Rabu, 22 Desember 2010

PENDIDIKAN UNTUK KALANGAN PINTAR

Opini Lampost : Selasa, 21 Desember 2010

HAZWAN ISKANDAR JAYA
Alumnus 'Kampus Kebangsaan' Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa Yogyakarta

Jika para pendidik hanya senang mendidik anak yang pintar, tunggulah kehancuran bangsa ini di kemudian hari. Karena mayoritas anak-anak bangsa ini masih belum berkualitas tinggi. Padahal hak seluruh anak bangsa memperoleh pendidikan yang setara dan adil, sebagaimana diamanatkan konstitusi nasional Indonesia.

Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah merupakan salah satu cita-cita luhur bangsa ini—yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Konstitusi telah secara tegas mengamanatkan agar upaya mencerdaskan kehidupan bangsa itu merupakan salah satu fondasi utama dari sebuah bangsa yang besar, untuk meraih cita-cita yang lain, yakni perlindungan terhadap segenap tumpah darah Indonesia, kesejahteraan, dan keadilan sosial.

Karena itu, konstitusi bukan hanya menjamin setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Akan tetapi setiap warga negara malah diwajibkan mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 Ayat [2] Amendemen ke-4 UUD 1945). Pemerintah pun diminta untuk mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut.

Guna mewujudkan amanat mulia dalam bidang pendidikan itu, konstitusi juga memerintahkan agar negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN. Meskipun demikian, perintah konstitusi itu nyata-nyata selalu diabaikan dalam politik anggaran, yang menempatkan biaya pendidikan kurang dari 20%. Biaya pendidikan riil yang harus ditanggung masyarakat pun makin melambung.

Di samping mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, kritik tajam pada dunia pendidikan kita pernah dilontarkan oleh Pater J. Drost S.J. (Kompas, 1998), bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang menyediakan sekolah hanya untuk anak pandai. Jumlahnya sekitar 30% dari populasi pelajarnya. Dan tidak ada sekolah untuk anak biasa dan rata-rata (anak kebanyakan dengan middle IQ). Akibatnya, 70% dari pelajar Indonesia seolah ditelantarkan. Padahal mereka adalah pokok dari sumber daya manusia Indonesia, yang kelak amat dibutuhkan untuk membangun negara ini.

Sudah menjadi rahasia umum, dunia pendidikan kita memang kerap membuat berbagai kejutan. Kebijakan pemerintah terhadap kurikulum yang sering berganti, telah menandai betapa dunia pendidikan kita masih belum mapan.

Padahal, Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, menginginkan agar seluruh anak negeri bisa mengenyam pendidikan secara merata di Tanah Air. Ki Hadjar menyadari benar bahwa pada suatu saat pendidikan perlu ditingkatkan mutunya. Walaupun begitu, KHD pun sangat mahfum, tak semua anak didik mempunyai kapasitas intelektual yang sama.

Ki Hadjar menghendaki sekolah-sekolah (khususnya Taman Siswa) harus menjadi "bengkel siswa". Sekolah tidak saja mengurusi anak-anak yang kapasitas intelektualnya tinggi, tetapi juga mendampingi, memotivasi, dan mengarahkan anak didik yang dianggap kurang atau rata-rata. Karena itu, sistem pembelajaran momong, among, ngemong itu diharapkan mampu memperbaiki kualitas anak didik, yang pada mulanya hanya mempunyai kapasitas intelektual rata-rata menjadi matang, mandiri dan berkebudayaan tinggi. Konsep pendidikan yang disesuaikan dengan bakat alam sang anak itulah sekolah-sekolah (Taman Siswa) benar-benar menjadi ibarat "bengkel" yang baik.

Senada dengan itu, Pater J. Drost mengemukakan bahwa rendahnya mutu pelajar bukan karena mereka bodoh dan tidak berdisiplin. Justru karena mereka dipaksa mengikuti kurikulum pendidikan yang diperuntukkan kultur Eropa dan Amerika, yang hanya diperuntukkan anak yang pandai saja. Tak heran jika kemudian sebagian dari mereka menjadi frustrasi karena semangat belajarnya dirusak. Mereka tak diberi kesempatan untuk belajar sebagaimana kapasitas intelektual mereka. Bahkan rasa frustrasi itu kemudian harus ditebus dengan "kematian". Ada yang sampai bunuh diri.

Hal ini sebenarnya sudah diprediksi Ki Hadjar Dewantara yang mengatakan, "Tentang zaman yang akan datang, maka kita akan berada dalam satu kebingungan. Seringkali kita tertipu oleh keadaan. Yang kita pandang perlu dan selaras untuk hidup kita, sebenarnya itu adalah keperluan bangsa asing. Demikianlah kita acapkali merusak sendiri kedamaian hidup kita. Lagi pula kita sering mementingkan pengajaran yang hanya menuju terlepasnya pikiran (intelektualisme), padahal pengajaran itu membawa kita pada gelombang penghidupan tidak merdeka (economisch afhankelijk) dan memisahkan orang-orang terpelajar dengan rakyatnya."

Pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak didik, agar dalam garis kodrat pribadinya serta pengaruh lingkungannya, mereka memperoleh kemajuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan. Dalam konteks itulah, maka anak didik sebagai manusia berhak mengatur dirinya sendiri (sebagai individu) sekaligus wajib memperhatikan tertib damainya kehidupan bersama (sebagai makhluk sosial).

Dengan demikian, sebagai usaha kebudayaan, pendidikan hendaknya menjadi motor penggerak untuk mengolah potensi kodrati anak didik: yaitu olah cipta, olah rasa, dan olah karsa. Sehingga moto pendidikan nasional kita: takwa, cerdas dan terampil benar-benar bisa menjadi kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar