Selasa, 29 Maret 2011

Masyarakat Cenderung Abaikan Spiritualitas

Pwndidikan Lampost : Senin, 28 Maret 2011


JAKARTA (Lampost): Krisis kemanusiaan pada masyarakat modern tidak terlepas dari krisis persepsi masyarakat dalam memandang manusia semata dari dimensi fisik.

"Masyarakat kita semakin tergenggam modernitas sehingga akar spiritualitas dan dimensi makna yang berhembus sebagai roh penggerak perilaku dan interaksi manusia dengan dunia saat ini mulai kehilangan signifikansinya," kata Director of the Islamic College Jakarta Seyyed Ahmad Fazelli saat menjadi pembicara pada Seminar Internasional Anthropology of Transcendent Philosophy di Hotel Sultan Jakarta, Sabtu (26-3).

Akibatnya, kata Seyyed, semakin terjadi pendangkalan visi dalam menentukan tujuan sebab hanya berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materialistis. "Seluruh pertimbangan kita dalam menentukan tujuan, pola interaksi dan kebijakan dalam menjalankan roda kehidupan dalam berbagai lini secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya tereduksi pada orientasi yang bersifat materialistis," kata Seyyed.

Menurut dia, manusia modern memandang kehidupan sebagai realitas satu dimensi material sehingga segala bentuk peradaban manusia tidak lebih disebabkan kemampuan otaknya yang melebihi kemampuan makhluk lainnya.

Dalam cara pandang ini, kata Seyyed, sisi sakral, transenden, serta sisi intuitif manusia sebagaimana sering dikemukakan berbagai agama serta yang ditekankan sebagai yang utama dalam beragam tradisi masyarakat kita di masa lalu, terbelenggu.

"Intinya, manusia itu spritualis dan mari kita gunakan pula pola pikir kita sendiri," kata Seyyed yang juga guru besar International University of Iran ini.

Pada bagian lain, Muhammad Reza Shaleh dari International University of Iran mengatakan perlunya dilakukan berbagai dialog untuk menekan krisis manusia modern dalam memandang manusia secara kosmologis, epistemologis, dan etis. "Saya meyakini dialog itu rahasia yang paling utama dari Tuhan," kata Shaleh.

Melalui dialog, kata dia, akan tercapai tatanan hidup yang harmonis dan itu penting sebagai bentuk lain dari ibadah. Lantas melalui dialog mengajak kita untuk tidak memaksakan kehendak.

Sebelumnya, Kamis (24-3), Wakil Presiden Boediono mengatakan sebuah gambar lebih bernilai daripada seribu kata. Apalagi kalau gambar itu bisa berbicara. Ia bernilai lebih dari sejuta kata. Itulah televisi. Untuk itulah Wapres mengingatkan agar pemilik dan pengelola stasiun televisi turut mendidik masyarakat.

Hal itu disampaikan Wapres saat memberikan sambutan dalam pembukaan acara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Award di Gedung TVRI Jakarta.

Menurut Wapres, jangan dilupakan bahwa para pemilik dan pengelola stasiun televisi sebetulnya mendapatkan privilese yang luar biasa dari masyarakat. Pasalnya, diperbolehkan memakai sebuah sarana publik yang sangat terbatas ketersediaannya, yakni frekuensi.

"Rasanya cukup pantas jika pemilik dan pengelola stasiun televisi membayar kembali privilese itu dengan upaya yang tulus untuk turut mendidik masyarakat. Tugas public education," ujar Wapres. (S-1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar