Jumat, 11 Februari 2011

Pendidikan yang Manusiawi dan Berfaedah

Opini Lampost : Kamis, 10 Februari 2011


Khairil Azhar
Konsultan Pendidikan pada Sekolah Islam Terpadu Fajar Hidayah

"SAYA yakin, kita harus meninggalkan jauh-jauh bermacam tes dan berbagai kaitan dengan tes, dan sebagai gantinya mencari sumber informasi yang jauh lebih alamiah tentang bagaimana orang di seluruh dunia mengembangkan kemampuan-kemampuan yang penting bagi hidup mereka..." (Howard Gardner, Harvard University, 1984)

--

Kutipan pidato tokoh revolusioner pendidikan Amerika tahun 1984 di atas pada hakikatnya mewakili dilema pendidikan Indonesia saat ini, lebih dari seperempat abad kemudian. Betapa tidak. Pendidikan yang semestinya merupakan kawah Candradimuka, di mana para peserta didik menempa diri ke arah kemandirian dan kedewasaan telah dibelokkan semata-mata demi memenuhi tuntutan kompetensi kognitif dalam bidang yang sangat terbatas, terutama yang berkaitan dengan aspek bahasa, matematika, dan sains. Bahkan sekolah-sekolah kejuruan, yang sesuai dengan namanya hendak membekali siswa dengan keterampilan praktis yang bisa digunakan langsung dalam kehidupan, juga terpaksa belajar banyak hal yang tak berkaitan langsung atau mungkin tidak akan bermanfaat dalam profesi atau kehidupan mereka.

Tidak mengherankan kemudian jika kita bertanya-tanya, bagaimana alumnus sekolah perikanan bisa menangkap atau mengolah ikan ketika dia lebih sibuk mengurus logaritma atau rumus matematika lainnya saat bersekolah? Tentu tidak mungkin jika saat menangkap ikan dia menggunakan bahasa atau trik menjawab soal ujian nasional atau bagaimana gramatika Bahasa Indonesia yang dibuat berbelit-belit di sekolah tak akan membantu ketika dia menjual hasil perikanannya. Atau tak ada jaminan umpamanya, anak dengan nilai bagus, tapi kurang beruntung untuk melanjutkan sekolah, bisa bekerja sekadar untuk subsistensi apalagi jika untuk berkompetisi demi penghasilan yang lebih bagus.

‘The Best Output’ dan ‘Input’

Persoalan dasarnya terletak pada asumsi yang sejauh ini digunakan secara sadar atau tak sadar oleh para penentu kebijakan pendidikan, baik oleh mereka yang duduk di kursi legislatif maupun eksekutif. Salah satu asumsi yang paling desisif adalah bahwa keberhasilan pendidikan diukur secara kuantitatif dengan prinsip the best input dan the best output. Dalam logika ini, konsep “terbaik” diartikan sebagai keberhasilan meraih nilai (angka) yang tinggi yang diandaikan merepresentasikan kepandaian siswa. Ketika kenyataannya angka-angka yang tertera di buku laporan pendidikan siswa tidak secara eksplisit mendeskripsikan kemampuan apa saja yang sudah dipelajari dan dikuasai apalagi jika disoal masalah validitasnya.

Konsep the best output kemudian memosisikan sekolah secara dilematis sampai pada soal bagaimana cara untuk tetap survive. Di sini, ketika keberhasilan sekolah ditentukan oleh kuantitas dan kualitas output, masalah kemanusiaan menjadi kurang masuk hitungan. Konsep "manusiawi" atau "tidak manusiawi" boleh jadi direnggut secara diam-diam tapi pasti dari ranah pendidikan. Jika ada pertanyaan, "Kenapa kita tidak menerima si Anu bersekolah di sini?" jawabnya adalah, "Siapa yang mau bertanggung jawab jika dia tidak lulus?"

Karena konsep the best output ini, mau tak mau, sekolah mana pun akan tergiur berlomba untuk mendapatkan calon-calon siswa yang dinilai tidak akan mengecewakan terkait dengan pencitraan sekolah. Sejak awal, karenanya, kriteria the best input menjadi perhitungan yang tak bisa ditawar.

Dengan sendirinya, konsep bahwa sekolah mesti menerima siswa dari berbagai latar belakang diabaikan sedemikian rupa.

Selain kemunculan fenomena selektif dengan prinsip the best input, konsep the best output sangat potensial meretas jalan bagi lahirnya berbagai bentuk manipulasi dan ketidakjujuran. Pertama-tama, guru atau manajemen sekolah akan mudah sampai pada kesimpulan bahwa apa pun menjadi halal sejauh itu menguntungkan bagi sekolah atau siswa. Penilaian pendidikan umpamanya, bisa menjadi mudah sekali keluar dari koridor kepatutan dan menjadi sesuatu yang tidak merepresentasikan prestasi anak.

Manusiawi dan Berfaedah

Untuk memperbaiki kondisi ini, Howard Gardner, pakar paradigma kecerdasan majemuk, memastikan bahwa konsep the best input dan the best output ini harus diganti dengan asumsi bahwa sekolah mestilah menjadi tempat bagi para siswa untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang penting bagi hidup mereka. Sekolah tidak lagi menjadi rumah semata-mata bagi siswa dengan kemampuan linguistis atau matematis saja tetapi juga bagi mereka yang memiliki bakat alamiah lain, seperti kecerdasan kinestetis, naturalistis atau musik. Singkat kata, sekolah mestilah manusiawi dan berfaedah.

Dalam Sekolahnya Manusia, Munif Chatib (2009) mengedepankan asumsi yang lebih bersifat teologis, yang oleh sebab itu, lebih sesuai dengan konteks Indonesia, bahwa anak-anak bagaimanapun juga adalah ciptaan Tuhan yang sudah dijadikan sempurna sedemikian rupa lengkap dengan talenta dan kecerdasan masing-masing. Jika ada masalah dengan peserta didik di sebuah sekolah, tak bisa diklaim umpamanya bahwa para siswa itu “bodoh” atau dengan sebutan tak pantas lainnya. Adalah alat penilaian yang digunakan yang mesti dipersoalkan atau bisa juga proses pembelajaran seperti apa yang telah dijalankan.

Dalam paradigma humanistik ini, guru merupakan pemeran utama yang akan menentukan terselenggaranya the best process dengan terus mau mengajar dan mencipta. Dengan peran guru seperti ini, sekolah menjadi wahana bagi para peserta didik untuk berproses, terlepas dari dengan latar belakang seperti apa pun juga. Sekolah adalah fasilitas untuk membuat mereka menemukan talenta dan kecerdasan terbaik yang dimiliki sekaligus mengasahnya—proses yang disebut Munif Chatib sebagai discovering abilities.

Sesuai dengan paradigma kecerdasan majemuk, fasilitasi pembelajaran mestilah dimulai dari upaya untuk membantu anak menemukan gaya belajarnya serta bakat dan kecerdasan unik yang dimiliki. Jika gaya belajar dan bakat tersebut sudah ditemukan, program pembelajaran akan dibuat berdasar prioritas-prioritas yang berbeda bagi setiap anak.

Dalam praksis pembelajaran, sebagai contoh, guru mutlak harus membasmi virus disteachia, yakni penyebab penyakit utama ketidakefektivan proses pembelajaran yang jamak dilakukan di sekolah. Virus ini pertama-tama mewujud dalam bentuk teacher talking time, porsi bicara guru yang berlebihan atau tidak tepat sehingga merampas waktu siswa untuk “belajar” dengan bereksplorasi, bereksperimen, dan sebagainya. Kedua, ketiadaan task analysis, sehingga penyampaian materi bersifat langsung mengenai what dan how tanpa didahului analisis mengenai apa dan seperti apa perwujudannya dalam dunia nyata. Ketiga, yang paling berbahaya, penyakit tracking, yakni klasifikasi siswa dalam penilaian serta penempatan berdasarkan persamaan kemampuan kognitif bukan kesamaan gaya belajar.

Demi terselenggaranya proses pembelajaran yang manusiawi dan berfaedah ini, mesti terdapat proporsionalitas antara peran guru dan siswa, di mana guru benar-benar menjadi fasilitator dan siswa menjadi subjek aktivitas belajar. Guru wajib untuk memfasilitasi modalitas belajar yang tidak saja auditoris seperti yang lazim terjadi tetapi juga meracik aspek visual dan kinestetis. Penyeimbangan aspek modalitas ini kemudian merupakan cara untuk memastikan bahwa hasil belajar benar-benar didapat siswa, di mana kemampuan yang dipelajari dan dilatihkan mendekam dalam memori jangka panjangnya. Perwujudan dari hasil belajar juga mesti terukur dengan adanya produk kasat mata yang bisa diapresiasi secara sosial maupun ekonomis, seperti produk edukasi, majalah, fotografi, dan sebagainya.

Pada akhirnya, seperti yang kemukakan Munif Khatib, penilaian pendidikan mestilah berupa ability test bukannya disability test. Kecenderungan guru akan disability test, bahwa siswa yang hebat adalah yang mampu mengerjakan soal-soal yang sulit yang mungkin belum pernah dipelajarinya, tidaklah tepat. Dalam ability test, asumsi dasarnya berpatokan pada sejauhmana siswa telah mampu memahami dan memosisikan materi secara logis-rasional dalam memori mereka. Oleh sebab itu, ability test umpamanya tidak akan mengujikan soal hafalan, seperti kapan Pangeran Diponegoro lahir, tetapi situasi apa yang membuatnya bangkit melawan Belanda. Ujian yang bersifat hafalan tanpa penalaran serta tidak berhubungan langsung dengan konteks yang ril hanya akan merusak potensi kecerdasan siswa.

Konsep penilaian pendidikan juga mesti bersifat ipsative, yakni penilaian dilakukan dengan mengukur perkembangan siswa berdasar data sebelum dan sesudah proses pembelajaran. Artinya, penilaian terhadap siswa harus adil dengan tidak melakukan generalisasi seperti model yang sampai saat ini masih jamak dilakukan. Sekolah yang manusiawi dan berfaedah harus secepatnya dibawa ke arah yang lebih baik, di mana transisi konseptual dan praksis untuk itu sudah waktunya dipercepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar