Selasa, 29 Maret 2011
AGUS WIBOWO
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Baru-baru ini, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mencoba menerapkan mekanisme baru penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS). Jika semula dana BOS langsung ditransfer dari Bendahara Negara ke rekening sekolah, saat ini dari Bendahara Negara ditransfer terlebih dahulu ke kas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baru diteruskan ke rekening sekolah. Menurut Kemendiknas, mekanisme baru ini bertujuan memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam penyaluran dana BOS. Dengan cara itu, pengelolaan diharapkan pula menjadi lebih tepat waktu, tepat jumlah, dan tak ada penyelewengan (Media Indonesia, 15-1).
Sepintas, tujuan penerapan model baru penyaluran dana BOS memang ideal dan efektif. Namun, yang terjadi kemudian adalah banyaknya keterlambatan penyaluran karena mekanismenya menjadi penuh liku, yaitu dari Kemendiknas melalui kas APBD dana BOS baru ditransfer ke sekolah. Pertanyaannya kemudian adalah apakah ada jaminan dana BOS tidak diselewengkan pemerintah daerah (pemda), dengan alasan pemerataan, tetapi senyatanya disalurkan kepada kelompok tertentu—yang dulu menjadi pendukung ketika pilkada?
Jika dikaji dengan bijak, terobosan Kemendiknas mengenai penyaluran dana BOS memang tidak seluruhnya tepat, tetapi juga tidak sepenuhnya salah. Ada benarnya karena selama ini ketika dana BOS langsung ditransfer ke rekening sekolah, terjadi banyak penyimpangan. Seperti yang terjadi pada 2009, di Gunungkidul, Bantul, dan Magelang, dana BOS diselewengkan. Sebagaimana temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI, 2009, di Gunungkidul BOS disalurkan secara tidak tepat di 12 sekolah dasar (SD) dan 13 sekolah menengah pertama (SMP). Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) 2009 BPK itu, terdapat 48 sekolah yang sampai hati melakukan pungutan liar (pungli) terhadap siswa. Pungutan itu dibedakan menjadi iuran rutin bulanan menyerupai SPP dan iuran sukarela yang dikenakan berdasarkan kebutuhan sekolah dengan model pembayaran diangsur. Ironisnya, jumlah nominal iuran itu tidak membedakan antara siswa dari kalangan miskin dan golongan mampu, alias pukul rata.
Berdasar pengakuan para siswa, sekolah berdalih terpaksa menarik sumbangan dan pungutan lantaran dana BOS tidak mencukupi pembiayaan pendidikan. Pengakuan sekolah itu tentu saja sangat kontras. Pasalnya, untuk daerah Gunungkidul, selain memperoleh BOS yang bersumber dari Pemerintah Pusat pada 2008, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) setempat juga telah memberikan subsidi pendidikan senilai Rp80 ribu hingga Rp180 ribu/siswa/tahun. Tidak hanya di Gunungkidul, Bantul, dan Magelang, penyelewengan dana BOS juga terjadi di Jakarta. BPK Perwakilan Jakarta, misalnya, menemukan indikasi penyelewengan pengelolaan dana sekolah, terutama dana BOS 2007—2009, sebesar Rp5,7 miliar di tujuh sekolah di DKI Jakarta. Sekolah-sekolah tersebut terbukti memanipulasi surat perintah jalan (SPJ) dengan kuitansi fiktif dan kecurangan lain dalam SPJ (Media Indonesia, 15-1).
Contoh manipulasi antara lain kuitansi percetakan soal ujian sekolah di bengkel AC mobil oleh SDN 12 RSBI Rawamangun. SPJ dana BOS sekolah ini ternyata menggunakan meterai yang belum berlaku. Bahkan lebih parah lagi, BPK tidak menemukan adanya SPJ dana BOS 2008 karena hilang tak tentu rimbanya. Secara umum, berdasar audit BPK atas pengelolaan dana BOS tahun anggaran 2007 dan semester I 2008 pada 3.237 sekolah sampel di 33 provinsi, ditemukan nilai penyimpangan dana BOS lebih kurang Rp28 miliar. Penyimpangan terjadi pada 2.054 atau 63,5% dari total sampel sekolah itu. Rata-rata penyimpangan setiap sekolah mencapai Rp13,6 juta. Penyimpangan dana BOS yang terungkap antara lain dalam bentuk pemberian bantuan transportasi ke luar negeri, biaya sumbangan PGRI, dan insentif guru PNS.
Periode 2004—2009, kejaksaan dan kepolisian seluruh Indonesia juga berhasil menindak 33 kasus korupsi terkait dengan dana operasional sekolah, termasuk BOS. Kerugian negara dari kasus itu lebih kurang Rp12,8 miliar. Selain itu, sebanyak 33 saksi yang terdiri dari kepsek, kepala Dinas Pendidikan, dan pegawai Dinas Pendidikan telah ditetapkan sebagai tersangka (Febri Hendri A.A., 2010).
Salah Sasaran
Akibat penyimpangan dana BOS itu, program pendidikan gratis yang digagas pemerintah belum bisa direalisasikan. Singkatnya, rakyat miskin masih tetap dikenai beban atas biaya pendidikan anak-anak mereka, di tengah tekanan kebutuhan ekonomi yang semakin mengimpit.
Selain itu, fenomena iuran dan pungutan liar bagi siswa tersebut mengindikasikan adanya ketidaktepatan atau pelaksanaan program BOS yang salah sasaran. Dengan ketidaktepatan program BOS itu, paling tidak ada dua pihak yang dirugikan. Pertama, maksud baik dan tujuan mulia pemerintah agar rakyat mengenyam pendidikan gratis sekadar impian lantaran tereliminasinya dana BOS. Kedua, kesempatan rakyat miskin mengenyam pendidikan gratis menjadi hilang lantaran dana BOS diselewengkan oknum tertentu, atau tidak disalurkan sebagaimana mestinya.
Padahal menurut Bambang Sudibyo (2009), program BOS ini dimaksudkan untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis sembilan tahun. Adapun perincian alokasinya dana BOS yang berasal dari pemerintah dialokasikan untuk menutupi biaya investasi (pengadaan sarana prasarana) serta biaya operasional sekolah. Biaya personal (biaya yang ditanggung peserta didik) menjadi inisiatif dan tanggung jawab pemerintah lokal. Dengan model pendanaan seperti itu, rakyat kurang mampu alias miskin diharapkan tidak lagi dibebani berbagai pungutan atau iuran dana pendidikan.
Jika mencermati kasus penyelewengan dana BOS di berbagai tempat itu, terlihat sekali betapa sekolah dan komite/dewan sekolah tidak memahami harapan pemerintah pusat dan daerah. Dengan kata lain, demi kepentingan pihak sekolah—maupun oknum tertentu—mereka rela merampas hak serta membebani rakyat. Benar pungutan melalui komite sekolah yang sifatnya sukarela dibolehkan, tetapi tidak lantas mencari-cari “proyek” agar bisa menarik dana dari siswa. Misalnya alat-alat atau perabot sekolah yang sebenarnya masih bisa dipakai diganti yang baru. Mestinya sekolah membuat skala prioritas serta melakukan perencanaan yang matang dalam alokasi pembiayaan pendidikan. Dengan demikian, siswa miskin tidak selalu dijadikan korban, tetapi justru dibantu.
Akuntabilitas
Model baru penyaluran dana BOS yang diterapkan Kemendiknas ternyata memang menimbulkan problem baru, utamanya masalah keterlambatan. Diduga, juga terjadi banyak pungutan liar yang dilakukan oknum pemda setempat dengan alasan administrasi pencairan dana BOS, ketidakmerataan penyaluran, dan sebagainya. Guna mengawal model baru penyaluran dana BOS, serta untuk meminimalkan terjadinya penyimpangan untuk tidak mengatakan penyelewengan dana BOS, tampaknya masyarakat bersama pemangku kepentingan pendidikan perlu melakukan langkah-langkah urgen, di antaranya, pertama, kepala daerah harus berani bertindak tegas apabila terdapat jajaran kepala sekolah yang melakukan penyimpangan dana BOS. Sebagai contoh di Sulawesi Selatan (Sulsel) beberapa kepala sekolah dikenai sangsi hukuman oleh pemda setempat, lantaran terbukti melakukan pungli dan iuran kepada siswa.
Kedua, pengawas sekolah dibantu para guru memantau dengan cermat dan teliti penggunaan dana BOS, khususnya yang dikelola sendiri oleh kepala sekolah. Di samping untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas, tidak tertutup kemungkinan dana BOS bisa menjadi sumber korupsi bagi kepala sekolah.
Ketiga, pemda harus mengoptimalkan potensi pengawas sekolah. Dengan optimalisasi peran pengawas, diharapkan tidak ada lagi oknum-oknum yang berani bermain dengan dana BOS yang notabene adalah untuk siswa dan pembangunan sekolah. Itu artinya, pengawas sekolah tidak lagi hanya sekali-sekali mengawasi sekolah, tetapi harus kontinu; bila perlu, sekali sebulan atau dua kali dalam sebulan. Untuk tugas ini, dinas pendidikan (disdik) juga harus menempatkan orang yang tepat, bukan asal tunjuk (the right man).
Keempat, di tingkat disdik harus dibentuk tim yang bertugas menghimpun data pengawasan distribusi BOS baik dari pemda ke sekolah maupun dari sekolah ke anak didik. Dengan pembentukan tim itu, tingkat terjadinya penyimpangan diharapkan bisa diperkecil atau diminimalkan. Lebih dari itu, orientasi dana BOS akan terlihat jelas, yaitu untuk peningkatan mutu pendidikan, bukannya memfasilitasi kepentingan oknum atau kelompok tertentu.
Pada akhirnya, niat baik pemerintah merealisasikan program pendidikan gratis bagi rakyat harus didukung dan diapresiasi secara positif. Pemerintah lokal hingga jajaran sekolah harus transparan dan akuntabel dalam mengelola dana BOS. Tujuannya agar penyaluran dana BOS bisa tepat pada sasaran sehingga semua rakyat kurang mampu bisa memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan, tanpa terbebani oleh kewajiban membayar biaya pendidikan. Semoga. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar