Rabu, 26 Januari 2011

PEMBANGUNAN BANGSA MELALUI PENDIDIKAN NON-DISKRIMINATIF

K. AZIS

Kompasiana 13 December 2010
Sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas sangatlah dibutuhkan
untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia jangka panjang, yaitu
terwujudnya bangsa Indonesia yang mandiri, sejahtera, serta adil dan
makmur. Pentingnya SDM yang berkualitas tidak semata-mata karena
manusia menjadi objek pembangunan, melainkan juga sebagai pelaksana
pembangunan tersebut.

Kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih tergolong rendah.
Human Development Index (HDI) yang merupakan indikator kualitas hidup
bangsa melaporkan bahwa rangking Indonesia pada tahun 2008 berada di
urutan ke 111 dari 156 negara dan Indonesia masuk kategori medium human
development. Dari penilaian ini dapat dilihat bahwa kualitas manusia
Indonesia masih berada jauh di bawah Negara-negara Asia Tenggara seperti
Vietnam (105), Filipina (90), Thailand (78). Apalagi jika diandingkan dengan
Negara Malaysia rangking 68 dan Singapura rangking 25 dan kedua
negara ini sudah masuh kategori jajaran negara dengan high human
development.

Pendidikan memiliki peranan penting untuk mewujudkan manusia
Indonesia yang panjang umur dan sehat, terdidik, serta berstandar hidup
layak. Dengan pendidikan, manusia bisa mengerti bagaimana hidup sehat.Dengan pendidikan, manusia bisa mempelajari banyak hal untuk kehidupannya. Dengan pendidikan pula manusia bisa mempunyai bekal
untuk menjadikan hidupnya lebih baik, termasuk untuk mensejahterakan dirinya.
Hakikat manusia dan pendidikan
Manusia adalah makhluk yang unik dan berbeda dengan makhluk
tuhan lainnya, manusia dikaruniai kecerdasan intelektual, dan kecerdasan
emosional serta kecerdasan spiritual, namun pemberian karunia tersebut
tentunya dibarengi dengan tanggung jawab yang besar yaitu sebagai
pemimpin di muka bumi (khalifah fil ard). Oleh sebab itu, pengembangan
seluruh potensi yang dimiliki manusia menjadi sangat urgen karena tanpa
potensi tersebut, tugas yang diembankan kepada manusia tidak dapat
dilaksanakan dengan baik.

Dilihat dari hakikat manusia, manusia memiliki dua aspek (Tilaar &
Nugroho, 2008: 43), aspek personal serta aspek sosial. Manusia dikaruniai
berbagai potensi dan tanggung jawab manusialah untuk mengembangkan
potensi tersebut sehingga bermanfaat bagi dirinya sendiri serta masyarakat
sekitarnya. Oleh sebab itu, tugas utama pendidikan adalah menfasilitasi agar
manusia mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga
sampai taraf manusia utuh (insan kamil) yang mampu melaksanakan tugas
yang diembankan kepadanya.
Pendidikan dapat dipahami sebagai proses memanusiakan manusia (humanizing human being). Lebiha jauh Driyarkara: 1980 (Setiawan, 200: 63)
merumuskan pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia muda yaitu
sebuah proses pengangkatan manusia muda ke insan sehingga ia dapat
menjalankan kehidupannya sebagai manusia yang utuh dan dapat
membudayakan dirinya.

Pendidikan merupakan proses yang bertujuan untuk membangun
manusia dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, mengingat
manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang hidup dan berinteraksi dengan
masyarakat sekitarnya sesuai dengan tatanan etika dan nilai yang
berkembang didalamnya. Dalam hal ini pendidikan terjadi dalam interaksi
manusia dengan manusia lainnya sehingga terbentuk kebudayaan. Dalam
konteks demikian pendidikan berperan sebagai transmisi kebudayaan dari
satu generasi ke generasi berikutnya.

Pendidikan juga merupakan proses mempersiapkan generasi muda
suatu bangsa agar mampu menjalankan kehidupan serta memenuhi tujuan
hidupnya dengan efektif dan efisian agar mereka dapat memberikan
kontribusi terbaik bagi bangsanya. Dalam hal ini, pendidikan merupakan
sarana untuk membantu generasi muda bangsa mengembangkan potensi
kompetitif baik antar sesama anak bangsa maupun antar Negara.
Disamping itu, pendidikan juga sebagai proses pembangunan
peradaban suatu bangsa, baik buruknya peradaban suatu bangsa sangat
ditentukan oleh bagaimana pendidikan dijalankan oleh masyarakat dalam
suatu bangsa tersebut. Perkembangan tekhnologi yang dirasakan saat ini oleh bangsa-bangsa dibelahan bumi tidak terlepas dari proses pendidikan
yang dijalankan sebelumnya. Jadi, pendidikan sangat ketika kita hendak
membangun peradaban bangsa ini.

Pendidikan Indonesia harus mampu mengembangnkan kemampuan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu kemampuan kognitif, afektif serta
psikomotorik seperti yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 bahwa
pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (pasal 31
ayat 3 UUD 1945). Melihat tujuan pendidikan merupakan proses yang
komprehensif dan utuh untuk untuk membangun manusia Indonesia, akan
terasa sangat penting ditengah-tengah gencarnya arus globalisasi yang
memiliki dua wajah, disatu sisi ia mendorong manusia untuk sampai pada
pencapaian yang signifikan terutama dalam bidang sains dan tekhnologi yang
bias membantu manusia menjalankan kehidupan ini dengan efisien dan
efektif, namun disisi lain kesalahan akses dapat mejadi “boomerang” bagi
manusia sendiri kerena dapat menggusur nilai-nilai kemanusian.
Berdasarkan hakikat manusia dan pendidikan maka perlu dirumuskan
kebijakan-kebijakan pendidikan jangka panjang yang bertumpu pada pertama
kesetaraan (equality), artinya setiap anak bangsa berhak atas akses
pendidikan yang berkualitas serta selaras dengan kebutuhan masyarakatnya
tanpa ada perbedaan status sosial ekonomi dan budaya serta perbedaan
kemampuaan. Kedua adalah pelaksanaan pendidikan yang bermutu dan
berkualitas sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat Indonesia dalam
menghadapi tantangan global. Ketiga penyelenggaraan pendidikan yang
demokratis serta professional yang dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat serta stakeholder pendidikan lainnya. Keempat pemberian
kewenangan yang lebih besar kepada sekolah untuk dapat mengelola
sekolahnya sesuai dengan kebutuhan yang dihadapinya, oleh sebab itu
peran pemerintah terhadap pengelolaan pendidikan harus seminim mungkin
agar sekolah dapat lebih fleksibel mengelola sekolahnya serta dapat lebih
fleksibel dalam merespon perubahan dinamika serta perubahan masyarakat
baik dalam skala nasional maupun global.

Dalam konteks demikian, setiap perbuatan yang menghambat
kesempatan setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan dapat
dimaknai sebagai penyebab dan pendorong untuk merelisasikan kebodoh,
lebih jauh hal itu akan berdampak pada berbagai macam keterbelengguan.
Tujuan penyelenggaraan pendidikan tidak terbatas hanya bagaimana peserta
didik dapat memiliki ilmu pengetahuan secara kognitif saja, namun lebih dari
itu bagaimana peserta didik mampu bertanggung jawab baik pada dirinya
sendiri, lingkungannya maupun pada tuhannya Tanpa memiliki ilmu pengetahuan, maka manusia tidak jauh berbeda
dengan animal dalam menjalankan kehidupan ini, namun sebaliknya, meski
memiliki segudang ilmu pengetahuan tanpa diberengi dengan moralitas dan
tanggungjawab yang tinggi akan menimbulkan kesengsaraan diantara
sesamanya.

Peyelenggaraan Pendidikan non-diskriminatif

Kesetaraan (equality) dan non diskriminasi merupakan salah satu
prinsip pokok dalam penegakan (enforcement), penghormatan (respect), dan
pemenuhan (fulfillment) Hak Asasi Manusia (HAM), fundamen dari bangunan
politik dan hukum HAM. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 1 yang menyatakan
“All human beings are born free and equal in dignity and rights”. Maka, sudah
semestinya kesetaraan menjadi prinsip utama dalam penghormatan,
pemenuhan, dan penegakan HAM dari sudut pandang negara, serta dalam
pembelaan dan pemajuan HAM dari perspektif aktor pembela HAM (human
rights defenders).

Pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia terutama hak Ekosob
masih sangat mengironiskan, hal itu terlihat dari peningkatan jumlah orang
miskin serta pengangguran, rendahnya akses serta kualitas pendidikan, dan
rendahnya keterjangkauan layanan kesehatan sebagian dari sekian banyak
persoalan ekosob. Padahal, pemenuhan hak Ekosob juga merupakan
tanggung jawab negara untuk memenuhinya.

Salah satu dari sekian banyak persoalan Ekosob yang pemenuhannya
masih lemah adalah bidang pendidikan. Secara normatif, bidang tersebut
tegas dinyatakan sebagai hak dasar yang wajib dipenuhi oleh negara.
Tentang hak atas pendidikan, UUD 1945 menegaskan pendidikan sebagai
hak dasar dalam Pasal 28 c ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1) hingga (5). Hal itu
juga ditegaskan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, khususnya
Pasal 12, 13, dan 60 ayat (1). Prakteknya, kebijakan penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia pada saat ini belum jelas arah, tujuan, dan
penerapannya. Pendidikan wajib belajar (compulsory education) 9 tahun
ternyata belum terimplementasi dengan baik. Wajib belajar pada dasarnya
berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk
tanggung jawab negara. Selain itu pendidikan seharusnya berdasar universal
education yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua
tempat.

Pada prinsipnya pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia
yang berorientasi kepada pembebasan individu akan ketidaktahuannya.
Kesempatan warga Negara untuk memperoleh pendidikan yang sama
merupakan hak yang dilindungi oleh Undang-Undang. Dalam UUD 1945,
dari salah satu pasal berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan yang layak” dan ini dijadikan landasan konstitusi dalam perjalanan
pendidikan di indonesia. Kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu
dan berkualitas harus diberikan kepada kepada setiap warganya tanpa
melihat perbedaan apapun, baik perbedaan ras, agama, etnis, suku, status
social, keterbatasan fisik ataupun mental (difabel), dan bahkan
keterjangkauan daerah tempat tinggal serta perbedaan-perbedaan lainnya.
Education for all atau pendidikan yang merupakan prinsip pendidikan
UNISCO bermuara pada kebijakan non-diskriminatif. Artinya, tidak
membedakan semua satuan pendidikan, model maupun bentuknya.
Termasuk di dalamnya SLB, keluarga kurang mampu, dan mereka yang
karena nasibnya berada di dalam lembaga pemasyarakatan. artinya,
pendidikan itu untuk semua (education for all). Pendidikan tidak hanya untuk
anak yang normal, melainkan juga untuk anak yang berkebutuhan khusus.
Pendidikan tidak hanya dikhususkan bagi mereka yang kaya tetapi juga bagi
mereka yang tidak mampu. Serta pendidikan tidak memandang jenis kelamin.
Pendidikan Indonesia tidak semata-mata menghadapi permasalahan
diskriminasi akses pendidikan antara warga negara yang hidup di daerahdaerah
terpencil, melainkan juga pada akses pendidikan yang berkualitas
masih terjadi diskriminasi. Bahkan terkait dengan akses pendidikan yang
berkualitas tidak semata-mata dihadapi oleh warga negara yang tinggal di
daerah terpencil namun juga dihadapi oleh warga negara yang tinggal
diperkotaan, warga Negara yang berasal dari keluarga berkekurangan, serta
warga Negara yang memiliki kebutuhan khusus.

Berbagai macam bentuk diskriminasi dalam dunia pendidikan yang
dihadapi Indonesia saat ini, diantaranya adalah diskriminasi secara ekonomi,
sosial, serta identitas. Diskriminasi secara ekonomi salah satunya dapat
dilihat dari kebijakan program labelisasi Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang kental
berbau privatisasi pendidikan pada sekolah negeri, seharusnya sekolah
negeri merupakan wadah utama menimba ilmu tanpa melakukan diskriminasi
dan kastanisasi dalam mendidik generasi penerus cita-cita nasional bangsa.
Peningkatan mutu pendidikan yang diangan-angankan melalui RSBI dan SBI
masih tidak relevan, mengingat tujuan idealis dan fakta di lapangan
pelaksanaan RSBI dan SBI sangat jauh berbeda, penekanan pada sistem
dan mekanisme telah banyak melanggar nilai-nilai pendidikan yang
seharusnya bersifat humanisme dan bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa.

Sedangkan diskriminasi secara identitas dapat dilihat dari adanya
beberapa kota yang menerapkan kebijakan pembatasan kuota bagi siswa
yang ingin memasuki sekolah tersebut dengan alasan efektifitas dan efisiensi
anggaran daerah serta meminmalisir misalokasi anggaran pendidikan.
Apapun alasannya, kebijakan ini tidak dapat dibenarkan karena bertentangan
dengan hak atas kebebasan bergerak (pasal 12 Kovenan Sipol), pasal ini
menjelaskan bahwa setiap warga Negara diberi kebebasan untuk bergerak.
Pengabaian atau bahkan pelanggaran terhadap pasal ini tidak dibenarkan
apapun alasannya. Meski pasal ini termasuk dalam kategori kelompok
derogable right, tetapi ini tidak berarti bahwa pengabaian atau
pengesampingan hak ini bersifat semena-semena dan melanggar prinsip
keadilan.

Diskriminasi secara sosial dapat dilihat dari ketidakadilan terhadap
anak penyandang cacat dalam memperoleh pendidikan. Masih banyaknya
hak-hak kaum difabel yang dirampas. Diberbagai pelosok, mindset
masyarakat menganggap bahwa anak cacat sebagai aib dan sering
disembunyikan padahal setiap anak mempunyai potensi yang harus
difasilitasi oleh untuk diberdayakan.

Melihat fenomena pendidikan di Indonesia, maka Pendidikan berbasis
Inklusi sangat mendesak untuk dapat terealisasi. Pendidikan berbasis
inklusifitas adalah pendidikan yang didasari semangat terbuka untuk
merangkul semua kalangan dalam pendidikan. Pendidikan Inklusi merupakan
Implementasi pendidikan yang berwawasan multikural yang dapat membantu
peserta didik mengerti, menerima, serta menghargai orang lain yang berbeda
suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis.
Implementasi pendidikan inklusif di Negara ini belum maksimal, karena
penerapan pendidikan inklusif dinilai akan memberatkan praktisi pendidikan
terutama guru kelas. Meski implementasi pendidikan inklusif dinilai sangat
berat namun memiliki sisi positif yakni menumbuhkan rasa kepedulian sosial,
sikap empati ,saling menyayangi, mengakui berbagai perbedaan pada diri,
gender, social, ekonomi, etnik, bahasa, kecacatan dan status yang bisa
ditanamkan sejak dini.

Secara filosofis dasar dari pendidikan berbasis inklusif adalah
keyakinan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan baik
dalam lingkungan yang sama (education for all) tanpa ada perbedaan.
Secara lebih luas, ini bisa diartikan bahwa anak-anak yang “normal” maupun
yang dinilai memiliki kebutuhan khusus sudah selayaknya dididik bersamasama
dalam sebuah keberangaman yang ada di dalamnya. Di sini, prestasi
akademik bukanlah tujuan akhir satu-satunya, tetapi lebih dari itu, mereka
belajar tentang kehidupan itu sendiri.

Penutup dan Rekomendasi

Sebagai upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia melalui
peningkatan kualitas serta pemerataan akses pendidikan perlu diupayakan
Pertama, merevisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai diskriminatif
sehingga pendidikan dapat diakses oleh semua orang dari semua
golongan. Kedua, realisasi anamat konstitusi yang mewajibkan Negara
mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari APBN/APBD sehingga dapat
digunakan untuk peningkatan kualitas tenaga pendidik serta peningkatan dan
pemerataan sarana dan prasarana pendidikan. Namun alokasi anggaran
pendidikan 20% dari APBN/APBD harus dibarengi dengan pengawasan yang
melibatkan berbagai unsur, baik dari masyarakat, pemerintah maupun LSM
sehingga tidak ada penyelewengan yang terjadi, serta perlu audit yang
transparan terhadap penggunaan anggaran pendidikan dan jika ditemukan
indikasi penyimpangan, maka perlu segera ditindak lanjuti sesuai dengan
hokum yang belaku. Ketiga, mendorong keterlibatan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan, keterlibatan masyarakat diharapkan dapat
menumbuhkan rasa memiliki dan loyalitas terhadap sekolah sehingga
pendidikan dapat menjadi tanggungjawab bersama. Keempat, realisasi
managemen berbasis sekolah, diharapkan sekolah dapat dengan leluasa
mengelola sekolahnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah dan
tentunya dibarengi dengan peningkatan peran serta masyarakat dalam
mengelola dan melakukan pengawasan terhadap sekolah tersebut. Kalma,
realisasi pendidikan inklusi, terlepas dari segala kekuangannya, pendidikan
inklusi dapat dapat menumbuhkan rasa saling menghormati siswa terhadap
segala macam bentuk perbedaan dan dapat menjadi dasar tumbuhnya paham
pluralism di Negara multi cultural ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar