilah yang menyebabkan Indonesia tidak memiliki penguasaan teknologi yang spesifik dari hulu hingga hilir. Dengan demikian otomatis Indonesia termasuk menjadi negara dengan penguasaan teknologi yang rendah," kata dia.

Sebelumnya, Suprapto selaku ketua Tim Ahli Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) memaparkan dalam hal pencapaian teknologi, Indonesia menempati peringkat ke-43 dari 46 negara di Asia. Dengan demikian, Indonesia dikategorikan sebagai negara pengadopsi teknologi. Versi UNDP menyatakan Indonesia menempati peringkat 60 dari 72 negara di bidang pencapaian teknologi. MG14/S-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar