Senin, 27 Desember 2010

PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA


Para orangtua kerap berharap: mampukah pendidikan mencetak generasi yang berkarakter kuat?

Bilakah pendidikan mampu menghasilkan orang-orang berintegritas tinggi di negeri ini? Sebuah keinginan yang boleh jadi terdengar berlebihan, meski sesungguhnya amat wajar, mengingat pendidikan memang tumpuan solusi dari sekian banyak persoalan sumber daya manusia dan problem kemasyarakatan.

Pendidikan pada hakikatnya adalah perubahan perilaku. Mengikuti kerangka berfikir seperti ini, sudah selayaknya proses pendidikan sanggup mengubah sikap dan membangun perilaku sesuai harapan.

Tingginya harapan masyarakat terhadap dunia pendidikan tersebut agaknya dipicu oleh kenyataan masih senjangnya harapan dengan kenyataan di lapangan. Prestasi pelajar dan mahasiswa kita di berbagai ajang kompetisi internasional juga membanggakan. Generasi penerus itu setidaknya mampu membuat dada kita mengembang bangga. Mereka memberi bukti nyata bahwa sebetulnya sumber daya manusia kita mampu berjaya bilamana kita bersungguh-sungguh mengupayakannya. Kita bukan bangsa kuli atau inlander bodoh sebagaimana stempel yang ditempelkan kepada kita selama ratusan tahun oleh penjajah.

Di sela-sela prestasi gemilang tersebut di atas, memang harus diakui masih terpampang sisi buram di sekitar kita. Jumlah kaum muda pengguna narkoba masih mencemaskan. Tawuran antar pelajar di jalanan tetap merepotkan petugas keamanan. Bahkan kini kelakuan buruk itu juga merembet ke “kakaknya”. Para mahasiswa tidak malu lagi bentrok fisik dan baku lempar batu dengan sesama mahasiswa, dengan warga kampung, bahkan dengan polisi. Longgarnya pergaulan pria wanita membuat remaja kebablasan. Angka aborsi di kalangan remaja masih tinggi. Kondisi sosial yang semakin permisif, minimnya sanksi sosial, membuat mereka gampang melanggar susila. Kini kian sering saja tersiar kabar beredarnya video mesum di ponsel-ponsel para pelajar, dan ironisnya “aktor-aktris”nya adalah rekan-rekan mereka sendiri. Penggunaan internet yang semakin meluas memang menambah wawasan dan jaringan bagi penggunanya, namun ada dampak ikutan yang harus dicegah yaitu beredar luasnya pornografi. Betapa banyak pejabat publik yang diseret ke meja hijau gara-gara menelan uang rakyat. Angka korupsi negeri ini membubung amat tinggi. Maret 2010, lembaga survey yang bermarkas di Hongkong yaitu Political & Economic Risk Consultancy (PERC) masih menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia Pasifik, mengalahkan posisi Kamboja, Vietnam, dan Filipina.

Mengapa pendidikan belum mampu mengubah perilaku menjadi lebih baik? Mengapa kejujuran, komitmen, keuletan, kerja keras, hingga kesalehan seolah lepas dari persoalan pendidikan. Kini semua pihak bertanya ulang: bagaimana karakter bangsa ini? Atau dalam pertanyaan yang lebih konseptual tapi bernada waswas: bagaimana masa depan Indonesia bila generasi penerusnya tidak memiliki karakter dan jati diri?

“Pembangunan watak (character building) amat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society),” demikian pesan Presiden Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan pelaksanaan Gerakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa pada Puncak Peringatan Hardiknas 2010.

Sasaran gerakan ini adalah seluruh pemangku kepentingan/ lintas kementerian demi terbangunnya karakter bangsa yang kokoh. Khusus di bidang pendidikan, fokus utamanya adalah pada sekolah (peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan), keluarga (anak, orangtua, saudara, pembantu), masyarakat (orang-orang di sekitar peserta didik), dan lingkungan. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan (multiyears).

Uraian tadi merupakan sekelumit dari isi ebook Pendidikan Karakter yang diterbitkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional. Ebook ini mengupas tentang perlunya pembangunan karakter bangsa yang dicanangkan sebagai sebuah gerakan nasional yang diharapkan akan mampu membawa pengaruh terhadap pembentukan karakter bangsa, terutama untuk generasi yang akan datang. Ebook ini juga memuat penerapan pendidikan karakter di sepuluh sekolah yang dipilih, yang telah menerapkannya sejak lama dan sudah menunjukkan perubahan / hasil terhadap peserta didiknya. Secara garis besar, isi ebook ini adalah:

1. Latar Belakang perlunya pendidikan karakter
2. Pengertian pendidikan karakter
3. Contoh penerapan pendidikan karakter di 10 sekolah

Jika anda tertarik untuk membaca dan menerapkan Pendidikan Karakter di sekolah, silahkan download ebook-nya di sini.


Benarkah bangsa kita telah kehilangan karakternya? Maraknya tawuran, baik antar warga, antar mahasiswa, antar siswa SMA, menjadi salah satu ukuran sebagian kalangan mengenai terkikisnya karakter bangsa. Meningkatnya tindak kriminal, pelanggaran disiplin, pergaulan bebas, korupsi, juga menjadi ukuran perlunya pendidikan karakter bagi bangsa.

Tapi sebenarnya, program pendidikan karakter yang sekarang sedang gencar disosialisasikan di sekolah-sekolah, sudah ada dari dulu. Namanya saja yang tidak sama. Pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, akhlaq, adalah perwujudan lain dari pendidikan karakter. Dalam Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas juga dicantumkan, terutama pada Tujuan Pendidikan Nasional. Dalam Standar Kelulusan (permendiknas no 23 tahun 2006) juga memuat pendidikan karakter. Bahkan pendidikan agama sudah masuk sejak jaman dahulu kala. Lantas, mengapa masih terjadi penyimpangan karakter dari yang baik menjadi karakter yang buruk? Apakah ada kesalahan dalam proses pendidikan?

Ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebebab penyimpangan karakter, sehingga pemerintah merasa perlu untuk ‘membangkitkan kembali’ pendidikan karakter di sekolah:

Pertama, karena metode pembelajaran yang tidak sesuai. Tidak dipungkiri, metode pembelajaran dengan ceramah paling banyak dipakai oleh para pendidik kita. Padahal menurut penelitian, siswa yang belajar dengan hanya mendengarkan penjelasan guru, akan sedikit sekali menyerap informasi. Sehingga, jika nilai-nilai karakter itu ditransfer kepada siswa melalui ceramah, kecil kemungkinan akan tertanam di dalam otaknya, apalagi diaplikasikan dalam kehidupan.

Kedua, kebanyakan para pendidik menitik beratkan kepada nilai-nilai kognitif, sedangkan nilai-nilai afektif bahkan diabaikan. Hal inilah yang diduga kuat menjadi penyebab tergerusnya karakter para peserta didik.

Ketiga, peserta didik lebih banyak menghafal daripada memahami. Meskipun hafal kalau tidak faham, pasti akan lupa, apalagi bisa diterapkan. Pemahaman akan nilai-nilai yang baik tidak bisa dilakukan melalui hafalan, melainkan harus dilakukan dan dipraktekkan. Peserta didik akan mengingatnya sepanjang masa sebagai suatu pengalaman yang tidak akan terlupakan.

Keempat, serbuan budaya asing yang begitu dahsyat sehingga mampu menghancurkan benteng moral dan agama para generasi kita. Budaya asing yang belum tentu sesuai, dipakai dan ditiru begitu saja tanpa melalui filter. Sehingga budaya yang baik dan yang tidak baik bercampur bahkan mendominasi dan menghilangkan budaya kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar