Minggu, 30 Januari 2011

Hakikat Ilmu Perpustakaan, Informasi Dan Filsafat Terapan Informasi



1. Perdebatan tentang Ilmu Perpustakaan dan Informasi

Terminologi yang dapat dipedomani untuk mengetahui sinergi kepustakawanan dengan informasi adalah mengacu kepada terminologi yang sering digunakan pada bidang akademik yaitu ilmu perpustakaan dan informasi. Terminologi ini merupakan terjemahan langsung dari Library and Information Science disingkat LIS. Berbagai pihak memandang bahwa dua aspek yang terkandung dalam terminology tersebut yaitu perpustakaan dan informasi adalah saling berhubungan bahkan tidak mungkin dipisah. LIS dipandang sebagai istilah dan konsep untuk menyatakan sinergi diantara kepustakawanan dan informasi, akan tetapi di pihak lain ada yang berargumentasi bahwa kedua istilah tersebut terpisah adanya. Dua kata yang digunakan dalam istilah Ilmu Perpustakaan dan Informasi, walaupun tersebut digabung menjadi satu istilah, namun kesepakatan tentang hakikat keduanya masih terus dalam perdebatan.

Perdebatan ini memunculkan variasi istilah baik dalam institusi penyelenggara pendidikan kepustakawanan maupun penerbitan jurnal ilmiah yang merupakan sarana komunikasi ilmiah di bidang kepustakawanan dan informasi. Ada institusi pendidikan formal yang menyebutnya dengan Ilmu Perpustakaan (Library Science), ada yang menyebutnya Studi Perpustakaan (Library Studies) dan ada juga yang sudah menghilangkan kata perpustakaan dengan istilah Ilmu Informasi (Information Science) atau Studi Informasi (Information Studies) dan pada banyak negara memadukan keduanya menjadi suatu istilah yang terpadu Library and Information Science atau Library and Information Studies. Demikian halnya dengan publikasi jurnal ilmiah ada jurnal yang berjudul Journal of Library Science, Journal of Library Studies, Journal of Information Science, Journal of Information Studies dan ada Journal of Library and Information Science.

Sampai saat ini masih berlangsung perdebatan tentang pertanyaan, apakah ilmu perpustakaan (library science) merupakan istilah yang tepat? bukankah istilah kepustakawanan (librarianship) yang lebih tepat dari pada ilmu perpustakaan? Di pihak lain ada pendapat yang menyatakan bahwa bidang perpustakaan lebih tepat dikategorikan sebagai seni keterampilan (skill art) dari pada disebut sebagai ilmu. Demikian halnya dengan informasi, mengingat informasi memiliki arti yang sangat luas sehingga muncul perdebatan mengenai pertanyaan, apakah ilmu informasi sungguh-sungguh ada, memiliki akar yang kuat dan utuh? dan/atau bukankah ilmu informasi itu merupakan kompilasi dari berbagai percabangan ilmu sosial, pasti alam, dan humaniora? Pada pihak lain ada yang menanyakan, dimanakah batas ilmu informasi dengan ilmu komputer, cybermetics, dan informartika? Pertanyaan ini muncul dengan argumen bahwa mengingat ilmu informasi lahir ketika komputer mulai berperan dalam aspek kehidupan manusia.

Saracevic dalam Pendit (2003) menyatakan bahwa perdebatan tentang definisi ilmu perpustakaan dan informasi seringkali terpaku pada perdebatan tentang penggunaan istilah-istilah yang terkandung dalam sebuah definisi. Kecenderungan seperti apa yang dikemukakan di atas juga terjadi di Indonesia. Pembahasan mengenai istilah ilmu perpustakaan dan informasi sering diperdebatkan di Indonesia, bahkan ada yang menginginkan konsep LIS tersebut dibalik menjadi ilmu informasi dan perpustakaan (information and library secience) disingkat ILS, dengan berbagai alasan. Pada hal, sebaiknya perdebatan tidak hanya terfokus kepada istilah tetapi hendaknya dapat menjawab berbagai masalah yang dihadapi oleh ilmu perpustakaan dan informasi berkenaan dengan perubahan yang terjadi. Perlu dilakukan identifikasi masalah apa yang sedang dihadapi saat ini, sehingga para ilmuan di bidang itu dapat menetapkan hal-hal yang perlu dipelajari, dengan demikian sebuah ilmu akan dapat menawarkan solusi untuk menyelesaikan masalah.

Pembahasan tentang hakikat dan esensi sebuah ilmu tidak luput dari konteks masalah yang dihadapi dan perubahan yang terjadi. Melalui pembahasan yang demikian, dapat diperoleh gambaran tentang apa yang sesungguhnya dilakukan oleh para ilmuan di bidang tertentu. Diskusi tentang masalah yang dipelajari suatu ilmu dalam kurun waktu tertentu akan dapat menggambarkan dinamika suatu ilmu. Sebab dalam perkembangan setiap ilmu dapat saja terjadi penekanan pada masalah tertentu sesuai keadaan pada masa itu yang mungkin kurang populer di
masa yang lain.

Pada permulaan tahun enampuluhan ketika teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mulai diaplikasikan di sejumlah perpustakaan, Para pengelola perpustakaan dan ilmuan di bidang perpustakaan mulai terpesona dengan istilah informasi. Terminologi informasi mulai dipadukan dengan perpustakaan, bahkan pada masa selanjutnya istilah informasi menjadi lebih populer dari bahan perpustakaan (library materials) bahkan dari istilah perpustakaan. Dalam perkembangan selanjutnya seolah-olah istilah informasi sudah pasti mencakup seluruh kegiatan kepustakawanan.

2. Ilmu Perpustakaan dan Informasi atau Ilmu Informasi dan Perpustakaan?

Dalam suatu pertemuan dan diskusi pengelola Program Studi Ilmu Perpustakaan dari berbagai Universitas Negeri dan Swasta di Indonesia yang disponsori The British Council di Hotel Kemang Jakarta pada Tahun 2005 yang dihadiri oleh masing-masing ketua dan/atau yang mewakili Program Studi Ilmu Perpustakaan baik pada jenjang program pendidikan D-III, S1 dan S2, seluruh peserta sepakat untuk menambahkan kata informasi pada nama Departemen/Jurusan/Program Studi Ilmu Perpustakaan dengan berbagai alasan. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat apakah kata informasi diletakkan diakhir istilah Ilmu Perpustakaan atau di depan kata perpustakan. Konkritnya apakah istilah yang digunakan Ilmu Perpustakaan dan Informasi terjemahan dari Library and Information Science (LIS) atau Ilmu Informasi dan Perpustakaan yang merupakan terjemahan dari Information and Library Science (ILS)?

Perdebatan tentang kedua istilah itu cukup alot dengan berbagai argumen yang kuat baik dari pakar lulusan dari Amerika, Inggris dan Indonesia. Akhirnya kesepakatan diambil melalui voting, dimana istilah yang digunakan adalah Ilmu Perpustakaan dan Informasi yang merupakan terjemahan dari Library and Information Science (LIS).

Istiliah Ilmu Perpustakaan dan Informasi (LIS) merupakan istilah yang tepat digunakan untuk penamaan Departemen/ Jurusan/Program Studi yang mengasuh bidang ilmu kepustakawanan dan informasi saat ini. Untuk memudahkan pemahaman akan konsep LIS, perlu diketahui perbedaan diantara ilmu perpustakaan (library science) dan ilmu informasi (information science). Sulityo-Basuki (1993) menyatakan perbedaan diantara ilmu perpustakaan dan ilmu informasi terletak pada sejarah, objek, misi dan pengembangan teori serta metode yang digunakannya.

Menurut catatan sejarah bahwa Ilmu Perpustakaan jauh lebih tua usianya dibanding dengan ilmu informasi. Ilmu perpustakaan telah dimulai lebih dari 130 tahun yang lalu ketika Columbia University membuka pendidikan pustakawan pada tahun 1876. Ketika itu istilah yang digunakan bervariasi pada masing-masing universitas yang mengelolanya yaitu Librarianship (Kepustakawanan), Library Studies (Studi Perpustakaan) dan Library Science (Ilmu Perpustakaan). Istilah Information Science (Ilmu Informasi) baru muncul sekitar tahun 1959 yang pertama sekali dikemukakan oleh University of Pennsylvania (AS) ketika membuka program studi ilmu informasi (information science).

Objek Ilmu Perpustakaan lebih menekankan kepada pengelolaan dokumen, sedangkan ilmu informasi lebih menekankan pada informasi yang terdapat dalam dokumen. Sebagai contoh dalam pengelolan dokumen jurnal/majalah, Perpustakaan lebih konsern pada pengelolaan fisik jurnal/majalah dimana akan dicatat, judul, penerbit, ISSN, kala terbit, nomor dan sebagainya, sedangkan ilmu informasi akan menekankan pada informasi yang terdapat dalam majalah tersebut. Misalnya, bagaimana struktur informasinya, bagaimana penyebaran informasinya, siapa pengarang yang paling produktif dalam bidang ilmu tertentu, bagaimana kolaborasi pengarang, bagaimana relevansi dokumen yang menyitir dengan sitirannya, bagaimana usia dokumen yang disitir dan sebagainya.

Misi Ilmu Perpustakaan lebih menekankan pada aspek jasa perpustakaan yaitu pelayanan informasi, sedangkan Ilmu Informasi lebih menekankan pada pengembangan teori informasi baik untuk penyimpanan (storage), pengolahan (processing), pemencaran (act of distribution), akses dan/atau sistem temubalik (retrieval system). Pengembangan Ilmu Perpustakaan dan Ilmu informasi mengikuti teori dan metode yang hampir bersamaan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam perkembangan selanjutnya kedua ilmu itu membaur sehingga terbentuklah Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Pengaruh perubahan pembauran nama tersebut tampak pada perubahan nama-nama lembaga pendidikan baik di Amerika dan Inggris, dimana istilah yang dominan digunakan dewasa ini adalah Information Science dan/atau Information Studies. Sekalipun terdapat kecenderungan pergantian nama, namun hakikat dan esensi dari ilmu perpustakaan tidak pernah hilang.

3. Filsafat Ilmu Perpustakaan dan Informasi

Filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya. Pengertian lain dari filsafat adalah teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan. Selain itu, filsafat adalah juga ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi. Secara konsep ada beberapa hal yang sering digunakan untuk membahas filsafat suatu ilmu diantaranya ontologi, epistemologi, dan metodologi. Epsitemologi menyangkut dasar-dasar dan batas-batas ilmu pengetahuan. Hal ini mencakup argumen yang kuat untuk menyatakan sesuatu sebagai ilmu pengetahuan atau bukan dan mengemukakan batas-batas yang jelas dari ruang lingkup suatu pengetahuan. Ontologi menyangkut sifat dari obyek dan subyek yang dikaji dalam bidang ilmu. Metodologi menyangkut bagaimana melakukan penelitian dalam bidang ilmu tersebut.

Pertanyaan mendasar untuk filsafat ilmu adalah apa? Apakah sebenarnya yang dikaji oleh suatu ilmu? Apakah yang dikaji oleh ilmu Perpustakaan?. Jawaban yang paling gampang dan tepat untuk pertanyaan itu adalah, informasi merupakan kajian mendasar dari ilmu perpustakaan. Perpustakaan sebagai salah satu institusi yang bertugas mengumpulkan, mengolah, mengelola, melayankan dan/atau mendiseminasikan berbagai jenis sumber daya informasi yang mencakup berbagai subyek yang tidak dapat dibatasi dengan bidang dan kajian tertentu. Kelihatannya, perpustakaan akan selalu berhubungan dengan berbagai sumber daya informasi yang tidak terbatas dan yang tersebar pada berbagai tempat. Herold (2001) menyatakan bahwa informasi kelihatannya adalah ubiquitous, diaphanous, a-categorical, discrete, a-dimensional, dan knowing.

Ubiquitous

Informasi terdapat dimana-mana, mudah menyebar dengan bantuan teknologi dan adakalanya sulit terjangkau oleh pemikiran manusia. Informasi muncul sebagai sesuatu yang umum yang timbul dari hasil interaksi manusia, maupun dari interaksi manusia dengan lingkungan. Dalam hal ini informasi dapat muncul dari hasil komunikasi maupun melalui pemikiran atau kesadaran manusia. Mengingat banyak dan luasnya, maka tidak semua informasi dapat dicari, diakses, dikumpulkan dan digunakan oleh pencari informasi. Bagi pustakawan, informasi adalah sebuah konsep yang universal dalam jumlah muatan yang besar, meliputi banyak hal dalam ruang lingkupnya masing-masing dan terekam pada sejumlah media yang selanjutnya disebut bahan perpustakaan (dokumen) yang selanjutnya menjadi koleksi perpustakaan. Namun pustakawan selalu sadar bahwa tidak semua informasi selalu tersedia di perpustakaan.

Diaphanous

Berhubung dengan keberadaannya, salah satu daya yang terdapat dalam informasi adalah membuat suatu pengaruh, sekalipun informasi adalah sesuatu yang bebas atau yang tidak terikat. Dalam banyak aspek, informasi memperlihatkan suatu mutu yang jelas yang dapat menciptakan perubahan. Oleh karena itu, informasi juga merupakan sebuah bentuk ilmu pengetahuan yang paling tajam, apakah diakui secara fundamental ataupun secara elemental.

A-categorical

Informasi terbentuk tanpa definisi awal ke dalam struktur dan susunan yang pasti dan tegas urutan-urutan atau pengelompokannya dalam berbagai cara yang istimewa. Informasi tidak mutlak seperti halnya dalil atau rumusan dalam ilmu eksakta. Informasi kaya akan system klasifikasi yang potensial serta mampu menyesuaikan diri terhadap berbagai tafsiran dan anggapan secara teratur, sementara pada saat yang bersamaan informasi adalah kondisional, tergantung dan terikat, dalam pengertian tidak mempunyai status akhir yang dapat dipastikan.

Discrete

Informasi dapat mengikuti urutan bilangan bulat aritmatika, seperti juga halnya perhitungan digital dan kemungkinan perhitungan umum, termasuk perhitungan kuantum; informasi dapat dianggap sebagai dasar dari perbedaan. Kuantitas informasi dapat dihitung secara terpisah misalnya berapa halaman, berapa paragraf, berapa kalimat, berapa kata dan/atau huruf. Informasi yang berwujud elektronik juga dapat dihitung kuantitasnya misalnya mulai dari karakter, bite, kilo bite, mega bite sampai dengan tera bite. Selain ukuran kuantitas, makna informasi dapat memainkan peran diantara pikiran dan persoalan, baik berupa interaksi antara pikiran-pikiran yang terpisah dan berasosiasi dengan media fisik.

A-dimensional

Bentuk informasi ada kalanya dimensional (terukur) maupun adimensional (tak terukur). Kedua bentuk informasi, baik yang dimensional maupun yang a-dimensional dapat diobservasi. Dalam beberapa hal, informasi dapat diukur, sama seperti bibliografi umum dan metrik perhitungan. Misalnya dalam kajian bibliometrika dapat diukur seberapa banyak suatu artikel atau jurnal ilmiah disitir oleh penulis atau peneliti tertentu. Berapa kali suatu artikel atau jurnal ilmiah disitir atau dikutip oleh penulis atau peneliti. Imfac factor suatu jurnal ilmiah dapat dihitung. Dalam kajian scientometrics misalnya, akses ke informasi elektronik atau ke situs web dapat diukur dengan berbagai kriteria atau indikator tertentu (webometrics). Dalam hal lainnya, informasi sungguh murni, seperti ketika digambarkan dalam bentuk ruang dan keadaan, serta dalam bentuk samaran matematis lain.

Knowing

Studi informasi telah sejak lama saling berkaitan dengan proses belajar dan ilmu pengetahuan. Penelitian-penelitian saat ini dengan tegas telah menghubungkan informasi dengan pengertian dan pemikiran, serta dengan kesadaran dan perkembangan. Informasi menjadi sumber pengetahuan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Proses pengenalan akan hidup melalui sistem model adaptasi yang kompleks atau jaringan komunikasi umum, ekologi maupun bidang lainnya telah menanamkan fungsi substansial ke dalam informasi. Pengetahuan adalah informasi yang sudah diketahui.

a. Informasi dan Kepustakawan

Informasi memiliki arti yang beragam. Banyak pustakawan memandang beragam konsep informasi misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan dalam sistem-sistem kebudayaan tradisional; berkaitan dengan penemuan dan desain-desain baru; berkaitan dengan perencanaan dan prosesnya; dan berkaitan dengan banyak hal yang tak dapat diuraikan secara rinci. Filosofi tentang informasi masih tetap terkesan implisit yang berarti dapat dimunculkan oleh berbagai faktor baik manusia maupun hubungan manusia dengan lingkungan, sementara perjalanan sejarah menunjukkan partisipasi manusia dalam kemunculan sebuah masa yang nyata juga sebagai informasi.

Tugas seorang pustakawan dalam sebuah perpustakaan dapat diibaratkan seperti seorang bidan dalam kelahiran ilmu pengetahuan yang tidak mengalami perubahan yang berarti selama berabad-abad yaitu mengumpulkan, mengolah, melestarikan dan melayankan berbagai sumber daya informasi. Kalaupun ada perubahan, maka hal ini akan meningkatkan kesadaran akan tanggung jawabnya dalam melestarikan warisan budaya yang sebenarnya. Akan tetapi metode atau cara untuk menangani tugas itu dapat berubah sebagai akibat penemuan pengetahuan dan teknologi yang baru. Misalnya dahulu system pelayanan perpustakaan terbatas pada sistem manual yang bersifat clerical, kini sistem pelayanan perpustakaan telah berubah dengan sistem online karena didukung oleh teknologi (automasi perpustakaan). Sekalipun terdapat perubahan cara dalam mengelola perpustakaan, namun tradisi pustakawan sebagai seorang mediator atau perantara dalam arus ilmu pengetahuan, atau mediator diantara pencipta/penulis naskah, buku, dokumen, dan media rekam informasi lainnya kepada pengguna informasi telah berlangsung sejak lama. Selain itu, bidang dokumentasi menjadi hal penting dalam bidang kepustakawanan dan diperhitungkan sebagai disiplin khusus, pencatatan terhadap dokumen yang dimiliki perpustakaan dan menghasilkan dokumen baru untuk memudahkan pemanfaatannya menjadi sangat penting. Penerbitan bibliografi, indeks, abstrak dipandang sebagai persoalan penting dalam dunia kepustakawanan. Akan tetapi mulai pada abad ke-19, ilmu perpustakaan berkembang dari aplikasi metode ilmiah dalam wujud sebuah organisasi industri atau yang bersifat ekonomis yaitu dari bidang bibliografi ilmiah kemudian diperbaharui oleh teknologi informasi dan kehadiran media elektronik. Dengan kehadiran teknologi informasi dan media elektronik memunculkan kesempatan berbeda bagi pustakawan untuk memperbaharui dan meluaskan teoriteori dalam proses pengelolaan bahan perpustakaan, mulai dari proses pengadaan, pengolahan, pelayanan dan desiminasi informasi.

Kepustakawanan diperluas dengan pengetahuan dan keterampilan dibidang teknologi informasi dan komunikasi yang selalu bersinggungan dengan informasi. Selain itu, mulai abad ke 19 proses globalisasi terjadi terhadap beberapa perusahaan dan nasionalisasi institusi-institusi pemerintah dan institusi-institusi non-bisnis yang bersandar pada pembakuan dokumentasi untuk mendokumentasikan berbagai informasi dan pengetahuan yang tersebar pada institusi tersebut. Perpustakaanperpustakaan khusus dan pusat-pusat informasi telah menjawab tantangan komunikasi efektif antar institusi yang penting sekali berkaitan dengan pertumbuhan informasi yang sangat pesat dalam berbagai bidang dengan kegiatan dokumentasi. Pada kenyataannya, kantor-kantor, perpustakaan khusus dan pusat informasi bermunculan untuk kegiatan dokumentasi dan bibliografi, namun masih kurang efektif terutama dalam penyebarluasan dan pemanfaatan informasi. Sebagai contoh pada tahun 1924, Philip Cunliffe-Lister Swinton, yang kemudian menjadi Presiden Kamar Dagang Inggris, mengirimkan pesan pada konferensi pertama Asosiasi Dewan Perpustakaan Khusus dan Informasi (Association of Special Libraries and Information Bureau (ASLIB) (ASLIB Proceedings, 1945), yang isinya menyatakan bahwa “Perkembangan ilmu pengetahuan sepanjang ingatan telah menjadi sangat luar biasa dan aplikasinya sangat nyata dalam segala bidang. Telah diketahui bahwa pengetahuan adalah kekuatan, dan bahwa kumpulan-kumpulan ilmu pengetahuan yang jumlahnya banyak sekali, apakah dalam bidang sains, bisnis, sosiologi, pendidikan ataupun bidang lainnya, masih kurang dimanfaatkan dan terbengkalai. Untuk itu, dihimbau agar perpustakaan khusus dapat berperan dalam pengelolaan dan pemanfaatan informasi tersebut. Contoh ini menunjukkan bahwa informasi sangat berkaitan erat dengan kepustakawanan dan memang tugas utama dari kepustakawanan adalah mengelola informasi.

Kepustakawanan tidak mempersoalkan asal atau sumber informasi tersebut, apakah informasi bersumber dari dunia industri, lembaga penelitian dan sebagainya, semuanya akan diperlukan sama dikumpulkan, diorganisasikan, disimpan dan dilayankan. Jumlah informasi yang sangat banyak sekali hanya berarti apabila orang tahu dimana harus menemukannya. Pengawasan bibliografi yang semula hanya sebagai terapan untuk buku-buku, kini telah meluas hingga meliputi surat kabar, jurnal/majalah dan daftar bacaan periodik lainnya, dokumen-dokumen pemerintah seperti paten dan data teknis, laporan-laporan industri, fotografi dan rekamanrekaman lainnya. Pengawasan bibliografi ini sangat efektif untuk pencarian informasi, akan tetapi bila dalam format tercetak penyebarannya akan lambat sampai kepada pengguna. Untuk itu, pengawasan bibliografi dengan format elektronik menjadi opsi penting untuk tujuan mempercepat informasi sampai kepada pengguna. Sehingga, mulai awal tahun 1980-an muncullah katalog perpustakaan online dan hingga sekarang katalog online tersebut terus mengalami pembaharuan baik dalam format maupun fitur-fiturnya. Dengan katalog online, pengguna dimungkinkan melakukan akses ke koleksi suatu perpustakaan dari jarak jauh (remote access).

Semula beberapa perpustakaan berjuang untuk mengadaptasikan kegiatan perpustakaan dengan ketersediaan sarana fisik berupa ruangan atau gedung untuk mengakomodasi berbagai jenis dan bentuk dokumen yang berupa sumber daya informasi. Akan tetapi upaya ini kelihatannya sulit dipertahankan mengingat pertumbuhan informasi yang sangat dahsyat. Jalan keluarnya adalah melakukan digitalisasi untuk menghasilkan dokumen elektronik. Pengelolaan dan akses terhadap informasi elektronik tentunya menggunakan cara yang berbeda dengan dokumen cetak. Dewasa ini dokumen elektronik kelihatannya sudah menyamai bahkan mungkin juga sudah melampaui kuantitas dokumen cetak. Perpustakaan dituntut untuk tidak hanya mengelola dokumen cetak tetapi juga dokumen elektronik.

Pengelolaan dokumen elektronik dipastikan bersinggungan dengan teknologi informasi. Informasi elektronik hanya dapat diakses menggunakan perangkat teknologi informasi khususnya komputer. Berkaitan dengan itu, penyediaan infrastruktur informasi berupa perangkat lunak dan keras, jaringan dan koneksi internet merupakan keharusan dalam pengelolaan informasi elektronik. Keadaan ini tentu membawa perubahan terhadap cara penanganan bagi institusi pengelola informasi seperti perpustakaan, pusat dokumentasi, pusat analisis informasi dan sebagainya. Dengan demikian kepustakawanan mengalami perubahan dalam cara menangani informasi dari cara yang manual menjadi terautomasi.

b. Akar Ilmu Perpustakaan

H. Curtis Wright (1977) berpendapat bahwa informasi merupakan subyek dari ilmu filsafat, mengingat dasar non-materil dan non-fisiknya. Joseph Z. Nitecki (1993) memuji Wright untuk dalil bahwa kepustakawanan berpusat pada pikiran manusia yang direkam dalam dokumen atau media lainnya yang selanjutnya menjadi bahan perpustakaan (library materials) dengan asumsi bahwa filsafat dapat tergantung baik pada urutan, susunan dan bentuk, atau pada substansi dan muatannya (content). Pikiran manusia yang direkam dalam berbagai media adalah informasi yang berguna bagi kehidupan manusia. Nitecki (1995) telah membuat penelitian besar tentang karya atau bahan bacaan (buku dan sebagainya), mengenai apa yang dilihatnya sebagai filsafat kepustakawanan. Dalam penelitiannya, dia mengemukakan peran perpustakaan yang sangat besar dalam penyediaan dan pelestarian ilmu pengetahuan.

Dari pendapat di atas dapat disimak bahwa akar ilmu perpustakaan adalah berpusat pada pikiran manusia yang berupa pengetahuan, gagasan, kreasi dan sebagainya yang direkam dalam
berbagai media, termasuk yang bersifat tacit maupun non tacit. Media yang merekannya disebut dokumen dan selanjutnya akan menjadi bahan perpustakaan (library material), setelah perpustakaan melakukan kegiatan akuisisi dan diorganisasikan, disimpan dan dilayankan.

Pendapat lainnya menyatakan bahwa perpustakaan bertindaksebagai pengorganisasi dan pengelola ilmu pengetahuan (knowledge managament) yang dapat menggiring pengguna menuju topik bahasan yang diminatinya. Seseorang dapat saja mengambil daftar bacaan mengenai subyek tertentu melalui perpustakaan yang relevan dengan kebutuhannya. Prinsip relevansi dokumen yang dicari dengan yang diinginkan pengguna melalui sistem temu balik informasi (information retrieval system) memiliki nilai filosofis yang tinggi. Bagaimana query pengguna (istilah penelusuran) dicocokkan (matched) sehingga mendapatkan recall (dokumen terpanggil dari sistem) dan selanjutnya recall dinilai untuk mendapatkan precicion (dokumen relevan dengan kebutuhan). Kepustakawanan dan filsafat masing-masing memiliki muatan materi yang unik, akan tetapi mungkin mempunyai bentukbentuk akhir tertentu yang sama; dan keduanya merupakan metasains dengan tingkat mutu tertentu yang sama (Wright, 1997). Misalnya, informasi adalah merupakan agenda umum yang terdalam bagi masyarakat peneliti, akademisi, pebisnis dan mungkin juga bagi masyarakat lainnya. Ada kalanya informasi sudah menjadi kebutuhan hidup bagi mayarakat tertentu, informasi menjadi sesuatu yang selalu dicari untuk pemenuhan hidup. Oleh karena itu, informasi telah menghiasi puncak profesi kepustakawanan.

4. Filsafat Informasi

Terjadinya ledakan informasi (information exploision) yang berkaitan dengan penemuan mesin cetak oleh Johann Gutenberg (1400- 1468), sehingga para filsuf telah mulai berbicara tentang tantangantantangan intelektual baru yang muncul dalam dunia informasi dan lingkungan informasi. Perhitungan-perhitungan dan riset-riset tentang teori informasi sudah semakin meluas dan subur. Revolusi ilmu pengetahuan membuat para filsuf abad ke-17 mengalihkan perhatian mereka dari sifat dasar obyek yang dapat dikenali ke hubungan epistemik antara obyek yang dapat dikenali dengan subyek yang sudah dikenali, dan juga dari ilmu metafisika ke epistemologi. Perkembangan berikutnya dari lingkungan informasi dan kelahiran Infosfer (admosfer informasi yaitu berupa lingkungan semantik dimana jutaan orang atau lebih saat ini menghabiskan waktu mereka bergelut dengan informasi) yang telah lebih jauh mempengaruhi perkembangan ilmu filsafat kontemporer saat ini. Hal ini telah beranjak dari pemusatan pada daerah wewenang yang tampak dari ingatan dan bahasa-bahasa dalam pengetahuan yang terorganisir, instrumen-instrumen dengan jalan mana infosfer dibentuk dan menjadi pemusatan pada sifat dasar dari setiap susunan dan pokok informasi itu sendiri. Dengan demikian, informasi muncul sebagai sebuah konsep pokok penting dan secara filosofis sebagai tubuh pengetahuan, kehidupan, kecerdasan, pengertian ataupun akhlak baik dan buruk; semua konsep yang sangat penting dengan obyek/subyek dimana informasi saling bergantung dan kegunaannya dalam kegiatan penelitian. Informasi adalah sebuah konsep yang lebih khusus, menyangkut konsep-konsep lain yang lebih kaya, dapat diekspresikan dan saling dihubungkan dan tidak didefinisikan secara kaku.

Ilmu Filsafat Informasi menghidupkan kembali sikap-sikap dan pertanyaan-pertanyaan filosofis kuno dan lebih mengenal masalahmasalah baru yang penting sekali. Ilmu ini membantu manusia untuk memperbaiki cara pandang duniawinya. Ilmu ini telah menghasilkan sejumlah hasil yang menarik dan sangat penting. Selanjutnya untuk lebih spesifik, apakah yang dimaksud dengan filsafat informasi? Secara umum, daerah penelitian filosofis baru berkembang menjadi sebuah bidang ilmu yang ditetapkan dengan baik atau mungkin antar cabang disiplin ilmu hanya apabila:

a. Mampu memberikan tafsiran yang tegas, jernih dan tepat terhadap pertanyaan klasik, Apakah X?, dengan demikian memperkenalkan diri sebagai filsafat dari,

b. tafsiran yang telah disediakan tersebut menjadi sebuah penarik minat untuk penelitian-penelitian pada daerah baru yang dapat dipertemukan;

c. penarik minat tersebut ternyata cukup berpengaruh untuk menangkis usaha-usaha yang sentrifugal (melenceng dari pusatnya) yang bisa mencoba mengurangi daerah baru bagi daerah-daerah penelitian lain yang telah dibangun dengan baik; dan

d. daerah baru tersebut cukup kaya untuk disusun dalam sub daerah-daerah dengan jelas dan dengan demikian memungkinkan pengkhususan.

Pertanyaan-pertanyaan seperti, Apa dasar dari keberadaan?, Apa dasar dari pengetahuan?, Apa dasar dari benar dan salah?, Apa dasar dari pengertian? adalah contoh dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang baik untuk mengetahui aspek filsafat. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memenuhi kondisi sebelumnya, dan dengan demikian pertanyaanpertanyaan itu akan menjamin keberadaan yang stabil dari disiplindisiplin ilmu yang sesuai, seperti: metafisika atau ontologi, epistemologi, etika dan filsafat bahasa. Pertanyaan-pertanyaan lain seperti, Apa dasar dari pikiran? Apa dasar dari kecantikan dan rasa? ataupun Apa dasar dari sebuah kesimpulan yang benar dan masuk akal? adalah merupakan subyek dari tafsiran-tafsiran ulang yang fundamental yang merupakan bentuk-bentuk transformasi yang sangat besar dalam definisi pikiran, estetika dan logika filosofis. Masih pertanyaanpertanyaan yang lain seperti: Apa dasar dari kompleksitas? Apa dasar dari hidup? Apa dasar dari tanda-tanda? Apa dasar dari sistem pengontrol? menunjukkan sesuatu yang sudah berubah menjadi transformasi dari suatu cabang antar disiplin ilmu. Apakah Filsafat Informasi sendiri memenuhi syarat-syarat di atas? Langkah pertama untuk memberi jawaban positif membutuhkan identifikasi lebih lanjut tentang pentingnya memahami dasar dari Ilmu Perpustakaan dan Informasi seperti diuraikan di atas yaitu pikiran manusia yang berupa pengetahuan yang direkam dalam berbagai media yang dihasilkan dari interaksi manusia dengan manusia atau dengan lingkungan. Ilmu filsafat menyediakan pertanyaan, ’Apakah x?’, pada dasarnya akan dikaji dalam dua cara yaitu secara fenomenologi ataupun secara metateoritis (Nitecki, 1993). Filsafat bahasa dan epistemologi adalah dua contoh dari fenomenologi atau filsafat dari sebuah fenomena. Subyek dari keduanya adalah pengertian dan pengetahuan, bukannya teori-teori linguistik atau ilmu-ilmu kognitif. Dipihak lain, filsafat fisika dan filsafat ilmu-ilmu sosial adalah contoh jelas dari metateoritis. Keduanya menyelidiki masalah-masalah yang timbul dari sistem ilmu pengetahuan yang pada gilirannya menyelidiki fenomena lain dan makhluk hidup. Meski demikian, beberapa cabang filosofis lain hanya menunjukkan sebuah tekanan terhadap dua kutub, kombinasi antara fenomenologi dan metateoritis. Hal seperti inilah yang terjadi dalam filsafat ilmu matematika dan filsafat ilmu logika. Sebaliknya, Filsafat Informasi seperti halnya filsafat ilmu matematika, merupakan pembiasan secara fenomenologi. Filsafat Informasi ini terutama menyangkut keseluruhan daerah dari fenomena urutan pertama yang ditampilkan oleh dunia informasi, perhitunganperhitungan informasi dan lingkungan informasi. Meskipun ilmu ini menunjukkan masalah-masalahnya dengan memulainya dari suatu tempat yang menguntungkan, yang ditunjukkan oleh teori-teori dan metodologi-metodologi yang ditawarkan oleh Ilmu Komunikasi dan Informasi, namun terlihat condong ke arah pendekatan metateoritis sepanjang bersifat kritis secara metodologi terhadap sumber-sumbernya sendiri.

Penjelasan dan definisi berikut mencoba menyingkap uraianuraian yang telah diuraikan sebelumnya. Filsafat Informasi merupakan daerah filosofis yang meliputi: a) penelitian kritis tentang konsep sifat dan dasar prinsip-prinsip informasi, termasuk kedinamikaannya, pemanfaatannya dan cabang-cabang ilmunya, serta b) perluasan dan pemanfaatan informasi secara teoritis dan perhitungan-perhitungan metodologi terhadap masalah-masalah filosofis. Secara umum definisi pertama (a) menyangkut Filsafat Informasi sebagai sebuah daerah baru. Filsafat informasi menawarkan sebuah penafsiran yang tegas, jelas dan tepat tentang pertanyaan ‘Apakah X?’, yaitu Apakah dasar dari informasi? Ini adalah tanda yang paling jelas dari sebuah daerah baru. Tentu saja, seperti pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut daerah yang lain, tanda tersebut hanya berguna untuk membatasi ruang lingkup sebuah penelitian, bukan untuk menggambarkan masalah-masalah secara mendetail (Floridi, 2001). Filsafat informasi menyediakan penelitian-penelitian kritis yang tidak membingungkan dengan teori kuantitatif dari data komunikasi (teori informasi). Secara keseluruhan, pekerjaannya bukan untuk mengembangkan teori informasi yang telah dikumpulkan, tapi lebih kepada sekumpulan teori-teori yang terintegrasi yang menganalisis, mengevaluasi dan menjelaskan beragam prinsipprinsip dan konsep-konsep informasi, kedinamikaan dan pemanfaatannya, dengan perhatian khusus pada persoalan-persoalan yang timbul dari perbedaan-perbedaan konteks penerapannya serta hubungannya dengan konsep-konsep inti dalam ilmu filsafat, seperti keadaan, pengetahuan, kebenaran, kehidupan ataupun pengertian.

Penelitian-penelitian yang dilakukan pada masa terakhir ini belum menunjukkan kesepakatan umum tentang definisi tunggal informasi. Kenyataan ini hampir tidak mengejutkan sama sekali. Informasi sebuah konsep kuat yang dapat diasosiasikan dengan beberapa penjelasan, bergantung kepada kumpulan persyaratanpersyaratan dan kebutuhan-kebutuhan akan sebuah teori. Claude Shannon (1993), misalnya, berpendapat bahwa kata informasi telah diartikan secara berbeda oleh banyak penulis dalam bidang teori umum informasi. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya sejumlah perbedaanperbedaan ini ternyata cukup berguna dalam aplikasi-aplikasi tertentu yang pantas untuk mendapatkan penelitian lebih jauh dan pangakuan permanen. Sangat susah mengharapkan sebuah konsep tunggal tentang informasi yang akan memberi keterangan yang memuaskan untuk sejumlah aplikasi-aplikasi yang mungkin dalam bidang umum ini (Shannon, 1993). Konsep-konsep polisemantik sepeti informasi dapat dengan subur diteliti hanya dalam hubungannya dengan konteks penggunaannya yang telah dispesifikasi dengan baik.

Definisi kedinamikaan informasi merujuk pada tiga hal, yaitu (a) Aturan dasar (konsitusi) dan pemodelan lingkungan-lingkungan informasi, termasuk susunan sifat-sifat yang teratur, bentuk-bentuk interaksi, pengembangan-pengembangan internal (b) Lingkaran/siklus kehidupan informasi yakni rangkaian bentuk yang berbeda serta aktivitas fungsional yang dilalui oleh arus informasi dan keberadaan awalnya hingga ke pengguna akhirnya serta kemungkinan hilangnya bagian-bagian informasi tersebut; dan (c) Perhitungan, pada kedua pengertian pemrosesan secara algoritma ala mesin berjalan dan pengertian yang lebih luas tentang pemrosesan informasi.

Pemrosesan informasi memperkenalkan sebuah spesifikasi yang sangat penting. Meski merupakan sebuah konsep yang sangat tua, informasi pada akhirnya memiliki sifat dasar dari sebuah fenomena dasar berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, perhitungan dan teknologi informasi dan komunikasi. Dari itu, ilmu perhitungan telah menarik banyak perhatian filosofis pada tahun-tahun terakhir ini. Meski demikian, Filsafat Informasi menghormati informasi lebih dari perhitungan sebagai topik yang sangat penting dalam daerah yang baru, karena berdasarkan analisis dalam Filsafat Informasi, perhitungan merupakan contoh dari informasi. Filsafat Informasi menganggap perhitungan hanya sebagai salah satu dari sekian banyak proses, dimana informasi dapat termasuk di dalamnya. Jadi, bidang atau daerah tersebut seharusnya ditafsirkan sebagai sebuah filsafat informasi dari pada hanya sekedar perhitungan, dalam artian yang sama dimana epistemologi adalah filsafat ilmu pengetahuan, bukan hanya sekedar persepsi.

Dalam perspektif lingkungan, Filsafat Informasi memberi petunjuk tentang dan mengatur apa yang dianggap sebagai informasi, dan bagaimana informasi seharusnya diciptakan, diproses, dikelola dan digunakan. Namun demikian, bias fenomenologis Filsafat Informasi bukan berarti kegagalan dalam menghasilkan hubungan timbal-balik yang sangat penting sebagaimana dalam ilmu komunikasi dan informasi. Sebaliknya, pilihan-pilihan metodologis dan teoritis pada ilmu komunikasi dan informasi juga sangat dipengaruhi oleh jenis Filsafat Informasi yang dipakai oleh seorang peneliti secara lebih atau kurang disengaja. Oleh karena itu, sangat penting ditekankan untuk mengevaluasi, membentuk dan mempertajam dasar konseptis, metodologis dan teoritis dari ilmu komunikasi dan informasi melalui filsafat informasi. Singkatnya, Filsafat informasi juga menyediakan sebuah ilmu filsafat bagi ilmu komunikasi dan informasi.

Perhatian yang berlebihan tentang aspek-aspek metateoritis dapat membuat seseorang kehilangan fakta penting mengenai hal mana yang benar-benar logis untuk membicarakan Filsafat Informasi. Sebab selain aspek metateoritis, penyelidikan terhadap para pengarang yang hidup berabad-abad sebelum revolusi informasi juga dapat dilakukan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengembangkan pendekatan historis untuk mencari jejak sejarah evolusi dari Filsafat Informasi. Hal itu dapat dilakukan selama kerangka kerja teknis dan konsep dari ilmu komunikasi dan informasi tidak diterapkan secara bertentangan dengan zaman, namun dipakai untuk menyediakan metode konseptis dan perspektif yang istimewa untuk mengevaluasi sifat dasar, kedinamikaan dan penggunaan informasi sebelum revolusi digital. Misalnya, pertimbangan penerapan teori Phaedrus-nya Plato, Meditations-nya Descartes, On the Use and Disadvantage of History for Life-nya Nietzsche, atau konsep dunia ketiga-nya Popper untuk mengkaji filsafat informasi. Hal ini sebanding dengan perkembangan yang dialami oleh bidang-bidang filosofis lain, seperti filsafat bahasa, filsafat biologi ataupun filsafat ilmu matematika.

Definisi kedua dari filsafat informasi pada umumnya menyatakan bahwa filsafat informasi bukan hanya sebuah bidang baru, tapi juga menyediakan metode inovatif. Penelitian terhadap konsepsi sifat dasar informasi, kedinamikaannya dan penggunaannya diteruskan dan ditampilkan oleh teori-teori dan metodologi dari ilmu komunikasi dan informasi dan teknologi komunikasi dan informasi (Grim, dkk., 1998). Pandangan seperti ini juga mempengaruhi topik-topik filosofis lain. Informasi teoritis dan metode-metodenya, konsep-konsep, perangkat-perangkat dan teknik-teknik perhitungannya dikembangkan dan diterapkan dalam banyak area filosofis dengan maksud:

a. Untuk memperluas pemahaman tentang kemampuan kognisi dan bahasa manusia serta kemungkinan bentuk kecerdasan tiruan/buatan (filsafat artificial intelegence; ilmu semantik informasi teoritis; epistemologi informasi teoritis; semantik dinamis);

b. Untuk menganalisis kesimpulan dan proses-proses perhitungan (filsfat perhitungan; filsafat ilmu komputer; logika arus informasi; logika situasi);

c. Untuk menjelaskan prinsip-prinsip kehidupan dan perwakilan (filsafat kepalsuan hidup; sibernetika dan filsafat otomasi; keputusan dan teori permainan);

d. Untuk merencanakan pendekatan-pendekatan baru untuk pemodelan sistem secara fisik maupun konseptis (ontologi formal; teori sistem informasi; filsafat kenyataan);

e. Untuk merumuskan metodologi pengetahuan ilmiah (model dasar filsafat ilmu pengetahuan; metodologi perhitungan dalam filsafat ilmu pengetahuan);

f. Untuk menyelidiki masalah-masalah etika (etika komputer dan informasi; etika tiruan), kepentingan-kepentingan estetika (teori multimedia/hipermedia digital; teori hiperteks dan kritik sastra) serta fenomena psikologis, antropologis, dan sosial yang mencirikan masyarakat informasi dan kelakuan manusia dalam lingkunganlingkungan digital (saiber-filsafat)

Sebagai suatu bidang baru, Filsafat Informasi menyediakan kerangka kerja teoritis yang terkumpul dan terpadu yang memungkinkan pengkhususan lebih lanjut. Filsafat informasi memiliki satu terminologi dari kosakata-kosakata yang memiliki konsepsi terkuat yang pernah ditemukan dalam ilmu filsafat, karena dapat mengandalkan konsepkonsep informatif sewaktu-waktu dan sebuah pemahaman lengkap tentang beberapa rangkaian kejadian yang sebelumnya tidak tersedia melalui sebuah penjelasan dari apa yang dilihat. Dalam ilmu filsafat, beberapa persoalan sebenarnya dapat diutarakan dengan cara yang lain dalam istilah-istilah informatif (bersifat menjelaskan) yaitu pendekatan antar informatif. Kekuatan ini merupakan kelebihan yang besar bagi filsafat informasi dan hal ini dapat diartikan sebagai sebuah metodologi.

Kekuatan tersebut menunjukkan bahwa kita menghadapi sebuah paradigma yang berpengaruh yang dapat digambarkan dalam ilmu filsafat informasi. Tapi hal ini juga dapat menjadi sebuah masalah, karena pendekatan antar-informatif dapat membawa sebuah dalih yang berbahaya yakni cara berpikir, karena segala sesuatu dapat digambarkan (lebih kurang secara metaporis) dalam istilah-istilah informatif, sehingga segala sesuatu memiliki seperangkat sifat dasar informatif. Dalih tersebut sebenarnya jelas apabila seseorang menyadari perbedaan antara pemodelan rantai produksi informasi yang menghubungkan antara pengarang, penerbit dan pustakawan yang disebut sebagai proses informasi. Akan tetapi proses pencernaan informasi (pemahaman akan nilai) bukanlah proses informasi. Dalih tersebut mengaburkan kekhususan filsafat informasi sebagai sebuah bidang filosofis dengan subjeknya sendiri. Secara khusus, filsafat informasi menghindari resiko kemungkinan satu arti dengan ilmu filsafat dan dapat menjadi bagian dari sifat-sifat kesegalasesuatuan. Dan bila tidak berhati-hati hal ini dapat merusak usaha untuk mendefinisikan Ilmu Perpustakaan dan Informasi sebagai filsafat informasi terapan.

Cara terbaik untuk menghindari kehilangan identitas dan kekhususan filsafat informasi dan Ilmu Perpustakaan dan Informasi adalah berkonsentrasi pada definisi pertama sebagaimana disebut di atas. Dalam filsafat informasi sebagai sebuah disiplin ilmu filsafat didefinisikan pertanyaan berikut, ‘tentang apa masalah ini?’ (atau akan menjadi apa masalah ini?), bukan ‘bagaimana masalah ini dirumuskan?’. Meski banyak persoalan-persoalan filosofis yang kelihatannya menguntungkan dari segi analisis informatif, namun teori informasi dan filsafat informasi menyediakan fondasi harfiah yang tidak hanya sekedar susunan metaporis. Filsafat informasi memisalkan sebuah masalah atau sebuah penjelasan dapat dikurangi secara logis dan sungguh-sungguh menjadi sebuah masalah atau penjelasan informatif. Oleh karena itu, syarat untuk menguji kekuatan analisis informatif terhadap X adalah bukan hanya memeriksa apakah X tersebut dapat dirumuskan, dibentuk ataupun ditampilkan dalam istilah-istilah informasi, melainkan mempertanyakan akan seperti apakah X tersebut, jika tidak memiliki sebuah dasar informatif sama sekali.

5. Hubungan Filsafat Informasi, Ilmu Perpustakaan dan Informasi dengan Epistemologi Sosial

Luciano Floridi (1999), seorang filsuf (ahli filsafat) yang tertarik tentang filsafat informasi mempelopori suatu usaha dalam area perhitungan dengan harapan akan menghasilkan sebuah laporan sistematis mengenai fondasi filosofis lingkungan informasi. Beliau menguraikan secara sederhana teori-teori ilmu perpustakaan dan informasi dalam konteks penghitungan kembali pertumbuhan ilmu pengetahuan manusia serta kemunculan infosfer modern. Teori-teori ilmu perpustakaan dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan dan penyebaran ilmu pengetahuan. Floridi merangkai sebuah pemahaman tentang berbagai basis data (database) dan ensiklopedi-ensiklopedi yang berkaitan dengan Plato. Dari berbagai database yang diselidiki dapat diketahui pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan mengenai Plato.

Dan dari uraian berbagai ensiklopedi dapat diketahui berbagai sisi kehidupan dan karya Plato. Database informasi ilmiah yang memuat laporan penelitian yang terpelihara dengan baik misalnya, dipastikan dapat digunakan untuk menghitung pertumbuhan ilmu pengetahuan dan untuk penyusunan roadmap penelitian.

Floridi (2000), percaya bahwa kemunculan filsafat informasi (dalam kepustakawanan) seharusnya nampak dengan jelas dari observasinya dan yang dalam perkembangan sejarah filsafat, fokus utamanya beralih dari keberadaan menjadi pengetahuan, menjadi pengertian, dan menjadi informasi. Kepustakawanan telah menerapkan dirinya sendiri sebagai sebuah lensa untuk menjadi titik fokus utama dalam usahanya menjadi alat perekam sejarah dan pengetahuan. Floridi mendefinisikan filsafat informasi sebagai gambaran dan akar normatif yang pada dasarnya berfokus pada penyelidikan-penyelidikan konsepsi dan mendasar terhadap sifat dasar informasi, kedinamikaannya dan penggunaannya. Kedinamikaan dalam hal ini termasuk aturan lingkungan-lingkungan informasi beserta perlengkapan sistemiknya, interaksi-interaksi dan perkembangan-perkembangan internalnya dan sebagainya, serta lingkaran/siklus kehidupan termasuk penemuan, permulaan, penulisan, pengumpulan, pengabsahan, pengubahan, penyusunan, pengindeksan, penggolongan, penyaringan, pembaharuan, penyortiran, penyimpanan, pembuatan jaringan, pendistribusian, pengaksesan, penemuan kembali, penyebaran, pengawasan, pemodelan, penganalisaan, penjelasan, perencanaan, ramalan, pengambilan keputusan, penginstruksian, pengajaran, pembelajaran, dan sebagainya.

Sekalipun pengertian informasi dalam perhitungan yang lebih sempit dan lebih seragam dari konteks informasi yang dikelola di perpustakaan, tapi argumen-argumen Floridi lebih tegas dan inovatif serta diekspresikan dengan baik. Karya filosofis Mark Alfino (1995), mengandung pelajaran yang sangat berharga. Beliau mengemukaan bahwa berfikir tentang informasi dengan cermat, harus membaca dari beberapa disiplin ilmu, sebab informasi bukan merupakan obyek khusus dari pelajaran manapun. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa pemilahan dan pemikiran tentang informasi antara banyak maupun sedikit dan perhitungan-perhitungan teknis yang mengira bahwa informasi dapat dipelajari sebagai obyek yang berbeda dalam pengisolasian dari kebudayaan, dan yang merasa bahwa kita hanya bisa membicarakan informasi dalam hubungannya dengan budaya semiotik adalah sesuatu pemahaman yang sempit akan informasi. Terdapat banyak obyek-obyek ilmu informasi yang dapat dibandingkan dengan semua disiplin ilmu lain. Dan inilah merupakan tanda atau karakteristik untuk memastikan bahwa ilmu perpustakan dan informasi berhak mendapat perhatian khusus. Kepustakawanan memiliki status unik diantara disiplin ilmu lain dan seharusnya dengan penuh semangat memberikan kontribusi kepada filsafat informasi.

Lebih rinci Floridi (2002), menganalisis tentang hubungan antara Filsafat Informasi (Philosophy of Information) (PI), Ilmu Perpustakaan dan Informasi (Library and Information Science (LIS) dan Epistemologi Sosial (Social Ephitimology) (SE). Floridi menyatakan adanya hubungan alamiah antara ilmu filsafat dengan LIS, berbeda dengan SE yang tidak menyediakan fondasi yang cukup memuaskan bagi LIS. SE dan LIS mempunyai satu dasar umum yang sama, yang tampak dalam ilmu yang mempelajari informasi dan diselidiki dalam sebuah disiplin ilmu yang baru, yakni PI. Floridi merumuskan pengertian dasar PI yang digambarkan sebagai bidang filosofis yang mempelajari konsep-konsep dasar informasi, kedinamikaannya dan masalah-masalah yang ada di dalamnya. Sedangkan LIS didefinisikan sebagai bentuk terapan dari PI.

Adapun hipotesis yang mendukung hal tesebut adalah bahwa PI seharusnya menggantikan posisi SE sebagai bidang ilmu filosofis yang memberikan konsep fondasi terbaik bagi LIS. Hubungan diantara PI dengan LIS dan SE digambarkan seperti segitiga dasar (the foundation of triangel) berikut:

LIS SE PI

(a) Epistemologi Sosial tidak menyediakan fondasi yang cukup memuaskan untuk Ilmu Perpustakaan dan Informasi.

Ilmu Perpustakaan dan Informasi sering dihubung-hubungkan dengan ilmu filsafat dengan alasan tingkatan, ruang lingkup dan pokokpokok bahasan dari penelitian-penelitiannya. Hubungan dari kedua bidang ini tampak sangat intuitif dan tak dapat disangkal, namun penelitian terhadap konsep dasarnya merupakan tugas yang rumit dan kontroversial. Hubungan yang lebih mempengaruhi adalah bahwa kedua ilmu tersebut mempunyai teoritis tingkat penelitian yang sama dimana kepustakawanan dan filsafat masing-masing memiliki materi yang unik, sangat mungkin memiliki bentuk dasar yang sama; dan keduanya merupakan ilmu dengan mutu pada tingkat yang sama” (Wright, 1977, sebagaimana dikutip dari Herold, 2001).

Melihat pada ruang lingkup dan pokok bahasan penelitian, telah dikemukakan bahwa layaknya profesi pustakawan seperti profesi filsuf juga percaya bahwa ada daerah wewenang yang tepat, semua pengetahuan dan semua kebudayaan. Tidak ada yang asing bagi pustakawan dalam hal informasi, pustakawan harus senantiasa bersiap dalam keadaan yang tepat dan cepat untuk menemukan dan memprosesnya agar menjadi lebih berguna dengan tetap memperhatikan hal-hal yang manusiawi. Ilmu Perpustakaan dan Informasi dan Filsafat mempunyai suatu ruang lingkup yang luas, dan hal ini tetap merupakan kebenaran dari ilmu pengetahuan secara umum. Filsafat, layaknya sebuah ilmu pengetahuan, adalah payung bagi sejumlah disiplin ilmu yang beragam.

Dibutuhkan sesuatu yang lebih spesifik jika ingin mengerti hubungannya dengan Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Persyaratan ini telah diungkapkan oleh Hjorland (2000), tantangan yang sebenarnya bagi Ilmu Perpustakaan dan Informasi adalah mengembangkan pengetahuan khusus, yang secara relatif terlepas dari ilmu yang sebenarnya, tetapi bukan merupakan ringkasan yang kosong dari suatu sumber tertentu. Usaha klasik untuk memecahkan kesulitan-kesulitan sebelumnya telah banyak dilakukan dengan menginterpretasikan Ilmu Perpustakaan dan Informasi dengan maksud sebagai bahagian Epistemologi Sosial atau menjadikan Epistemologi Sosial merupakan fondasi bagi Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Shera (1961, 1965, 1970, 1973) merupakan tokoh utama dalam hal ini (Rawski, 1973). Shera berpendapat bahwa: Epistemologi sosial akan menyediakan sebuah kerangka bagi penelitian yang efektif ke semua kompleksitas masalah dari proses intelektual sekelompok masyarakat; sebuah ilmu dimana masyarakat secara keseluruhan mencari hubungan dengan keseluruhan lingkungannya. Ini seharusnya mengangkat ilmu tentang kehidupan intelektual dari penelitian perseorangan yang cermat kepada penelitian dimana lingkungan, negara atau budaya mendapatkan pemahaman tentang keseluruhan rangsangan yang bekerja berdasarkan hal tersebut.

Adapun fokus dari ilmu ini adalah pada produksi, alur integrasi dan penggunaan semua bentuk gagasan di seluruh bentuk sosial. Dari ilmu seperti ini seharusnya muncul sebuah bentuk pengetahuan baru, dan sebuah perpaduan baru, interaksi antara pengetahuan dengan aktivitas sosial (Shera, 1961). Ilmu Perpustakaan dan Informasi tentu saja sangat dekat dengan Epistemologi Sosial sepanjang sebagai ilmu pengetahuan yang tertarik akan kedinamisan obyeknya, mempunyai ruang lingkup yang luas dan sebuah orientasi empiris. Meski demikian, keadaan ini ada kalanya terlalu kurang memuaskan. Epistemologi Sosial tidak dapat menyediakan fondasi atau dasar bagi Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Sebabnya adalah bahwa secara umum, Epistemologi Sosial merujuk kepada dua bidang penelitian yang terpisah, yaitu Sosiologi Pengetahuan yakni studi deskriptif dan empiris tentang sebab-sebab historis, dan kondisi-kondisi pengetahuan (yang biasa terjadi); atau juga Epistemologi Sosial Pengetahuan yakni studi kritis dan konsepsi dari dimensi-dimensi sosial pengetahuan dengan banyak pelaku.

Berbeda dengan Sosiologi Pengetahuan, Ilmu Perpustakaan dan Informasi bersifat normatif dan karenanya membutuhkan lebih dari sekedar pendekatan deskriptif murni. Perpustakaan adalah sebuah tempat dimana kebutuhan dan nilai-nilai komunikasi dan pendidikan ditanggulangi, didukung dan dibantu pengembangannya, isinya dinilai dan diseleksi untuk konsumsi publik, oleh karena itu praktik-praktik seperti pengatalogan misalnya, jauh dari ketidaknetralan, aktivitas ini bebas dari evaluasi. Adanya sifat normatif ini membuat Ilmu Perpustakaan dan Informasi lebih cenderung kepada Epistemologi Sosial Pengetahuan.

Ketika pendekatan secara sosiologis menjadi suatu kebiasaan, Shera, secara tegas mengidentifikasi perbedaan antara Sosiologi Pengetahuan dan Epistemologi Sosial Pengetahuan dan mendukung upaya perlunya menafsirkan kepustakawanan dengan maksud bahwa Epistemologi Sosial Pengetahuan lebih baik daripada Sosiologi Pengetahuan (Shera, 1970). Shera mempunyai konsepsi yang sangat inklusif tentang Epistemologi Sosial Pengetahuan. Dia tidak hanya berpikir bahwa pada dasarnya hal tersebut epistemologi oleh sosial; dia juga melihat hal ini sebagai teori dari segala sesuatu yang secara umum dipahami dalam epistemik secara luas. Disiplin ilmu seperti ini sekarang telah didenominasi, untuk Epistemologi Sosial yang lebih akurat dan deskriptif, oleh apa yang dimaksud studi dari semua proses dimana sekelompok masyarakat secara keseluruhan mencoba untuk mendapatkan hubungan yang perseptif dengan keseluruhan lingkungannya baik secara fisik, psikologis dan intelektual. Epistemologi Sosial hanya mengangkat ilmu (epistemologi) tentang kehidupan intelektual seseorang terhadap masyarakat, negara atau budaya (Shera, 1965). Dengan agak meluas, Shera berbicara tentang suatu pertalian yang sangat penting antara Epistemologi Sosial dengan kepustakawanan tetapi selanjutnya memperkuat pernyataan bahwa Epistemologi Sosial dapat membagi fondasi intelektualnya dengan ilmu perpustakaan yang telah lama dicari. Hasilnya tampak pada artikel Shera tentang adanya semacam penekanan serius dan tak terpecahkan antara peletakan dasar ilmu kepustakawanan dalam Epistemologi Sosial Pengetahuan, sebagai Epistemologi Sosial terapan dengan pendefinisian ilmu kepustakawanan sebagai Epistemologi Sosial Pengetahuan seperti berikut: Apa yang dimaksud dengan ilmu kepustakawanan? Pada dasarnya ia berasal dari dua disiplin ilmu. Tentu saja ada aspek komunikasi, dan bahasa, atau ilmu bahasa yang menjadi pusatnya. Tetapi ilmu kepustakawnan, sebagai manajemen ilmu pengetahuan juga berakar pada epistemologi (pengetahuan dari pengetahuan itu sendiri) dan khususnya epistemologi sosial, yaitu suatu cara dimana pengetahuan itu disebarkan melalui sebuah lingkungan masyarakat dan mempengaruhi tingkah laku masyarakat tersebut (Shera, 1961).

Ilmu Perpustakaan adalah manajemen pengetahuan manusia, antar cabang ilmu pengetahuan yang paling banyak dibanding dari semua ilmu lain, dan karena menyangkut filsafat ilmu pengetahuan, ilmu ini berpotensi menjadi ilmu yang paling filosofis dibanding semua profesi lain (Shera, 1965, lihat juga Shera, 1973). Menurut pendapat Shera, secara teori, Ilmu Perpustakaan dan Informasi seharusnya merupakan ilmu filsafat dari filsafat ilmu pengetahuan dan menjadi sejenis epistemologi terapan dari pengetahuan sosial. Pertanyaannya adalah, Bisakah hal itu dibenarkan? Floridi (2002) kurang sependapat dengan Shera dengan argumen berikut. Dalam bentuk yang lebih sederhana, ada dua macam pendekatan terhadap Epistemologi Sosial Pengetahuan. Yang pertama secara klasik dan yang kedua secara revolusioner. Namun yang kedua kelihatannya dapat menghasilkan apa yang dibutuhkan dalam fondasi Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Epistemologi Sosial Pengetahuan klasik merupakan sebuah evolusi dari proyek Cartesianisme (ajaran filsafat dari pemikir Perancis Descartes yaitu filsafat mekanisme) tentang epistemologi berdasarkan atas pencarian kebenaran dan dasar kebenarannya. Cara tersebut menggantikan cara-cara tradisional, yaitu suatu bentuk kerangka statis kecerdasan perseorangan dan penelitipeneliti perorangan dengan suatu bentuk kerangka baru yang lebih dinamis, berdasarkan pendistribusian pengetahuan, intelegensi dan interaksi-interaksi epistemik dan doksastik (logika berfikir) dengan banyak pelaku. Pada cara ini, terjadi perluasan ruang lingkup penelitiannya terhadap fenomena yang lebih bervariasi dan saling terhubung secara ilmiah yang sebelumnya kurang diperhatikan, misalnya sebuah kesaksian, kepercayaan dan kekuasaan. Meski
demikian, Epistemologi Sosial Pengetahuan klasik tetap saja masih bersifat veritistik (kebenaran). Tujuan akhirnya masih tetap pada penemuan dan pembenaran suatu kebenaran, dan ilmu pengetahuan masih merupakan obyek satu-satunya dari sebuah penelitian. Informasi bukan ada pada pengertiannya tapi diartikan sebagai isi atau kandungan yang mempunyai arti secara sederhana, ataupun sekumpulan data yang mempunyai arti, yang berperan dalam agenda sebuah penelitian. Di lain pihak, Epistemologi Sosial Pengetahuan revolusioner memanfaatkan kerangka baru tersebut, paling tidak dalam versi ekstrim, dan menggunakannya untuk mengecam proyek Cartesian tersebut, serta membantah bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan dasar pembenarannya merupakan hasil-hasil konstruksi sosial. Ia datang mendekat untuk melihat informasi sebagai obyek fundamental baru dan penelitian-penelitiannya, namun saat hal tersebut terjadi, hal ini dipandang hanya sebagai kecaman terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.

Kedua, Epistemologi Sosial Pengetahuan klasik dan revolusioner ini bersifat menentukan. Tujuan utama keduanya adalah untuk memperlihatkan, misalnya, bukan apa yang dipercayai seseorang tentang bintang-bintang, melainkan apa yang seharusnya dipercayainya, dan yang dibenarkan tentang keyakinan-keyakinan akan kedua jenis Epistemologi Sosial Pengetahuan ini. Pada prinsipnya, keduanya mempunyai ruang lingkup penelitian yang sama yang disebut dinamika sosial dan fenomena epistemik. Pada saat yang bersamaan, hal ini dapat terlalu banyak dan sekaligus terlalu sedikit untuk menghasilkan suatu dasar fondasi yang cukup memuaskan bagi Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Disebut terlalu banyak karena menyangkut tujuan, sebab Ilmu Perpustakaan dan Informasi dapat bersifat normatif tapi tidak dan seharusnya tidak bersifat menentukan secara epistemologi. Disebut terlalu sedikit karena menyangkut ruang lingkup, sebab sebagai konsekuensi dari daerah wewenang yang maha luas, Ilmu Perpustakaan dan Informasi meliputi sumber-sumber yang sangat bervariasi, dari buku anak-anak sampai peta-peta perbintangan kuno, dari rekaman digital kantor/lembaga sampai rekaman-rekaman pertandingan olahraga. Floridi berpendapat bahwa perbedaan dalam segi tujuan dan ruang lingkup seperti ini luput dari analisis Shera, sebab mungkin dia memberi arti yang terlalu umum terhadap konsep ilmu pengetahuan dalam kebanyakan tulisan-tulisan teoritisnya. Perbedaan-perbedaan tersebut menjelaskan mengapa para pustakawan akan dikejutkan oleh sikap metodologis.

Epistemologi Sosial dan Ilmu Perpustakaan dan Informasi tidak membentuk perkawinan/perpaduan yang serasi karena Ilmu Perpustakaan dan Informasi bekerja pada tingkat fundamental yang lebih tinggi dibanding epistemologi. Obyeknya bukan ilmu pengetahuan itu sendiri melainkan sumber-sumber informasi yang memungkinkannya untuk bekerja, bahkan secara tidak langsung. Jaringan online American Library Association Glossary mendefinisikan ilmu perpustakaan sebagai pengetahuan keterampilan profesional dimana rekaman-rekaman informasi diseleksi, dipelajari, disusun dan digunakan dalam memenuhi permintaan dan kebutuhan informasi penggunanya. Definisi ini menggambarkan buruknya sisi kemanusiawian perpustakaan dalam deskripsi ini, sebab ilmu perpustakaan bukan hanya berupa pengetahuan keterampilan melainkan lebih luas dan dalam dari itu yang mencakup filsafat informasi. Borko (1968), berargumen bahwa ilmu informasi adalah sebuah cabang antar ilmu pengetahuan yang menyelidiki sifat dan tingkah laku informasi, kekuatan yang mengatur arus dan pemanfaatan informasi, termasuk cara pemanfaatannya baik secara manual maupun secara mekanis, dalam proses pencarian, penyimpanan dan penyebaran informasi yang terbaik. Pemfokusan hanya pada pengetahuan; apakah untuk menilai ataupun untuk mengkritik kemungkinan-kemungkinannya dan sifat dasarnya akan memperkenalkan bentuk bias epistemologis yang tidak konsisten dengan sifat dasar asli Ilmu Pengetahuan dan Informasi. Tentu saja, segala sesuatu dapat dipakai sebagai sumber pengetahuan, setidaknya karena segala sesuatu, dengan begitu saja, dapat menjadi sumber pengetahuan tentang sesuatu itu sendiri dan rujukannya. Walaupun demikian, hal ini sebenarnya adalah disebabkan oleh Ilmu Perpustakaan dan Informasi yang mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dibanding epistemologi. Adalah sangat menyesatkan bila menyimpulkan bahwa objek Ilmu Perpustakaan dan Informasi hanyalah daerah wewenang pengetahuan itu sendiri saja. Ilmu Perpustakaan dan Informasi memiliki ruang lingkup yang luas dan kemungkinan besar dari pendekatan-pendekatan epistemologis sosial yang beraneka ragam. Walau demikian, kedua Epistemologi Sosial dan Ilmu Perpustakaan dan Informasi sepertinya membutuhkan lebih sedikit muatan fondasi yang lebih mendasar dan berkonsep dibanding dengan filsafat dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Keduanya membutuhkan sebuah Filsafat Informasi yang umum. Epistemologi Sosial kadangkala masih menjadi daerah filosofis dimana Ilmu Perpustakaan dan Informasi dapat memenuhi kebutuhan teoritisnya. Seharusnya hal ini merupakan pilihan yang terbaik. Kedekatan antara Ilmu Perpustakaan dan Informasi dan Epistemologi Sosial akan lebih mudah dipahami jika dijelaskan, menyangkut asal muasalnya, sebagai dua cabang dari Filsafat Informasi, daripada secara garis hierarki. Sudah waktunya untuk melihat Filsafat Informasi tersebut lebih dekat kepada Ilmu Perpustakaan dan Informasi dari pada Epistemologi Sosial.

(b) Ilmu Perpustakaan dan Informasi sebagai Filsafat Informasi Terapan

Uraian di atas setidaknya telah memberikan pemahaman bagi kita untuk memiliki gagasan yang lebih jelas tentang apa sebenarnya Filsafat Informasi itu, kita dapat menggabungkan analisis-analisis yang dikembangkan di kedua bagian sebelumnya dan berkonsentrasi pada keuntungan-keuntungan dari pendefinisian Ilmu Perpustakaan dan Informasi sebagai Filsafat Informasi terapan. Filsafat Informasi juga menampilkan diri sebagai aliran filsafat dari Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Artinya, bahwa Ilmu Perpustakaan dan Informasi dapat ditafsirkan sebagai Filsafat Informasi terapan dan bahwa Filsafat Informasi terapan dapat menggantikan posisi Epistemologi Sosial sepenuhnya sebagai fondasi teoritis Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Hipotesis ini didukung oleh Herold (2001), yang menyatakan, Terhadap ketentuan bahwa ilmu kepustakawanan merupakan sebuah terapan dari filsafat informasi, dibutuhkan penemuan akar dari tahap-tahap kedinamikaan informasi dalam pekerjaan tradisional kita. Bersama-sama dengan penelitian diluar ilmu kepustakawanan, tujuan kepustakawanan telah menjadi pola dan pemfungsian dari layanan-layanan informasi yang efektif. Penyelidikan terhadap sifat dasar dari informasi seharusnya mengungkapkan ciri-ciri dan sifat yang diharapkan dapat memperbaiki pemahaman kita tentang hubungan-hubungannya dan jenis-jenis benda yang lain. Hasil dari usaha-usaha ini akan memperbanyak kesempatan dari praktik yang ada dan paling tidak mendapatkan ekspresi dari istilah-istilah biasa seperti ini, Apakah Filsafat Informasi bisa menjadi alternatif lain dari Epistemologi Sosial sebagai sebuah fondasi bagi Ilmu Perpustakaan dan Informasi?

Untuk melihat kebenarannya, mari meninjau ulang keempat variabel pendekatan, tingkatan, obyek dan ruang lingkup penelitian beserta tujuannya yang telah dibahas pada bagian sebelumnya yaitu:

a. seperti Filsafat Informasi, Ilmu Perpustakaan dan Informasi menerima pendekatan pasca-Cartesian yang diwakili oleh kerangka dinamis pemindahan intelegensi dan interaksi-interaksi dengan banyak pelaku.

b. seperti Filsafat Informasi, Ilmu Perpustakaan dan Informasi tidak murni metateoritis tapi juga memiliki tingkat penelitian yang merupakan pembiasan fenomenologi dan juga memiliki ruang lingkup yang maha luas. Tidak ada teori ilmu pengetahuan atau cabang pengetahuan lain yang unik maupun spesifik yang dipelajari oleh Ilmu Perpustakaan dan Informasi (jikalau ada, maka hal tersebut akan menyangkal sudut nyata Ilmu Perpustakaan dan Informasi yang maha luas tadi). Selanjutnya, berdasarkan pengertian di atas, akankah kita menyimpulkan bahwa Ilmu Perpustakaan dan Informasi adalah sebagai fenomenologi murni? Tentu saja tidak. Ilmu Perpustakaan dan Informasi mempunyai tugas hakiki untuk melihat obyekobyeknya dari tingkat urutan kedua. Kenyataannya, bahwa Ilmu Perpustakaan dan Informasi dan Filsafat Informasi saling berbagi tekanan diantara keduanya, dan seharusnya tidak sekedar mengurangi yang satu atau lainnya;

c. obyek penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi bukanlah pada data dan informasi yang kuat, pengertian teknis yang dibentuk dengan baik, berarti dan terpercaya, melainkan pada rekaman data atau dokumen-dokumen yang lebih lemah dan pengertian yang lebih spesifik. Archibald MacLeish, dikutip oleh Gorman (2000), dengan brilian berbicara tentang ‘tuntutan mutlak perpustakaan tentang pengertian yang terus muncul’. Ilmu Perpustakaan dan Informasi tidak menutupi keseluruhan wadah Filsafat Informasi, tapi secara lebih khusus menyangkut lingkaran kehidupan dokumen-dokumen;

d. sekali bergantung pada Filsafat Informasi, Ilmu Perpustakaan dan Informasi bisa bersifat normatif tentang apa yang seharusnya diambil sebagai obyek dan bagaimana seharusnya obyek-obyek tersebut ditangani, tanpa menghindari resiko menjadi bersifat menentukan secara epistemologis.

Definisi berikut mencoba menyingkap uraian-uraian yang telah diuraikan sebelumnya; Ilmu Perpustakaan dan Informasi sebagai Filsafat Informasi Terapan adalah disiplin ilmu mengenai dokumendokumen, rangkaian dan prosedurnya, teknik-teknik dan perencanaan-perencanaannya, yang mana kesemuanya dilaksanakan, dikelola, diatur dan dilayankan. Ilmu Perpustakaan dan Informasi menerapkan prinsip-prinsip fundamental dan teknikteknik umum Filsafat Informasi untuk memecahkan masalah-masalah tertentu yang praktis dan menghadapi fenomena nyata yang spesifik. Pada gilirannya, Ilmu Perpustakaan dan Informasi menyelenggarakan penelitian empiris untuk tujuan-tujuan praktis yang berorientasi jasa layanan (contohnya perlindungan alam, valorisasi, pendidikan, penelitan, komunikasi dan kerjasama), hingga berkontribusi pada pengembangan penelitian dasar Filsafat Informasi.

Ilmu Perpustakaan dan Informasi telah memperdebatkan fondasi teoritisnya dan status akademisnya paling tidak sejak tahun 1930-an, ketika Chicago Graduate Library School dibuka, namun perdebatan terhadap fondasi teori itu masih terus berlangsung hingga sekarang. Seperti yang ditekankan oleh Ostler dan Dahlin (1995), krisis yang berkepanjangan ini dicetuskan oleh sebuah pendekatan pragmatis, menampilkan sebuah tantangan teoritis dan sebuah kesempatan bersejarah, khususnya dalam lingkungan informasi. Pendekatan pragmatis Dewey telah meninggalkan kita tanpa perlengkapan teoritis yang sangat penting untuk menangani masalah abad informasi. Profesi kepustakawanan mengalami perubahan paradigma, sebuah perubahan besar dimana para staf perpustakaan (pustakawan) bekerja dengan berbagai cara yang berbeda dengan cara yang dipahami sebelumnya. Akan tetapi ada kalanya diantara para staf perpustakaan merasa bahwa bidang profesinya telah dimasuki oleh profesi lain seperti pranata komputer, teknologi informasi dan sebagainya. Hal ini menyebabkan krisis kepercayaan diri atas profesi yang digelutinya sehingga muncul sikap yang skeptis dalam dirinya. Sisi positif dari krisis kepercayaan diri ini adalah, bahwa krisis ini menyediakan sebuah kesempatan indah untuk menyadari kembali fondasi dan pekerjaan atau tugas akan pendidikan perpustakaan profesional. Sayangnya, banyak usaha di masa lalu mengambil keuntungan dari kesempatan ini akan tetapi bergerak ke arah yang salah. Para peneliti telah terpikat oleh beragam cabangcabang filsafat yang ramah, namun berkembang terlalu dini, bukannya berjuang untuk tempat mereka sendiri dalam daerah filosofis.

Zwadlo (1997), untuk lingkungan kepustakawan, mengemukakan bahwa untuk mendapatkan sebuah filsafat seperti halnya dari kegiatan meminjam buku dari perpustakaan. Peminjaman buku diperpustakaan misalnya, memiliki filosofis dimana filosofis pinjaman adalah bahwa buku yang dipinjam bukanlah benar-benar milik kita, tetapi dapat diperpanjang, dan kita harus mengakhirinya dengan mengembalikan buku tersebut, untuk dapat dipinjam pengguna yang lain. Kadangkala, proses peminjaman diantara Ilmu Perpustakaan dan Informasi dan ilmu Filsafat ditengahi oleh Epistemologi Sosial sendiri dan metodologi antar cabang disiplin ilmunya (Shera, 1970).

Bagaimanapun juga ada pokok pikiran di dalamnya, sebagaimana disebut dalam tulisan Dierce (1992) bahwa makna peminjaman buku misalnya, hasilnya mirip dengan perkampungan kaum intelektual yang berbagi pengetahuan melalui cara saling meminjam atau berbagi sumberdaya informasi. Ada kalanya kepustakawanan mengimpor teori dari sistem komunikasi, pendidikan, ilmu bahasa, manajemen, psikologi, sosiologi, dan disiplin-displin ilmu lain. Akan tetapi, betapa anehnya bahwa tidak banyak cabang ilmu lain yang menerima disertasi-disertasi yang didasarkan pada tradisi-tradisi intelektual dan daerah-daerah lain.

Penelitian ini tidak sama dengan apa yang mungkin disebut diluar cabang disiplin ilmu. Karena ada kalanya mengimpor teori dari ilmu yang lain, sehingga hal seperti ini sering disebut sebagai upaya mencari fondasi teoritis pada cabang disiplin ilmu yang lain. Pada hal kepustakawanan hidup dalam perkampungan kaum intelektual, karena mengelola berbagai pengetahuan yang terekam dalam berbagai media. Para peneliti terbaik selalu mencari kemurahan hati dengan meniru praktik-praktik ilmu lain seperti halnya dengan kepustakawanan. Sebenarnya jika memperhatikan sejarah intelektual bahwa kebanyakan teori ilmu pengetahuan saling melengkapi. Sekalipun begitu, kesempatan bersejarah masih tetap ada. Perdebatan tentang fondasi ilmu perpustakaan dan informasi telah berlangsung sekian lama, karena Ilmu Perpustakaan dan Informasi mencari sesuatu yang belum tersedia, yaitu Filsafat Informasi. Bagaimanapun juga bawa sebuah daerah penelitian baru telah menjadi bidang akademis yang dapat dikenal pada akhir-akhir ini; Filsafat Informasi dapat menentukan arah dan tujuan, namun masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan Ilmu Perpustakaan dan Informasi bisa menyediakan sebuah masukan yang penting.

Filsafat Informasi mencoba memperluas batas-batas penelitian filosofis. Bukan dengan meletakkan topik-topik yang belum ada secara bersama-sama, dan dengan demikian menyusun ulang skenario filosofis, namun dengan menyertakan daerah penelitian-penelitian baru yang berjuang untuk dikenal dan belum ditemukan dalam silabus filosofis tradisonil, serta dengan menyediakan metodologi-metodologi inovatif untuk mengetengahkan masalah-masalah tradisional dari perspektif baru. Diartikan sebagai sebuah fondasi baru analisis dan desain filsafat informasi; Filsafat Informasi dapat menjelaskan dan memandu tujuan penyusunan lingkungan intelektual kepustakawanan, dan menyediakan perlakuan sistematis terhadap fondasi-fondasi konsepsi dari sebuah lingkungan kepustakawanan akhir-akhir ini. Filsafat Informasi memampukan umat manusia untuk menyusun sebuah pengertian tentang dunia pengetahuan dan selama Filsafat Informasi memuaskan peran fondasi teoritis Ilmu Perpustakaan dan Informasi, ia menyediakan sebuah pemahaman sistematis tentang konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan ilmu perpustakaan dan informasi, dengan mempelajari sifat dasar, nilai dan tujuan-tujuan dari praktik-praktik kepustakawanan. Filsafat kepustakawanan telah sering kali mencari sumber-sumber eksternal untuk mendukung teoritisnya, di luar dari ruang lingkup yang sebenarnya. Dengan memberi masukan pada pengembangan Filsafat Informasi, maka Ilmu Perpustakaan dan Informasi dapat meneruskan tugas pengembangan fondasi teoritisnya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar