Minggu, 23 Januari 2011

Petualangan Jadi Guru di Daerah Terpencil (2)



Eriska Helmi
Akan Bertekad Jadi Orang Baik.

Setelah hampir satu bulan dari perjalanan pertama ke rumah kepsek di dusun Kuang Dalam kecamatan Rambang Kuang kabupaten Ogan Ilir, maka hari yang (sebenarnya tidak- tapi terpaksa) dinanti itu pun tiba, hari dimana kami harus mulai bertugas. Jauh hari, kepsek kami sudah memberitahukan bahwa ada 1 transportasi umum yang bisa digunakan untuk menuju dusun Kuang Dalam.Cuma ada satu itu. Kami harus tinggal untuk sementara waktu di rumah kepsek, karena kami belum pernah dan juga belum tahu dimana lokasi sekolah kami, lha wong sudah sempat search di gugel, dimana-mana tapi yang namanya desa Ibul Dalam sepertinya tak terdaftar dalam peta lokasi dunia, susah sangat lah perasaan kami saat itu, 3 guru baru yang terdampar di negeri antah berantah, tanpa sanak saudara, ninggalin anak, laki, emak, bapak. Sendiri, maka saat itu, otomatis kami bertiga langsung berasa kakak adek aja, saking senasib sepenanggungannya.

Hari H, dari jam 11 siang, dengan bawaan tak kalah heboh dengan pemudik kala lebaran, kami sudah nongkrong di bawah jembatan Ampera menunggu sang sopir travel menjemput. Entah karena sudah pada pasrah, atau trauma membayangkan bakal mengulang kembali perjalanan petualangan sebelumnya itu, semuanya kok tiba-tiba diantar sanak-saudara, padahal kan mudiknya cuma buat ngajar disekolah, yah, sudahlah, jadi setelah berjam-jam menunggu, sopir travel yang seenaknya mengatur jadwal berangkat, hampir 6 jam nongkrong (atau lebih), jam 4 kami baru berangkat.

Pas hendak masuk kedalam travel, Masya Alloh, serasa berada di toserba. Segala isi supermarket, toko kelontong, elektronik, sampe material pun ada. Yang lebih horor, isi SPBU dan bom 3 dan 12 kg pun ada. Entah bagaimana caranya, si sopir travel, yang kami kemudian kenal dengan nama Ali itu, berhasil memasukkan semua barang kedalam travel minibusnya,bukan minibus biasa, dari luar busnya sudah mandi lumpur. Bannya Radial khusus untuk medan berat setinggi pinggang orang dewasa, segala tali tambang, cangkul, sekop bahkan linggis pun ada, membuat bulu kuduk berdiri, jangan-jangan nanti kami dipancung di tengah hutan karet kalau-kalau kami membuat Ali kesal, hehehe.

Didalam minibus, berdesak-desakan, sekitar 14 orang ditambah berkarung-karung beras( terpaksa duduk diatas karung beras), sembako, antena penguat sinyal HP, jajanan warung (berasa jadi sarden), tiga peti telor, minuman kaleng,minyak sayur, parabola yang kemudian diungsikan ke atap mobil, dimulailah petualangan kami, sebelum berangkat, Ali menyetel MP3nya dan memutar musik Full House.”Biar jalannya nanti nggak ngantuk”, katanya.

Menjelang magrib, hari tiba-tiba hujan, sementara perjalanan masih sangat jauh. Langit mulai gelap, jalan sudah tak kelihatan lagi. Para penumpang amatir yang sebagian besar baru pertama kali lewat jalan hancur di tengah hujan mulai ketar-ketir, naek motor aja kejungkal, apalagi naek mobil, mana mobilnya over loaded pula. Kecemasan kami sangat beralasan, Ali, sang sopir, yang awalnya kami duga bapak-bapak berpengalaman, yang sudah puluhan tahun jadi sopir ( ngebayangin sopir-sopir truk lintas sumatera), taunya cuma anak muda yang umurnya sama dengan saya, 26 tahun. Siapa yang nggak takut, coba? Alhasil saat mobil mulai memasuki kawasan Tambang Rambang, penumpang berteriak-teriak bak naik roller coaster. Jalan bertambah hancur dan licin, gelap gulita tanpa penerangan sama sekali, wong di tengah hutan karet, didalam sebagian penumpang mulai basah kuyub termasuk saya yang kena bocoran hujan dari jendela yang lepas karet penahan nya, seruuu…

Mobil yang kami tumpangi oleng kekiri dan kekanan saat masuk kedalam lubang yang lumayan dalam, malah kalau mau jujur, sudah tak ada lagi aspal dijalanan itu karena hancur oleh lalu-lintas truk-truk bermuatan puluhan ton getah karet, suatu hal yang sebenarnya sangat ironis, karet adalah komoditi mahal di daerah ini, perkilo kadang bisa mencapai 20 ribuan rata-ratanya, bayangkan setiap minggu panen yang dihasilkan sampai ratusan ton, sayangnya, jalanan yang harusnya menjadi transportasi utama benar-benar rusak total. Kata Ali,mungkin pemerintah sudah capek memperbaiki jalan yang baru di buat, kemudian hancur lagi dilindas oleh truk.

Tak lama mobil pun masuk dalam kawasan perkebunan hutan karet BRK, sebenarnya travel Ali dilarang lewat, tapi karena semua jalan hancur ( terutama kawasan Gunung Raja yang sebelumnya pernah kami lewati) jadi terpaksa lewat kebun, kami, para penumpang mengangguk-anguk saja, toh kami semua tak tahu jalan, hari sudah malam dan badan basah kuyub, semua juga sangat stress karena ada satu penumpang, bapak tua, yang merokok saat itu. Alasannya hari dingin karena hujan, yah, tapi bapak itu harusnya sadar diri, didalam mobil ada banyak bom! Seingat saya ada 5 jerigen isi 25-30 liter bensin di bagian blakang tempat duduk, dan pas sekali di belakang bapak itu, lalu dibawah jok kursi ( tepat dibawah kakinya) ada10 tabung gas 3 kg, penuh dan karatan pula, tak heran semuanya jadi ngedumel, khusus hari itu, Ali mengangkut kami, 9 orang guru, 3 satu sekolah dengan saya, sementara 6 lagi guru baru untuk sekolah di dusun Kuang dalam, sisanya, penumpang tambahan yang memaksa untuk diangkut ke dusun. Setiap saat, kami para guru lalu komat -kamit berdoa, supaya mobil tidak meledak, karena bom-bom itu.

Rupanya jalanan dalam perkebunan tak lebih baik, sepertinya hujan memperparah kondisi jalan, Ali mesti susah payah mengendalikan mobilnya, diiringi pekik histeris guru-guru penakut macam kami, yang baru tahu kalau dikiri dan kanan jalan ada jurang-jurang kecil, Maak, gimana kalau kejeblos? Seru banget pokoknya, atau kacau, tak tahulah yang mana analoginya, berbekal ongkos tiga puluh ribu rupiah, lebih seru daripada naik roler coaster atau jet coaster di Dufan, karena naik yang satu ini kalau untung bisa dapat door prize ke surga ( ih, amit-amit!kalau beneran masuk surga, kalau ngga?), pokoknya sepanjang perjalanan malam itu, yang disangka tidak bakal berakhir, ternyata selesai juga. Kami tiba di rumah kepsek jam sepuluh malam, hampir dua belas jam perjalanan ke tempat itu, termasuk nongkrong menunggu travel, dan perjalanan dari jam 4 sampai jam 10 malam. Badan capek dan sakit semua, plus bonus tidak bisa tidur, apalagi bakal menghadapi hal yang sama esok harinya, 2 jam perjalanan menuju sekolah.

Ternyata masih jauh jalan menuju sekolah, ya? Hehehe, Semangat!

Salam WONG KITO GALO!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar