Pendidikan Lampost : Rabu, 9 Februari 2011
Febrie Hastiyanto*
SEBAGAI anak kandung kebudayaan, bahasa bukan sesuatu yang bersifat nonetis alias bebas nilai. Preferensi sistem nilai seseorang memungkin pemilihan kata tertentu, juga dengan maksud-maksud tertentu. Saya tak hendak mendiskusikan preferensi ini secara benar atau salah menurut kaidah bahasa Indonesia yang benar, tetapi hendak memotret realitas kebahasaan secara sosiologis belaka.
Dalam banyak pidato atau sambutan, kita sering mendengar frase: "kurang dan lebihnya mohon maaf". Termasuk frase “sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih". Frase pertama berpotensi sumir, dan perlu sejumlah penegasan: mengapa ia harus minta maaf? Atas kekurangan apa, juga terhadap kelebihan yang mana. Begitu juga pernyataan terima kasih. Sesudah apa dan sebelum bagaimana.
Kalimat-kalimat ini lahir dalam konteks kesantunan berbahasa. Sudah kita ketahui bahwa bangsa kita terhitung sebagai bangsa yang moderat, cenderung menghindari konflik. Termasuk konflik yang mungkin timbul sebagai ekses pidato yang baru disampaikan. Kita terlalu takut “berdosa” sehingga sebelum ”pelanggaran” terjadi, cepat-cepat kita “putihkan” dengan upaya meminta maaf dan mengucapkan terima kasih. Padahal, kata "maaf" umumnya diucapkan setelah kesalahan dilakukan. Terima kasih juga biasanya disampaikan setelah pertolongan diberikan.
Kalimat "kurang dan lebihnya mohon maaf" saya kira lebih tepat disampaikan menjadi "mohon maaf bila terdapat hal yang kurang berkenan". "Hal yang kurang berkenan" jelas merujuk pada tutur kata dan lagak lagu saat berpidato yang mungkin tak dapat diterima semua pendengar.
Begitu juga "sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih" dapat disampaikan lebih tegas menjadi “atas perhatian Saudara saya sampaikan terima kasih”. Bila pidato akan ditindaklanjuti dengan rencana tindak tertentu frasenya dapat dilengkapi menjadi "atas perhatian dan kerja sama Saudara saya sampaikan terima kasih".
Begitu juga dengan pilihan pada kata "insya Allah". Secara sederhana kata yang diserap dari bahasa Arab dan dipengaruhi oleh sistem nilai agama Islam ini dapat diartikan sebagai "jika Allah menghendaki". Kata ini digunakan melengkapi penegasan kalimat-kalimat yang memiliki makna janji. Seorang telah berjanji, tetapi di luar janjinya ia memasrahkan kepada Tuhan, atas hal-hal yang mungkin terjadi pada dirinya sehingga janji tak mampu ditunaikan.
Namun hari ini, makna insya Allah secara efektif digunakan sebagai penegasan bahwa janji yang telah diikrarkan, sangat mungkin akan dilanggar, dan kita yang dijanjikan agar "harap maklum". Tidak sedikit juga yang menjadikan idiom insya Allah sebagai frase penolakan ketika diminta untuk berjanji.
Penolakan menggunakan frase insya Allah menyelamatkan kita dari ketidaksantunan menghindari janji. Kita pun sudah seharusnya mafhum, bila ada orang berjanji dan mengucapkan insya Allah dalam konteks ini, dapat dimaknai sebagai "gak janji deh".
Untuk alasan-alasan menghindari "dosa", tidak sedikit kita menggunakan idiom insya Allah untuk sesuatu yang sebenarnya telah pasti terjadi, dan kita yakin mampu mengingatnya. Seorang sahabat saya, yang saya tahu telah sarapan beberapa waktu sebelumnya, suatu ketika ditanya kakaknya yang baru tiba dari luar kota: sudah sarapan? Sahabat saya itu tak ragu menjawab: insya Allah sudah.
Saya tak menganggap sahabat saya ini melanggar kaidah bahasa. Saya mengapresiasinya bila ia memilih kata tersebut dalam konteks religiositas. Namun saya menyayangkan bila ia menggunakan kata tersebut karena takut berdosa sebab berbahasa.
* Pegiat kelompok Studi IdeA. Alumnus Sosiologi FISIP UNS Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar