Minggu, 05 Desember 2010

ANOMALI UJIAN NASIONAL (UN)

CIPTO WARDOYO

UJIAN Nasional (UN) tahun 2010 memang telah usai. Namun kontroversi mengenai carut-marut pelaksanaannya tetap mengendap bagaikan bom waktu yang siap meledak suatu saat nanti.

Tahun 2010 ini sejarah pendidikan kita kembali tercoreng oleh ulah para oknum pendidik beberapa waktu lalu yang harus berurusan dengan kepolisian karena kasus kecurangan dalam pelaksanaan UN.

Bahkan ada beberapa sekolah yang secara diam-diam telah memberikan bocoran jawaban UN kepada para siswanya. Bisnis bocoran soal dan jawaban pun menjadi ladang uang bagi oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Sejak awal digulirkan kebijakan UN, tampak jelas begitu banyak permasalahan dan kontroversi yang ditimbulkannya.

Kebijakan UN pun terus menuai kritik dari para pakar dan praktisi pendidikan serta berbagai kalangan masyarakat. Bahkan Mahkamah Agung telah menolak kasasi yang diajukan pemerintah dan menyatakan bahwa pemerintah telah lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN.

Pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana, sekaligus akses informasi yang lengkap di daerah sebelum pelaksanaan.

Meskipun logika pedagogik dan logika hukum menyatakan bahwa UN tidak tepat untuk dijadikan syarat kelulusan, namun UN tetap dilaksanakan Kementerian Pendidikan RI pada tahun ini dengan jaminan perbaikan dan peningkatan kualitas pelaksanaannya.

Kita pun patut memberikan apresiasi kepada Kemendiknas atas upaya-upaya yang telah dilakukan guna meningkatkan kredibilitas hasil UN. Setidaknya “Pakta Kejujuran” yang cukup gencar digembor-gemborkan menjelang pelaksanaan UN tahun ini menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam mewujudkan UN yang jujur dan kredibel.

Walaupun kita semua menyaksikan bahwa pada implementasinya masih banyak sekali permasalahan dan kasus kecurangan yang terjadi pada pelaksanaantahun ini. Hal ini tentunya harus bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk segera mengkaji ulang kebijakan UN secara komprehensif.

Jangan sampai UN hanya menjadi ritual tahunan yang meyisakan berbagai permasalahan dan kontroversi di dalamnya.

Melihat banyaknya permasalahan dan carut-marut dalam pelaksanaannya tahun ini dapat ditegaskan bahwa dampak dari penyelenggaraan UN lebih banyak mudharatnya dari pada tujuan yang ingin dicapai.

Banyak peserta didik frustasi bahkan diantaranya sampai nekad bunuh diri karena merasa tertekan dan cemas yang berlebihan karena takut tidak lulus. Ini menunjukkan bahwa UN tidak sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan dan telah mengenyampingkan aspek pedagogis dalam pendidikan.

UN telah membuat peserta didik banyak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan cipta, rasa dan karsa dalam proses pembelajaran, juga telah mengaburkan tujuan pendidikan nasional yang ingin dicapai seperti tertuang dalam UU No.20 Tahun 2003.

Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif , mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pelaksanaan UN jelas telah mereduksi tujuan dari pendidikan nasional itu sendiri. Pendidikan seolah-olah berubah menjadi mesin produksi yang mencetak nilai dan ijazah. Sedangkan nilai-nilai abstrak yang mulia dalam pendidikan justru diabaikan.

Pada akhirnya visi dan misi pendidikan pun dikerdilkan hanya berorientasi insidental dan jangka pendek semata. Ini jelas bertentangan dengan hakikat “Pendidikan Sepanjang Hayat” yang kita amini bersama selama ini.

Masih mengacu pada isi UU No. 20 Tahun 2003 yaitu: pasal 58 ayat (1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

Dari isi pasal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan UN telah melanggar Undang-Undang Sisdiknas yang telah dibuat oleh pemerintah. Dengan adanya UN secara tidak langsung entah disadari atau tidak pemerintah telah mengabaikan hak pendidik (baca:guru) dalam melakukan evaluasi hasil belajar terhadap para peserta didiknya.

Secara logika pendidik-lah yang lebih paham dan mengetahui kemampuan serta karakteristik tiap-tiap peserta didik (baca:siswa) secara komprehensif. Maka para pendidik-lah yang berhak untuk melakukan penilaian dan menentukan lulus tidaknya para siswa-nya.

Terlepas dari segala kontroversi pelaksanaan UN, mari kita renungkan sejenak tujuan dari pendidikan itu sendiri. Tujuan akhir dari sebuah pendidikan bukanla

Filsafat pendidikan mengatakan bahwa “the end of education is character”. Artinya, keberhasilan pendidikan diukur dari terbentuknya karakter peserta didik sesuai dengan tingkat pendidikannya. Tujuan esensial dari sebuah proses pendidikan tidak bisa diukur hanya melalui tes yang berujung pada kalkulasi angka-angka semata.

Berhasil tidaknya sebuah proses pendidikan bisa dilihat dari pengamalan ilmu-ilmu yang dikuasai tersebut untuk menciptakan kehidupan yang lebih maju, sejahtera, harmonis serta tegaknya norma sosial dan nilai-nilai agama. Dalam arti sebuah proses, pendidikan harus diarahkan pada pengembangan kemampuan setiap peserta didik untuk menerapkan pengetahuan secara bijak dan tepat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Menilik berbagai ketimpangan dan kemudharatan yang ditimbulkan akibat pelaksanaan Un, seyogyanya pemerintah melalui Kemendiknas harus bersikap lebih bijaksana dan segera mengkaji ulang kebijakan UN secara komprehensif. Menjadikan UN sebagai alat memetakan kualitas pendidikan nasional merupakan sebuah irasionalitas pikir.

UN yang kita tahu selama ini tidak dapat memberikan data-data dan informasi akurat yang dibutuhkan oleh pemerintah sebagai dasar pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan. Misalnya, seberapa besar korelasi antara model kurikulum dan prestasi siswa, sejauh mana korelasi antara kondisi sosial ekonomi keluarga terhadap prestasi belajar siswa, dsb.

UN juga tidak mampu mengukur kemampuan siswa yang bersifat afektif dan psikomotorik. Hal ini jelas bersebrangan dengan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan.

Adalah sebuah kesesatan fikir jika pemerintah menganggap bahwa untuk memetakan mutu pendidikan nasional satu-satunya cara dengan mengukur bagaimana siswa belajar dalam sebuah sistem pendidikan. Sebenarnya ada cara alternative lain yang lebih ekonomis dan tidak perlu mengorbankan masa depan siswa, yakni melalui cara percontohan atau sampling seperti yang seringkali dilakukan oleh para peneliti.

Contohnya, pemerintah melakukan pemetaan mutu pendidikan dengan mengambil sampel atau percontohan dari suatu daerah atau satuan pendidikan yang dianggap akurat dan mampu mewakili daerah atau satuan pendidikan lain secara keseluruhan.

Pelaksanaan UN setidaknya memang telah berhasil meningkatkan motivasi belajar para siswa serta semangat mengajar para pendidik, walaupun terpaksa.

Namun bagaimanapun itu tidak ada fakta-fakta yang menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara pelaksanaan UN terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Dan pada akhirnya kita semua hanya bisa berharap kepada pemerintah yang memiliki kuasa dalam pembuatan kebijakan.

Pemerintah dalam konteks ini Kemendiknas harus mulai berfikir jernih dan membuka hati nurani agar mampu memutuskan kebijakan pendidikan yang benar-benar bijaksana dan lebih memanusiakan manusia. Jangan ada lagi kebijakan pendidikan yang membelenggu kebebasan siswa dalam mengembangkan segala potensi yang ada dalam setiap diri mereka. Semoga. (CN23)

- Cipto Wardoyo, Mahasiswa Program Studi Analisis Kebijakan Pendidikan, Mengkaji Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, Penggiat Cipta Cyber Schooling dan Pemerhati Masalah Pendidikan



( - /CN23 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar