Minggu, 02 Januari 2011

MASALAH KITA MENTALITAS

Lampost : Minggu, 2 Januari 2011

WAWANCARA

RIDWAN BAHARTA
Direktur Politeknik Negeri Lampung



Budaya masyarakat Indonesia yang cenderung mengambil posisi aman dalam mencari nafkah membuat dunia usaha didominasi pihak lain.

Indonesia sebagai negara agraris dengan potensi lahan yang luas dan subur serta laut yang amat kaya relatif belum tergarap. Salah satu sebabnya masyarakat Indonesia kurang berminat menekuni dunia pertanian dan kelautan secara profesional.

Jumlah petani dan nelayan yang jauh lebih banyak, bukan menjadi indikator minat itu. Petani dan nelayan saat ini adalah profesi “terpaksa” karena tidak mendapat kesempatan bersaing di bidang profesional lain. Sedangkan para kaum terdidik memilih menjadi pegawai negeri, karyawan swasta, atau buruh perusahaan.

Kesadaran atas kondisi tidak ideal ini sudah muncul sejak lama. Namun, untuk mengubah cara pandang bahwa menjadi petani atau nelayan pun bisa sejahtera dan bermartabat, tampaknya belum berhasil.

Sekolah-sekolah yang mencetak tenaga terampil di dua bidang itu didirikan, tetapi tetap saja perkembangannya bersifat evolutif. Di Politeknik Negeri Lampung (Polinela) saja jumlah lulusan yang sudah puluhan ribu, hanya sekitar tujuh persen yang kemudian memilih menjadi entrepreneur atau pengusaha.

Tentang fenomena ini, wartawan Lampung Post Sudarmono dan Sri Wahyuni mewawancarai Direktur Polinela Ridwan Baharta, Kamis (29-12). Berikut petikannya.

Polinela didirikan untuk mencetak generasi terampil, terutama bidang pertanian, apakah hasil penelitian dan temuannya sudah menyamai komoditas unggul dari Thailand yang dikenal unggul?

Begini, ya. Benar Polinela ini didedikasikan untuk mencetak tenaga terampil. Jadi, orientasinya memang bukan untuk menghasilkan produk unggul hasil-hasil penelitian seperti itu. Kami lebih banyak mengaplikasikan hasil-hasil penelitian untuk diajarkan kepada mahasiswa. Meskipun demikian, aspek-aspek penelitian tetap dominan di sini.

Soal hasil benih unggul seperti yang Anda sebut dari Thailand itu, sebenarnya kita dan banyak pihak sudah bisa. Namun, karena kebetulan nama Bangkok sudah menjadi brand image, maka setiap yang unggul seolah-olah dari Thailand. Itu tidak benar.

Jadi, lebih tepat orientasinya untuk menciptakan entrepreneur di bidang pertanian?

Iya, benar. Itu yang kami lakukan saat ini.

Di sini, mahasiswa kami didik untuk bisa melaksanakan budi daya dengan praktek langsung di laboratorium-laboratorium sesuai dengan jurasannya. Harapannya, ketika lulus mereka akan menjadi petani yang mempunyai pengetahuan dan wawasan lebih dari sekadar petani konvensional. Juga bagaimana menghadapi pasar komoditas yang cenderung tidak terproteksi.

Bagaiaman fakta output-nya?

Nah, ini mungkin yang menjadi PR kami dan kita semua. Data umum saya, dari semua lulusan kami, yang kemudian menekuni bidang yang dia pelajari di sini, hanya tujuh persen. Artinya, yang menjadi entrepreneur sesuai dengan pendidikannya hanya segitu.

Namun, kalau yang bekerja di perusahaan swasta besar pada level menengah dan atas sudah cukup banyak. Juga menjadi PNS. Maksud saya, yang sukses secara ekonomi sudah banyak. Itu yang membuat kami cukup prihatin.

Apa penyebabnya?

Belum ada penelitian yang pasti. Namun, berbagai pendapat menyatakan ini persoalan mentalitas bangsa ini yang cenderung memilih pekerjaan dengan risiko rendah. Menjadi PNS atau karyawan swasta, misalnya, itu lebih karena relatif tidak berani mengambil risiko. Sementara itu, berwirausaha, penuh dengan risiko. Mungkin, itu juga dipengaruhi iklim dan peluang usaha yang begitu kompetitif. Sementara itu, jumlah pengangguran sangat banyak.

Apa solusinya?

Beberapa bulan lalu, Pak Bob Sadino kami undang ke sini untuk ceramah soal kewirausahaan atau entrepreneur. Saya ingat betul pernyataan dia yang bertanya “mengapa sekolah pertanian tidak mampu menciptakan petani yang baik? Sementara itu, fakultas kedokteran selalu menghasilkan dokter?”

Dia langsung menjawab sendiri. Katanya: “karena pengajar fakultas pertanian bukan petani. Sedangkan fakultas kedokteran dosennya dokter!” Itu mungkin salah satu jawaban atas pertanyaan Anda.

Dengan penyataan Bob, apakah Anda akan mengubah pola di Polinela?

Tidak semudah itu. Apa pun, ini perguruan tinggi dan milik negara. Segala sesuatunya ada regulasi yang jelas dan harus dipatuhi.

Kalau idealnya menurut Anda?

Saya pikir, pernyataan Pak Bob juga harus dikaji ulang untuk bidang pertanian. Yang pasti, kami di Polinela akan terus berbenah dan memperbaiki diri untuk menjawab tantangan. Salah satunya dengan memperbaiki manajemen dan memasang target bahwa pada 2020 kami harus menjadi lima besar Politeknik di Indonesia.

Bagaimana dukungan pemerintah daerah?

Kami punya beberapa program kerja sama dengan Pemprov Lampung yang dimotori Pak Wagub, antara lain Pemprov membiayai 100 mahasiswa yang direkrut Pemprov dari anak petani miskin dan yang punya potensi mengembangkan dunia pertanian.

Dunia swasta?

Mungkin ini yang harus lebih kita gali lagi, ya. Sebab, perusahaan agroindustri swasta di Lampung saat ini masih belum membuka diri untuk berbagai kerja sama.

Sebagai contoh, secara berkala kami menyesuaikan kurikulum untuk perbaikan kualitas lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Dalam rangka itu, kami minta masukan dari dunia swasta. Tetapi, jarang sekali mereka mau mengirim utusan yang representatif. Biasanya diwakili wakil, dan wakilnya mewakilkan kepada staf, terus stafnya bilang hanya disuruh mewakili datang.

Apa kira-kira prospek Polinela?

Tahun 2011 ini, kami akan memperbaiki kurikulum. Berbagai masukan kami terima dan diskusikan untuk mencari format yang lebih ideal untuk perkembangan mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar