Selasa, 29 Maret 2011

Laboratorium Budaya Bangun Karakter Anak

Keluarga Lampost : Minggu, 27 Maret





FUNGSI sekolah tidak sekadar melakukan transfer knowledge (perpindahan pengetahuan), tetapi juga transfer value (perpindahan nilai) kepada para siswa. Oleh sebab itu, sekolah tidak hanya berfungsi meningkatkan kecerdasan intelektual, tetapi juga berperan dalam membangun karakter anak didik.

Hal ini dikatakan pendiri Sekolah Alam Lampung Citra Persada kepada Lampung Post, Sabtu (26-3). Menurut Citra, simpul yang menyatukan kognisi, keterampilan, dan watak adalah nalar. Oleh sebab itu, pihak sekolah harus menyusun materi, silabus, dan cara penyampaian dengan titik sentralnya pada pengembangan nalar. Sehingga sekolah tidak hanya menghasilkan manusia pintar-terampil, tetapi juga berkarakter.

“Nah, sumber-sumber bahan ajarnya berasal dari khasanah budaya, dalam hal ini budaya Lampung. Khasanah budaya bangsa kita memuat nilai-nilai sopan santun, keindahan, gotong-royong, disiplin, dan lain sebagainya,” ujar Citra. Transfer nilai-nilai inilah yang belakangan ini mulai memudar dan diabaikan oleh banyak pendidik dan sekolah.

Citra mengatakan kurikulum Sekolah Alam Lampung berbasis proyek (project-based curriculum) yang terdiri dari proyek teknologi informasi, bioteknologi, dan budaya. “Saya, bersama pimpinan Sekolah Alam sepakat masing-masing proyek harus didukung oleh laboratorium,” kata dia. Untuk proyek teknologi informasi, pihaknya memiliki laboratorium komputer dan multimedia. Untuk proyek bioteknologi, Sekolah Alam Lampung sudah memiliki laboratorium hidup dan sains. Sedangkan untuk proyek budaya, pihaknya mendirikan laboratorium budaya sejak tahun ajaran 2009—2010.

Menurut Citra, melalui laboratorium budaya inilah tenaga didik melakukan transfer nilai kepada para siswanya. Laboratorium budaya ini lebih menekan kepada proses bukan produk, misalnya siswa belajar membuat tapis. Tahap pertama, guru akan memperkenalkan definisi, sejarah, dan bentuk tapis kepada siswa. Selanjutnya, siswa diajak ke perajin tapis untuk melihat langsung proses pembuatan tapis. Setelah itu, siswa membuat tapis sendiri, dan hasil karyanya akan dipajang di pameran sekolah.

“Selama proses belajar membuat tapis ini, siswa belajar tentang kerja keras, mandiri, dan kerja sama. Karena untuk menyelesaikan satu tapis tidak hanya dikerjakan o satu orang, bisa lebih dari dua orang. Kalau tidak, bisa berbulan-bulan selesainya,” kata Citra.

Menurut dia, tiga proyek budaya yang dilaksanakan Sekolah Alam Lampung adalah tapis, topeng sekura, dan cetik. Kain tapis merupakan pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung dari tenun benang kapas. Motifnya sangat beragam, disulam dari benang perak atau benang emas. Topeng sekura adalah topeng yang digunakan dalam pesta sekura. Perayaan sekura sebagai simbol kemenangan bagi masyarakat Lampung Barat setelah melaksanakan ibadah puasa. Pesta sekura ini biasanya dilaksanakan pada hari pertama sampai hari ketiga Idulfitri. Sedangkan cetik adalah alat musik tradisional asal Lampung Barat, atau dikenal juga dengan gamelan pekhing.

“Belajar tentang topeng sekura, siswa akan tahu bahwa topeng itu dipakai untuk pesta sekura sebagai simbol kegembiraan dan kemenangan,” kata dosen Universitas Lampung ini. Menurut Citra, selain tiga proyek budaya itu, siswa-siswa juga belajar warahan, sendratari, dan drama yang mengangkat cerita daerah, misalnya Ratu Dipunggung, Ratu Dibalau, dan Raden Jambat. (RINDA MULYANI/M-1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar