Jumat, 07 Januari 2011

Pendidikan Karakter Tampa Peran Sertya Bimbingan dan Konseling ???

AKHMAD SUDRAJAT



Dilihat dari kacamata teoritis maupun empiris, tampaknya tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pendidikan karakter saat ini telah menjadi kebutuhan mendesak di negeri ini. Untuk itulah, sejak lebih dari satu tahun ke belakang pemerintah melalui Kemendiknas terus berupaya menggulirkan wacana tentang pentingnya penerapan pendidikan karakter di sekolah.



Terkait dengan pendidikan di SMP, pada bulan Maret 2010 lalu pemerintah telah menerbitkan sebuah buku yang diberi judul ”Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama”. Buku ini terdiri atas 4 (empat) bagian, yaitu: Bagian I: Pembinaan Pendidikan Karakter di SMP (Umum); Bagian II: Pendidikan Karakter secara Terpadu dalam Pembelajaran di SMP; Bagian III: Pendidikan Karakter Secara Terpadu melalui Manajemen Sekolah di SMP, dan Bagian IV: Pendidikan Karakter melalui Kegiatan Ekstrakurikuler di SMP.



Sebagai buku terbitan dari lembaga yang paling bertanggungjawab dalam pengembangan pendidikan nasional, buku ini tentu akan menjadi bacaan dan pegangan wajib seluruh stakeholder pendidikan di negeri ini, terutama para praktisi pendidikan di sekolah-sekolah.



Jika kita telaah isi buku ini secara seksama, terkesan bahwa pengembangan pendidikan karakter di SMP hanya dilakukan melalui 3 (tiga) pendekatan, yaitu: (1) pembelajaran; (2) Manajemen Sekolah; dan (3) Ekstra Kurikuler. Visualisasi ketiga pendekatan tersebut, seperti tampak dalam gambar berikut ini:



Skema Pendidikan Karakter versi Kemendiknas







Gambar: Skema Pendidikan Karakter (Sumber: Kemendiknas.2010)



Melihat skema pendidikan karakter di atas, timbul pertanyaan besar dan kegelisahan pikiran saya, dimanakah sebenarnya posisi bimbingan dan konseling dalam pengembangan pendidikan karakter?



Ketika pertama kali saya mendengar wacana pendidikan karakter di negeri ini, terus terang saya merasa bangga dan gembira. Dalam benak saya, mungkin ini akan menjadi momentum terbaik untuk menata dan mengokohkan layanan Bimbingan dan Konseling sebagai bagian integral dari sistem pendidikan kita dan memantapkan konselor sebagai sebuah profesi yang handal, yang selama ini menurut hemat saya masih dalam keadaan tertatih-tatih.



Dalam pemahaman saya, jika kita berbicara bimbingan dan konseling di dalamnya sangat kental berbicara tentang karakater. Logika ini juga bisa dibalik, berbicara karakater seharusnya berbicara bimbingan dan konseling.



Jauh sebelum pendidikan karakter menjadi wacana publik, dalam sebuah tulisannya yang dimuat dalam harian Pikiran Rakyat, 6 September 2006, hal. 20, Sunaryo, Ketua Umum ABKIN, mengatakan:



Pekerjaan bimbingan dan konseling adalah pekerjaan berbasis nilai (baca: karakter), layanan etis normatif, dan bukan layanan bebas nilai. Seorang konselor perlu memahami betul hakekat manusia dan perkembangannya sebagai makhluk sadar nilai dan perkembangannya ke arah normatif-etis. Seorang konselor harus memahami perkembangan nilai, namun seorang konselor tidak boleh memaksakan nilai yang dianutnya kepada konseli (peserta didik yang dilayani), dan tidak boleh meneladankan diri untuk ditiru konselinya, melainkan memfasilitasi konseli untuk menemukan makna nilai kehidupannya.



Ungkapan di atas menunjukkan bahwa Bimbingan dan Konseling memang sangat kental dengan karakter, tetapi setelah membaca buku panduan dan skema pendidikan karakter, kegembiraan saya agak sedikit berbeda dengan ketika pertama kali mendengar wacana pengembangan pendidikan karakter di negeri ini. Semula saya menduga, dengan adanya pendidikan karakter ini, bimbingan dan konseling akan ditempatkan sebagai leading sector atau “panglima” dalam pengembangan karakter di sekolah. Tetapi apa mau dikata, jangankan jadi panglima, jadi prajurit pun tampaknya masih tetap dipandang sebelah mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar