Jumat, 25 Februari 2011

Era Respiritualisasi Globalkan Pendidikan

Opini Pendidikan Lampost : Sabtu, 26 Februari 2011


Betti Nuraini,
Mahasiswi Program Manajemen Pendidikan S-3 Universitas Negeri Jakarta


PEMEO yang mengungkapkan semakin maju pendidikan suatu bangsa, semakin kuat pula bangsa tersebut ternyata benar. Karena tak dapat dimungkiri bahwa pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses dinamika setiap bangsa. Tak pelak negara pun berlomba-lomba meningkatkan daya saing untuk mengikuti kompetisi global tersebut. Negara pun menggelindingkan berbagai terobosan baik di bidang teknologi informasi/komunikasi, teknologi transportasi, hingga pendidikan.

Hal ini menyusul pergeseran tatanan masyarakat dari era industri ke era pascaindustri pada beberapa dekade terakhir. Ditandai perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat. Hubungan masyarakat di berbagai belahan dunia pun seolah tak melampaui batas-batas negara. Tatanan masyarakat yang biasanya tertutup oleh batas-batas fisik wilayah, semua terekspos oleh arus globalisasi. Sehingga berubah menjadi tatanan komunitas global.

Kita tahu globalisasi telah membuat dunia menjadi kecil. Manusia saling berinteraksi dengan tidak lagi dipisahkan oleh jarak, ruang, dan waktu.

Seperti kata seorang ahli fisika nuklir Stanton Friedman. Ia menggambarkan bumi kita saat ini dalam keadaan hot, flat, and crowded. Hot menggambarkan bumi kita makin panas, akibat kenaikan temperatur yang signifikan selama periode 150 tahun terakhir. Flat adalah kehidupan modern. Teknologi informasi dan komunikasi menjadikan planet kita tidak lagi bulat dengan radius lebih dari 40 ribu km, melainkan hanya sebuah pinggan yang datar. Sehingga world wide web, handphone dan teknologi informasi publik memungkinkan, bukan hanya pertukaran informasi, tetapi juga akulturasi budaya global. Sedangkan crowded berarti sesak. Hal ini akibat pertumbuhan populasi yang semakin mengkhawatirkan.

Tak hanya itu, Friedman pun mengistilahkan perkembangan manusia seperti halnya karakteristik virus. Terus berkembang biak menutupi bumi. Bayangkan pada 1950 jumlah populasi manusia baru mencapai 3 miliar. Sementara sekarang jumlahnya naik berlipat-lipat menjadi 6 miliar (tepatnya 6.868.638.152 jiwa), data menurut International Data Base, 13 September 2010). Diperkirakan tahun 2050 jumlah itu naik menjadi 9 miliar manusia. Tak heran ada yang mengatakan ancaman masa depan bagi umat manusia bukanlah ledakan bom teroris, melainkan ledakan demografis.

Dengan jumlah penduduk dunia yang sedemikian besar dan pertumbuhan populasi sedemikian cepat, bumi menjadi penuh sesak. Ditambah akibat keberhasilan menekan angka kematian, industrialisasi bertumpuk di kawasan perkotaan dan sekitarnya. Tanpa adanya upaya yang berimbang dalam pembenahan sarana dan prasarana, akan menimbulkan dampak yang melingkupi semua bidang. Baik itu yang berkaitan dengan ekonomi, politik, kemajuan teknologi, informasi, komunikasi, transportasi, juga bidang pendidikan.

Menurut pakar pendidikan Prof. Dr. Conny R. Semiawan, perubahan yang terjadi di seluruh dunia dan di dalam berbagai kebudayaan tidak dapat dilihat terlepas dari revolusi yang terjadi dari berbagai ilmu dan teknologi. Tidak terkecuali psikologi belajar, proses belajar mengajar serta metode pembelajaran. Pengembangan ilmu secara universal pada umumnya disebabkan oleh adanya dampak eksternal, yaitu tereksposnya seluruh kehidupan bangsa oleh arus globalisasi dengan berbagai ekses positif dan negatif dalam kehidupan nyata.

Dampak negatifnya adalah kurangnya waktu untuk mencernakan rangkaian kejadian-kejadian yang begitu cepat terjadi sehingga tidak sepenuhnya ada pemahaman terhadap makna globalisasi tersebut.

Sedang dampak positifnya antara lain masyarakat makin terpelajar. Terutama mereka yang hidup di kota besar. Wawasannya makin luas dan kritis. Hal itu merupakan arus penyadaran manusia sebagai suatu respiritualisasi peradaban baru.

Seperti kata Semiawan bahwa setelah dunia menjadi global oleh revolusi teknologi informasi dan komunikasi, gelombang kehidupan berikutnya adalah gelombang respiritualisasi. Pada gelombang keempat dalam sejarah evolusi budaya manusia, manusia kembali kepada spiritualisme.

Di era ini menuntut pengembangan tingkat mental tinggi yang dilandasi oleh nilai-nilai moral spiritual apabila umat manusia hendak membawa dunia ini pada perbadan baru. Semua sarana, prasarana, komputer, teknologi informasi, fisilitas digital telah memungkinkan kita beranjak pada pengembangan tingkat mental tinggi. Namun, kesempatan emas ini masih harus terbukti akan dimanfaatkan oleh umat manusia dengan talenta yang dimilikinya. Karena pada era resporitualisasi masyarakat, visi yang dikedepankan dalam era ini adalah efeksi batin yang mendalam, yang merupakan respiritualisasi masyarakat. Ternyata wawasan pemikiran berubah, bukan rasio dan logika saja yang menjadi landasan intelektual, melainkan inspirasi, kreativitas, moral dan intuisi.

Di mana respiritulisasi wilayah keagamaan ditempatkan pada urutan teratas dalam berbagai perbincangan karena agama akan dapat membangun manusia seutuhnya. Untuk itu, proyek respiritualisasi keagamaan pun mesti direspons kalangan saintis. Di mana mereka harus menempatkan paradigma etik humaniora pada landasan aksiologis ilmunya. Ilmu yang berpihak kepada peradaban dan martabat manusia. Ilmu yang melayani eksistensi. Dan spiritualitas pun menjadi landasan etik dan moral dalam perilaku sosial pada setiap lapisan masyarakat.

Dengan demikian muncullah berbagai gerakan penyelamatan lingkungan seperti green peace, gerakan antikorupsi, gerakan antipolusi, serta ideologi pembangunan berwawasan lingkungan atau eco-developmentism. Yang menjadi pertanyaan bagaimana kita bisa menciptakan nilai-nilai baru (co-creating new valued) untuk generasi yang akan datang?

Dan bagaimana institusi pendidikan dan lembaga pendidikan dapat memainkan perannya dalam membantu mewujudkan nilai-nilai baru tersebut dalam upaya penyadaran diri terhadap kepentingan seluruh bangsa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar