Jumat, 10 Desember 2010

SEJARAH FILSAFAT MATEMATIK

Ari Ibnu Umar 11 Des 2010

1. Formalisme

Formalis seperti David Hilbert (1642 –1943) berpendapat bahwa matematika adalah tidak lebih atau tidak kurang sebagai bahasa matematika. Hal ini disederhanakan sebagai deretan permainan dengan rangkaian tanda –tanda lingistik, seperti huruf-huruf dalam alpabet Bahasa Inggeris. Bilangan dua ditandai oleh beberapa tanda seperti 2, II atau SS0. Pada saat kita membaca kadang-kadang kita memaknai bacaan secara matematika, tetapi sebaliknya istilah matematika tidak memiliki sebarang perluasan makna (Anglin, 1994). Formalis memandang matematika sebagai suatu permainan formal yang tak bermakna (meaningless) dengan tulisan pada kertas, yang mengikuti aturan (Ernest, 1991). Ada bermacam keberatan terhadap formalisme, antara lain; (1) formalis dalam memahami obyek matematika seperti lingkaran, sebagai sesuatu yang kongkrit, padahal tidak bergantung pada obyek fisik; (2) formalis tidak dapat menjamin permainan matematika itu konsisten. Keberatan tersebut dijawab formalis bahwa (1) lingkaran dan yang lainnya adalah obyek yang bersifat material dan (2) meskipun beberapa permainan itu tidak konsisten dan kadang-kadang trivial, tetapi yang lainnya tidak demikian (Anglin, 1994).

Menurut Ernest (1991) formalis memiliki dua dua tesis, yaitu

* Matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan sebarangan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal.
* Keamanan dari sistem formal ini dapat didemostrasikan dengan terbebasnya dari ketidak konsistenan

2. Intuisionisme
Intuisionisme seperti L.E.J. Brouwer (1882-1966), berpendapat bahwa matematika suatu kreasi akal budi manusia. Bilangan, seperti cerita bohong adalah hanya entitas mental, tidak akan ada apabila tidak ada akal budi manusia memikirkannya. Selanjutnya intuisionis menyatakan bahwa obyek segala sesuatu termasuk matematika, keberadaannya hanya terdapat pada pikiran kita, sedangkan secara eksternal dianggap tidak ada. Kebenaran pernyataan p tidak diperoleh melalui kaitan dengan obyek realitas, oleh karena itu intusionisme tidak menerima kebenaran logika bahwa yang benar itu p atau bukan p (Anglin, 1994).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar