Jumat, 25 Maret 2011

Subjek Anonim dalam Diplomasi Febrie Hastiyanto*

Pendidikan Lampost : Rabu, 23 Maret 2011

Febrie Hastiyanto*

BERITA dengan isu-isu diplomatik sering menggunakan nama kota, kawasan, atau ibu kota negara sebagai kata ganti subjek. Kita banyak mendapati kalimat-kalimat seperti: "Jakarta menyatakan belum mengambil sikap terkait sengketa perbatasan dengan Malaysia". Penggunaan idiom Jakarta berpotensi bias dan sumir, terutama bila pertanyaanya menjadi: otoritas apa di Jakarta yang merilis informasi?

Representasi Pemerintah Republik Indonesia dapat melekat pada berbagai macam lembaga. Pemerintah Republik Indonesia dapat bermakna presiden, dalam hal ini Pak SBY langsung.

Dapat pula direpresentasikan oleh Menteri Luar Negeri. Pernyataan juru bicara Presiden bisa dianggap sebagai pernyataan Presiden, yang mewakili pemerintah. Konfirmasi dari juru bicara Kementerian Luar Negeri juga sudah dianggap sumber resmi. Menteri Komunikasi dan Informatika dapat pula menjalankan peran kehumasan Pemerintah Republik Indonesia.

Dalam konteks hubungan luar negeri yang berhubungan dengan isu-isu pertahanan, Panglima TNI layak dipandang sebagai otoritas yang merepresentasikan Pemerintah Republik Indonesia. Bila tidak menggunakan kata ganti nama ibu kota negara, kita juga familiar dengan kata ganti kawasan atau objek tertentu sebagai kata ganti representasi pemerintah suatu negara.

Kata ganti Gedung Putih sering digunakan sebagai kata ganti Pemerintah Amerika Serikat. Begitu juga Kremlin yang dapat dipersepsikan sebagai Pemerintah Rusia. Pentagon jelas merujuk pada Angkatan Bersenjata Amerika Serikat. Problemnya, tak semua publik atau pembaca koran dan media cetak lain familiar dengan representasi kawasan dan objek-objek ini. Alasan-alasan efisiensi ruang dalam penerbitan seharusnya tidak mengabaikan hak publik pada akurasi sumber yang tepercaya.

Soal akurasi sumber juga sering diabaikan ketika subjek tidak dijelaskan secara terperinci. Kita kerap membaca berita yang didasarkan pada informasi menurut “sumber resmi”, “sumber yang dapat dipercaya” atau “sumber yang tak ingin disebut identitasnya”. Kalimat-kalimat seperti “sumber resmi di Angkatan Bersenjata Iran menyatakan siap menghadapi provokasi Amerika Serikat” kerap menghiasi rubrik luar negeri media cetak kita.

Frase “sumber resmi di Angkatan Bersenjata Iran” sebenarnya dapat ditulis lebih lugas, merujuk pada orang dan mewakili otoritas apa ia mengeluarkan pernyataan. Apalagi informasi diberikan oleh “sumber resmi”. Keresmian otoritas sumber seharusnya ditulis dengan lengkap. Apalagi sumber resmi bukan termasuk sumber yang tak ingin disebut identitasnya sebagai sumber yang berhak untuk tidak diungkap identitasnya sebagaimana hak sumber dalam kode etik jurnalistik.

Dalam kode etik jurnalistik pula, wartawan memiliki hak tolak, yakni hak untuk tidak mencantumkan identitas sumber beritanya. Pilihan ini bukan tak berisiko. H.B. Jassin, paus sastra Indonesia, harus dijatuhi hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan selama dua tahun karena tak ingin mengungkap identitas sebenarnya dari penulis cerpen Langit Makin Mendung yang ditulis oleh Ki Panji Kusmin, nama samaran.

Cerpen Ki Panji Kusmin di majalah Sastra tahun 1971 ini dianggap “menghina Tuhan”. Namun “sumber resmi” sudah jelas bukan “sumber yang berhak tidak diungkap identitasnya”. n

* Penulis, tinggal di Tegal, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar