Pendidikan Lampost : Rabu, 9 Maret 2011
Febrie Hastiyanto*
Waktu sejatinya sesuatu yang bersifat eksak. Kita mengetahui satu bulan terdiri dari 28 sampai 31 hari. Atau satu jam terdiri dari 3.600 detik. Waktu juga bersifat melingkupi sehingga penggunaan kata kerja pada bilangan waktu dianggap kurang tepat. Kita pasti telah familier dengan frasa “menyingkat waktu”, termasuk frasa sejenis seperti “membuang waktu” maupun kebalikannya “mengisi waktu”. Dalam adab kesantunan berbahasa kita, bila hendak membuat janji bertemu sering kita awali dengan frasa “apakah ada waktu (untuk bertemu)?”
Penyebab kekeliruan berbahasa kita secara sederhana disebabkan oleh dua hal, pertama karena ketidaktahuan dan sebab ini mendominasi kekeliruan berbahasa. Sebab kedua, ekses dari tata kesantunan. Entah mengapa kesantunan berbahasa kita identik dengan basa-basi dan celakanya melanggar kaidah berbahasa. Kita telah terbiasa berbahasa menggunakan rasa ketimbang kaidah.
“Menyingkat waktu” paling sering kita gunakan sebagai basa-basi pembuka suatu acara. Ahli bahasa menganggapnya keliru dan menawarkan alternatif frase menjadi “menghemat waktu”. Frasa ini paling sering dijadikan alternatif, termasuk dalam buku-buku teks pelajaran Bahasa Indonesia. Namun saya meragukan kesahihan alternatif frasa ini. Frasa “menghemat waktu” bagi saya sama maknanya dan satu konteks kelirunya dengan “menyingkat waktu”. Bila waktu yang melingkupi kita tak dapat diimbuhi kata kerja menyingkat, apatah lagi digantikan kata kerja menghemat. Menyingkat secara sederhana dapat kita artikan membuat sesuatu menjadi ringkas. Menghemat boleh kita artikan menggunakan sesuatu secara hati-hati, sehingga diharapkan terdapat “sisa” untuk disimpan, atau ditabung. Waktu sudah barang tentu tak memiliki sifat tersisa, dapat disimpan maupun ditabung.
Masih soal waktu, dan ini jamak digunakan dalam seremoni suatu acara. Saya kira kita tak asing dengan frase “waktu dan tempat dipersilakan”. Kalau kita sepakat waktu sebagai sesuatu yang melingkupi, sesungguhnya waktu tak mampu melakukan apa pun. Ia tak mampu mengerem laju perputaran waktu, apalagi dipersilakan untuk berpidato. Mengubah frasa “waktu dan tempat dipersilakan” menjadi “kepada Ibu Soleram Anak Yang Manis kami persilakan menyampaikan sambutan di podium dengan alokasi waktu 30 menit” juga tidak taktis, karena bertele-tele.
Dalam bahasa sastra, penggunaan idiom waktu juga kerap dilakukan untuk mendapat imaji puitik. Larik seperti “Malam telah turun/ Bergerak menyongsong pagi” mungkin banyak bertabur dalam puisi-puisi kita, utamanya karya penyair-penyair yang sedang jatuh cinta dan mencari perlambang dari tanda-tanda alam. Dalam sastra terdapat konsep licentia poetica, yakni privilese tak tertulis yang diberikan kepada penyair (dan sastrawan) untuk menyimpang dari kaidah berbahasa demi pencapaian estetika tertentu dari imaji maupun rima puitik. Licentia poetica diproklamasikan oleh Lucius Annaeus Seneca, filsuf Romawi kelahiran Kordoba. Namun, licentia poetica hari ini terus diperdebatkan karena pada kenyataanya menjadi pembenaran dari ketidaktahuan penulis dari kaidah berbahasa. Saya tak dapat membayangkan bagaimana riuhnya diskursus kebahasaan kita bila publik juga menuntut hak licentia poetica yang sama dengan penyair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar