Oleh: Sumardi, M.Hum*)
A. Pendahuluan
Manusia berkomunikasi dengan kuantitas yang tidak terhingga dalam kehidupanya sehari-hari. Segela aktivitas manusia tidak akan pernah terjadi tanpa adanya proses komunikasi, baik komunikasi verbal maupun non-verbal dalam rangka menyampaikan gagasan, pikiran, persaan dan pendapatnya. Sejak dimulai dari bangun tidur hingga tidur kembali di malam hari, bisa dibayangkan berapa kali seseorang mendengar dan berbicara, berapa lama ia membaca koran atau membaca berbagai macam iklan komersial di jalan-jalan, berapa lama ia menulis surat, laporan, tulisan ilmiah dan sebagainya, berapa kali dan berapa lama dosen menjelaskan kuliah di dalam kelas dan berapa lama dan berapa kali pula mahasiswa mendengarkan dan menanyakan hal-ihwal perkuliahan kepada dosen atau teman sekelasnya. Jika dihitung ternyata banyak sekali waktu yang digunakan seseorang untuk berkomunikasi dalam aktivitasnya selama satu hari.
Secara garis besar ada dua macam bentuk komunikasi, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal. Komunikasi verbal adalah suatu bentuk komunikasi untuk menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan yang dimiliki seseorang kepada orang lain secara lisan. Sedangkan bentuk komunikasi yang kedua adalah bentuk komunikasi yang tidak diucapkan secara lisan, tetapi komunikasi itu terjadi melalui tanda-tanda komunikatif, misalnya tulisan, gerak tubuh, rambu-rambu (misalnya rambu-rambu lalu lintas) dan sebagainya. Jenis komunikasi yang kedua tampaknya tidak banyak perbedaan antara satu tempat dan tempat yang lain atau antara satu negara dengan negara yang lain karena bentuk komunikasi yang kedua ini lebih banyak terjadi karena adanya konsensus atau bahkan proses ratifikasi antarnegara, misalnya komunikasi dalam bentuk rambu-rambu lalu-lintas. Merahnya lampu pengatur di perempatan jalan, berarti para pengguna jalan itu harus berhenti, lampu kuning berarti harus hati-hati, dan lampu hijau berarti boleh berjalan kembali. Masih banyak lagi komunikasi non-verbal lainnya yang banyak berlaku di berbagai negara. Tetapi hal itu tidak bisa dengan mudah terjadi dalam bentuk komunikasi verbal, karena bentuk komunikasi ini berkaitan erat dengan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi.
Siswa di sekolah dasar atau menengah dan bahkan mahasiswa di perguruan tinggi di Indonesia akan bisa belajar dengan baik jika bahasa yang digunakan oleh guru dan dosen untuk menjelaskan materi pelajaran di kelas adalah bahasa Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang digunakan sebagai alat komunikasi verbal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tetapi kenyataan akan berbeda jika bahasa yang digunakan untuk menjelaskan bahan ajar itu adalah bahasa Inggris, karena bahasa Inggris berposisi sebagai bahasa asing yang tidak banyak dikuasai sebagai alat komunikasi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Posisi bahasa Inggris sebagai bahasa asing bagi masyarakat Indonesia membuat bahasa ini tidak banyak dikuasai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tidak sedikit siswa maupun mahasiswa yang banyak mengalami kesulitan untuk bisa berkomunikasi dengan bahasa ini. Mereka menganggap bahasa ini sebagai bahasa yang sulit dipelajari karena beberapa alasan, misalnya bunyi verbal bahasa Inggris yang tampak sangat berbeda dengan tanda tulisannya. Hal ini berbeda dengan bunyi verbal bahasa Indonesia yang tidak banyak berbeda dengan tanda tulisannya. Alasan lain adalah penguasaan kosa kata bahasa Inggris oleh siswa yang sangat terbatas dan penguasaan grammar yang terbatas pula. Alasan lain yang sangat krusial adalah strategi yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan bahasa ini (desain pembelajaran dan metode mengajar) terkesan monoton dan kurang memberi tantangan bagi siswa untuk bisa menguasai bahasa Inggris ini dengan baik. Guru kurang memahami karakteristik siswa karena lemahnya kemampuan psikologis guru untuk mampu mengidentifikasi kebutuhan siswa dalam belajar bahasa.
Berkaitan dengan masalah terakhir dalam mengajarkan bahasa Inggris di sekolah, terutama bagi siswa di sekolah dasar dan menengah, guru diharuskan mempunyai kemampuan strategis psikologis untuk mengidentifikasi bagaimana dan kapan para siswa mampu belajar bahasa Inggris dengan baik. Kemampuan ini akan memudahkan bagi guru untuk menciptakan strategi, metode dan media pembelajaran yang tepat, sehingga siswa merasa tertarik dan tertantang untuk bisa menguasai bahasa Inggris ini dengan baik. Belajar dan mengajar bahasa asing jelas membutuhkan strategi yang berbeda dengan ketika siswa belajar dan guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu atau bahasa nasional. Guru perlu memahami aspek-aspek psikologis siswa agar mampu menciptkan proses pembelajaran yang lebih bermakna. Untuk bisa memahami aspek-aspek psikologis siswa dalam belajar bahasa, maka diperlukan pengetahuan guru yang memadai terhadap teori-teori psikologi yang relevan untuk mengajar bahasa. Pengetahuan guru terhadap teori-teori psikologi juga akan mengarahkan guru untuk mampu mengidentifikasi kapan dan dengan cara bagaimana siswa bisa belajar bahasa dengan baik. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing selain dilakukan berdasarkan pertimbangan filosofis-teoritis juga dilakukan berdasarkan pertimbangan psikologis.
B. Pertimbangan Filosofis-teoritis
Pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing, terutama di lingkungan pendidikan formal, dilakukan melalui dua pertimbangan sekaligus, yaitu pertimbangan filosofis-teoritis dan pertimbangan psikologis. Pertimbangan filosofis-teoritis dilaksanakan berdasarkan asumsi bahwa bahasa Inggris sebagai alat komunikasi harus diajarkan kepada pembelajar bahasa non-penutur asli (non-native speaker) sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku dimana bahasa Inggris itu digunakan oleh penutur asli (native speaker). Bahasa, seperti juga bahasa Inggris, adalah terikat dengan budaya masyarakat penutur asli bahasa itu. Siswa harus dididik dan dilatih untuk mengetahui dan menempuh tahap-tahap pembicaraan yang terstruktur sesuai dengan budaya penutur asli bahasa Inggris itu.
Bahasa sebagai alat komunikasi pada dasarnya banyak menggunakan tanda-tanda (signs) berupa bunyi dan huruf. Keduanya tentu tidak diucapkan atau ditulis secara acak tanpa aturan baku; ada aturan yang harus dipatuhi agar tanda tersebut dimengerti orang lain. Aturan tersebut adalah code yang dalam linguistik disebut tata bahasa atau grammar. Bunyi dan tulisan yang digunakan menurut aturan yang berlaku di masyarakat dalam konteks budaya yang sama. Dengan demikian, bahasa disebut juga sebagai sebuah sistem semiotika sosial (Halliday, 1978). Ini adalah salah satu cara dalam memandang bahasa, yaitu bahasa sebagai suatu sumber yang digunakan oleh masyarakat sebagai sebagai alat interaksi sosial. Sekarang kita lihat bagaimana bahasa bisa digunakan sedemikian rupa sehingga manusia normal tidak dapat hidup bermasyarakat tanpa bahasa.
Pendekatan filosofis-teoritis menempatkan bahasa sebagai seperangkat aturan (set of rules) yang memang sudah ada dalam otak manusia (Chomsky, 1965). Ketika seperangkat aturan yang dibawa sejak lahir tersebut dihadapkan pada data atau bahasa yang didengar disekitarnya, maka ‘perangkat’ yang ada di otak akan menyesuaikan atau ‘dicetak’ sesuai dengan bahasa tersebut. Ini adalah cara memandang bahasa dari sudut psikologi. Yang perlu dicatat adalah bahwa kedua cara pandang, yakni dari segi semiotika sosial dan psikologi tidak bertentangan, bahkan keduanya saling mengisi.
C. Pertimbangan Psikologis
Pertimbangan psikologis berangkat dari asumsi bahwa bahasa harus diajarkan kepada para siswa sesuai dengan metode dan strategi tertentu, sehingga belajar bahasa menjadi suatu aktivitas yang menyenangkan dan menarik bagi siswa. Strategi untuk menciptakan proses pembelajaran bahasa yang menarik dan menyenangkan bagi siswa bisa dilaksanakan dengan optimal jika guru banyak memahami aspek-aspek psikologis siswa dalam belajar bahasa.
Penguasaan teori psikologi yang baik oleh guru sangat membantu untuk bisa memahami aspek-aspek psikologis siswa dalam belajar. Peran teori psikologi dalam pembelajaran bahasa ini lebih banyak dipelajari dalam bidang psikolinguistik. Cameron (dalam Helena, 2004) telah banyak mengulas teori psikologi dari tiga ahli terkemuka , yaitu Piaget, Vygotsky dan Bruner yang menjadi acuan dalam pendidikan bahasa masa kini. Teori psikologi dari tiga ahli ini ternyata mempunyai relevansi dan kontribusi yang sangat baik dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Secara singkat relevansi dan kontribusi ketiga teori psikologi ini dalam pembelajaran bahasa akan dibahas pada bagian berikut tulisan ini.
1. Teori Psikologi Piaget
Piaget dalam teorinya memandang anak sebagai individu (pembelajar) yang aktif. Perhatian utama Piaget tertuju kepada bagaimana anak-anak dapat mengambil peran dalam lingkungannya dan bagaimana lingkungan sekitar berpengaruh pada perkembangan mentalnya. Menurut Piaget (dalam Helena, 2004), anak senantiasa berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya di lingkungan itu. Melalui kegiatan yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah itulah pembelajaran terjadi. Piaget tidak memberikan penekanan terhadap pentingnya bahasa dalam perkembangan kognoitif anak. Bagi Piaget bukan perkembangan bahasa pertama yang paling fundamental dalam perkembangan kognitif melainkan aktivitas atau action.
Menurut psikologi Piaget, dua macam perkembangan dapat terjadi sebagai hasil dari beraktivitas, yaitu asimilasi dan akomodasi. Suatu perkembangan disebut asimilasi jika aktivitas terjadi tanpa menghasilkan perubahan pada anak, sedangkan akomodasi terjadi jika anak menyesuaikan diri terhadap hal-hal yang ada di lingkungannya. Misalnya menurut contoh Cameron (2001), ketika anak sudah bisa menggunakan sendok dan kemudian diberi garpu dan dia menggunakan garpu (alat makan baru) sebagaimana ia menggunakan sendok yang berfungsi sebagai alat makan yang dikenal sebelumnya, berarti ia telah melakukan asimilasi. Akan tetapi, ketika ia sadar bahwa dengan garpu ia memiliki kesempatan untuk makan dengan cara menusukkan garpu ke makanan dan bukan cuma menyendoknya. Dengan demikian, anak itu telah melakukan akomodasi.
Pada mulanya asimilasi dan akomodasi merupakan proses adaptasi perilaku yang kemudian menjadi proses berpikir. Akomodasi merupakan konsep penting yang kemudian dipertimbangkan dalam dunia pembelajaran bahasa yang dikenal dengan sebutan restructuring. Istilah ini mengacu kepada reorganisasi representasi mental dalam sebuah bahasa (McLaughlin, 1992). Maksudnya, anak telah memiliki pola-pola bahasa dalam pikirannya, tetapi ketika dihadapkan kepada fakta bahasa (pola) baru dan fakta baru tersebut memiliki potensi untuk berkomunikasi dengan cara berbeda, maka anak melakukan penyesuaian dengan pola-pola baru.
Menurut pandangan Piaget, pikiran anak berkembang perlahan-lahan seiring dengan pertumbuhan pengetahuan dan keterampilan intelektualnya hingga sampai ke tahap berpikir logis dan formal. Akan tetapi, pertumbuhan ditandai dengan perubahan-perubahan mendasar tertentu yang menyebabkan anak mampu melampaui serangkaian tahapan yang dimaksud. Pada setiap tahap, anak mampu berpikir memikirkan hal-hal tertentu, tetapi tidak atau belum mampu memikirkan hal-hal yang lain. Jadi, menurut Piaget, berpikir melibatkan hal-hal yang abstrak dan menggunakan jalur logika belum mampu dilakukan anak sebelum ia berusia 11 tahun atau lebih.
Pendapat ini banyak dikritik karena ketika diakhir tahun 70an dan di awal tahun 80an diterapkan kebijakan bahwa anak-anak harus terlebih dahulu melakukan srangkaian kegiatan yang menyiapkan mereka untuk menulis kalimat yang memakan waktu lama, anak akan kehilangan kesempatan untuk mengalami proses yang holistik atau menyeluruh. Proses holistik tersebut ialah proses yang menyadarkan anak bahwa tujuan menulis adalah komunikasi dan bukan berlatih menulis bentuk huruf semata. Aspek komunikasi inilah yang merupakan aspek sosial dari kegiatan menulis, dan aspek ini yang terabaikan oleh Piaget. Piaget lebih memperhatikan anak dalam dunianya sendiri, dan bukan anak yang berkomunikasi dengan orang dewasa atau dengan anak lain.
Ada pendapat Piaget yang penting, yaitu anak sebagai pembelajar dan pemikir yang aktif, yang membangun pengetahuannya dengan ‘bergulat’ dengan benda-benda atau gagasan-gagasan. Jika kita mengambil gagasan Piaget bahwa anak beradaptasi dengan lingkungannya, kita dapat melihat bagaimana lingkungan dapat menjadi setting untuk perkembangan. Lingkungan menawarkan berbagai kesempatan kepada anak untuk bertindak. Oleh karenanya, lingkungan kelas, misalnya, dapat menjadi ajang kegiatan dan kreativitas yang menyebabkan pembelajaran terjadi. Berdasarkan pendapat ini, pembelajaran bahasapun dapat terjadi jika lingkungan kelas maupun sekitarnya dimanfaatkan sedemikian rupa agar menawarkan berbagai kesempatan bagi keterlibatan dan kreativitas siswa.
2. Teori Psikologi Vygotsky
Pakar psikologi lain, Vygotsky (1962, 1978), memberikan pandangan berbeda dengan Piaget terutama pandangannya tentang pentingnya faktor sosial dalam perkembangan anak. Vygotsky memandang pentingnya bahasa dan orang lain dalam dunia anak-anak. Meskipun Vygotsky dikenal sebagai tokoh yang memfokuskan kepada perkembangan sosial yang disebut sebagai sosiokultural, dia tidak mengabaikan individu atau perkembangan kognitif individu. perkembangan bahasa pertama anak tahun kedua di dalam hidupnya dipercaya sebagai pendorong terjadinya pergeseran dalam perkembangan kognitifnya. Bahasa memberi anak sebuah alat baru sehingga memberi kesempatan baru kepada anak untuk melakukan berbagai hal, untuk menata informasi dengan menggunakan simbol-simbol. Anak-anak sering terlihat berbicara sendiri dan mengatur dirinya sendiri ketika ia berbuat sesuatu atau bermain. Ini disebut sebagai private speech. Ketika anak menjadi semakin besar, bicaranya semakin lirih, dan mulai membedakan mana kegiatan bicara yang ditujukan ke orang lain dan mana yang ke dirinya sendiri.
Yang mendasari teori Vygtsky adalah pengamatan bahwa perkembangan dan pembelajaran terjadi di dalam konteks sosial, yakni di dunia yang penuh dengan orang yang berinteraksi dengan anak sejak anak itu lahir. Ini berbeda dengan Piaget yang memandang anak sebagai pembelajar yang aktif di dunia yang penuh orang. Orang-orang inilah yang sangat berperan dalam membantu anak belajar dengan menunjukkan benda-benda, dengan berbicara sambil bermain, dengan membacakan ceritera, dengan mengajukan pertanyaan dan sebagainya. Dengan kata lain, orang dewasa menjadi perantara bagi anak dan dunia sekitarnya.
Kemampuan belajar lewat instruksi dan perantara adalah ciri inteligensi manusia. Dengan pertolongan orang dewasa, anak dapat melakukan dan memahami lebih banyak hal dibandingkan dengan jika anak hanya belajar sendiri. Konsep inilah yang disebut Vygotsky sebagai Zone of Proximal Development (ZPD). ZPD memberi makna baru terhadap ‘kecerdasan’. Kecerdasan tidak diukur dari apa yang dapat dilakukan anak dengan bantuan yang semestinya. Belajar melakukan sesuatu dan belajar berpikir terbantu dengan berinteraksi dengan orang dewasa.
Menurut Vygotsky, pertama-tama anak melakukan segala sesuatu dalam konteks sosial dengan orang lain dan bahasa membantu proses ini dalam banyak hal. Lambat laun, anak semakin menjauhkan diri dari ketergantungannya kepada orang dewasa dan menuju kemandirian bertindak dan berpikir. Pergeseran dari berpikir dan berbicara nyaring sambil melakukan sesuatu ke tahap berpikir dalam hati tanpa suara disebut internalisasi. Menurut Wretsch (dalam Helena, 2004) internalisasi bagi Vygotsky bukanya transfer, melainkan sebuah transformasi. Maksudnya, mampu berpikir tentang sesuatu yang secara kualitatif berbeda dengan mampu berbuat sesuatu. Dalam proses internalisasi, kegiatan interpersonal seperti bercakap-cakap atau berkegiatan bersama, kemudian menjadi interpersonal, yaitu kegiatan mental yang dilakukan oleh seorang individu.
Banyak gagasan Vygotsky yang dapat membantu dalam membangun kerangka berpikir untuk mengajar bahasa asing bagi anak-anak. Untuk membuat keputusan apa yang bisa dilakukan guru agar mendukung pembelajaran kita dapat menggunakan gagasan bahwa orang dewasa menjadi perantara. “Lalu … apalagi yang dapat dipelajari anak-anak?”. Ini dapat berdampak pada bagaimana menyiapkan pelajaran atau bagaimana guru harus berbicara dengan siswa setiap saat. ZPD dapat menjadi pemandu dalam memilih dan menyusun pengalaman pembelajaran bagi siswa untuk membantu mereka maju dari tahap interpersonal ke intrapersonal. Kita membantu siswa agar internalisasi terjadi sehingga bahasa baru yang diajarkan menjadi bagian dari pengetahuan dan keterampilan berbahasa anak.
3. Teori Psikologi Bruner
Menurut Bruner (dalam Helena, 2004) bahasa adalah alat yang paling penting bagi pertumbuhan kognitif anak. Bruner meneliti bagaimana orang dewasa menggunakan bahasa untuk menjembatani dunia sekitar dengan anak-anak dan membantu mereka memecahkan masalah. Pembicaraan atau “omongan” yang mendukung anak dalam melakukan kegiatan disebut scaffolding talk. Scaffolding talk atau omongan guru yang digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan di kelas, dapat berlangsung mulai dari memeriksa presensi sampai membubarkan kelas. Ketika scaffolding talk itu terjadi dalam pembelajaran bahasa Inggris, maka semua itu juga harus dilakukan dalam bahasa Inggris pula. Dalam sebuah ekxperimen yang dilakukan terhadap ibu-ibu dan anak-anak di Amerika, orang tua yang melakukan scaffolding talk secara efektif biasa melakukan hal-hal sebagai berikut:
* Mereka membuat anak tertarik kepada tugas-tugas yang diberikan;
* Mereka membuat tugas menjadi lebih sederhana, seringkali dengan memecah-mecah tugas menjadi langkah-langkah yang lebih kecil;
* Mereka mampu mengarahkan anak kepada penyelesaian tugas dengan mengingatkan anak tentang tujuan utamanya;
* Mereka menunjukkan apa-apa yang penting untuk dikerjakan, atau menunjukkan bagaimana melakukan bagian-bagian dari tugas itu;
* Mereka menunjukkan bagaimana tugas itu dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Wood (1998) menyarankan bahwa guru dapat mendukung (scaffold) pembelajaran (bahasa Inggris sebagai bahasa asing) kepada anak dengan berbagai cara sebagai berikut:
Guru dapat membantu siswa ………..
Dengan cara ………
Menunjukkan apa yang relevan
- memberi saran
- memuji yang perlu dipuji
- memfokuskan kegiatan
Menggunakan strategi yang berguna
- mendorong adanya latihan
- membuat aturan yang jelas dan
Eksplisit
Mengingat seluruh tugas dan tujuannya
- mengingatkan
- memberi model
- memberi kegiatan menyeluruh
dan bagian-bagian kegiatannya.
Setiap strategi ini dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa. Prinsip “membantu siswa untuk memperhatikan hal-hal yang penting” dapat selalu diterapkan dalam berbagai kesempatan dan ini mendukung pendapat Schmidt (dalam Helena, 2004) mengenai apa yang disebut dengan noticing.
Ketika guru mengarahkan perhatian anak agar selalu mengingat tugas utamanya, sebenarnya guru membantu siswa melakukan sesuatu yang belum dapat mereka lakukan sendiri. Ketika anak sedang asyik memperhatikan bagian-bagian dari tugas atau aspek-aspek bahasa, ada kemungkinan mereka lupa akan tujuan komunikatif bahasa karena terbatasnya kemampuan mereka dalam hal memperhatikan. Tugas guru adalah menjaga agar perhatian anak kepada hal-hal yang penting tidak “terbelokkan” ke hal atau kegiatan yang dimaksudkan sebagai penunjang.
Gagasan Bruner yang lain yang sangat relevan dan berguna bagi pembelajaran bahasa adalah mengenai format and routine. Kedua hal ini mengacu pada kebiasaan-kebiasaan yang memungkinkan kegiatan scaffolding terjadi. Scaffolding adalah aktivitas guru, baik secara fisik maupun verbal, yang dilakukan secara rutin sehingga anak menjadi terbiasa dengan kegiatan atau ungkapan-ungkapan guru waktu pelajaran berlangsung. Jadi, ketika anak terbiasa dengan pola kegiatan atau bahasa guru, mereka merasa “nyaman” dan percaya diri dan mereka menjadi siap untuk menerima hal-hal yang baru. Caontoh yang paling menonjol yang diberikan Bruner adalah kebiasaan membaca ceritera atau story reading yang dilakukan orang tua di Amerika kepada anak-anaknya. Tentu saja, ketika anak bertambah usia, buku cerita yang digunakan juga berubah, tetapi format kegiatannya masih serupa. Dalam kegiatan ini, orang dewasalah yang banyak bicara baik ketika membaca ceritera (yang sering diberi ilustrasi gambar-gambar) maupun sambil memberi pertanyaam atau instruksi kepada anak-anak, seperti “Coba lihat ini… hidungnya besar, kan?”. Dengan cara ini keterlibatan anak dalam berbicara akan meningkat pula. Jika orang tua atau guru banyak melakukan pembacaan ceritera, maka guru akan banyak melakukan pengulangan ungkapan-ungkapan yang semakin lama semakin canggih yang dipahami oleh siswa. Kegiatan membaca certera ini ditunjang oleh orang dewasa agar anak dapat berpartisipasi sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Dengan kata lain penggunaan bahasa yang dilakukan secara rutin menjadi mudah ditebak; anak mudah menebak apa yang dikatakan guru dan anak akan dapat lebih mudah merespon perkataan guru. Di sini terdapat “ruang” tempat anak dapat mempraktikkan bahasanya sendiri. “Ruang untuk tumbuh” atau space of growth ini menjadi zone of proximal development (ZPD) sebagaimana ada dalam teori Vygotsky. Menurut Bruner, kegiatan rutin dan penyesuaian-penyesuain inilah yang menyediakan tempat bagi perkembangan bahasa dan kognitif anak.
Jika gagasan ini diterapkan di dalam kelas, dapat dilihat bagaimana kegiatan rutin yang terjadi di setiap hari dapat menjadi ajang terbentuknya perkembangan bahasa. Misalnya saja ketika guru melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan pengalaman pembelajaran dan memerlukan partisipasi siswa untuk membagi gunting dan sebagainya, guru sebaiknya menggunakan bahasa Inggris sperti, “John, please give out the scissors. Martha, give out the paper.” Kepada siswa yang kurang pandai. Kepada anak yang lebih pandai, instruksinya bisa lebih rumit, misalnya “Sam, please ask everyday if they want white paper or black paper”. Jika ini sering dilakukan maka siswa akan semakin memahami instruksi-instruksi lama dan belajar memahami instruksi baru melalui konteks. Meningkatnya kesulitan instruksi inilah yang memberikan ruang untuk pertumbuhan. Ketika bahasa yang digunakan guru berada dalam lingkup ZPD anak, ia dapat memahaminya sehingga proses internalisasi dapat berlangsung. Kesimpulannya, hal-hal yang rutin termasuk ungkapan-ungkapan, seperti instruksi, membuka kesempatan bagi berkembangnya keterampilan bahasa.
4. Implikasi Praktis
Teori psikologi yang diuraikan di atas berimplikasi atau berdampak langsung terhadap apa yang selayaknya dilakukan oleh guru dalam mengajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing di kelas.
Dari teori Piaget dapat disimpulkan bahwa pembelajaran memang terjadi bertahap, tetapi ini bukan berarti bahwa pembelajaran yang holistik tidak dapat terjadi jika tahap-tahap pembelajaran tersebut tidak dilalui secara sistematis. Dengan kata lain, dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar guru bisa saja menyusun materi dari yang paling mudah hingga yang paling sulit menurut versi atau pandangan guru. Akan tetapi, dalam komunikasi nyata seringkali apa yang dianggap sulit secara teoritis justru banyak digunakan dan anak dapat memperolehnya dengan mudah karena materi tersebut sering didengarnya lewat televisi. Frasa-frasa yang secara gramatikal termasuk “canggih” seperti fried chicken, video rental, sea food, American Idol, MTV Hit Lists, MTV Cribs Cyber Cafe, shopping mall, supermarket, hand-and-body lotion, thinner, eye shadow, body suit, laundry dan sebagainya menjadi mudah bagi siswa dan mereka dapat menggunakkanya sesuai konteks. Kemampuan ini menunjukkan bahwa mereka merasa nyaman menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Inggris bukan sebagai hasil menganalisis dan memahami struktur frasanya, melainkan karena kata-kata tersebut sudah menjadi bagian rutin masyarakat. Di jaman televisi yang banyak menampilkan bahasa Inggris, anak-anak remaja bisa dengan mudah mempelajari ungkapan-ungkapan seperti It’s cool, isn’t it?, Come on, guys…, Stay tuned! Check it out! dan sebagainya.
Di sisi lain bisa dilihat juga bahwa pola kalimat simple present tense termasuk pola kalimat yang paling sederhana dan mudah dihapal. Akan tetapi, penggunaan simple present tense dalam komunikasi baik lisan maupun tulis sulit dikatakan mudah atau sederhana. Buku-buku ajar yang beredar di pasaran banyak mengandung kesalahan penggunaan pola ini; pola kalimatnya benar, tetapi konteks penggunaannya tidak sesuai. Adalah menjadi tugas guru untuk memanfaatkan potensi anak sebagai pemikir untuk tidak hanya menghafal rumus melainkan menggunakan rumus dalam konteks yang tepat lewat berbagai kegiatan pembiasaan.
Teori Vygotsky tentang Zone of Proximal Development menekankan betapa perang guru sangat dibutuhkan dalam rangka terjadinya pembelajaran yang optimal. Dikatakan bahwa anak atau siswa memiliki kapasitas atau potensi untuk belajar sendiri (seperti teori Piaget), tetapi belajar yang optimal terjadi karena anak mendapat pertolongan dari orang dewasa yang ada di sekitarnya. Pembelajaran terjadi karena adanya interaksi dengan lingkungan sosialnya. Penelitian Halliday mengenai bagaimana anak kecil ber(tukar) makna (learning how to mean) memberikan ilustrasi yang bernilai terhadap teori Vygotsky ini.
Bahasan ini menunjukkan betapa pentingnya bagi guru untuk merencanakan kegiatan belajar mengajar yang seksama. Rencana tersebut secara eksplisit perlu mencantumkan kegiatan apa yang akan dilakukan atau pengalaman pembelajaran apa yang akan diberikan dan untuk tujuan apa. Rencana pengajaran tersebut diharapkan secara serius mempertimbangkan jenis-jenis interaksi di dalam kelas yang menjadikan kelas sebagai ZPD. Implikasinya ialah bahwa guru memang masih perlu menjelaskan pola kalimat, melakukan drill jika perlu melatih ucapan, tetapi sebagian besar waktu sebaiknya dimanfaatkan semaksimal mungkin agar terjadi macam interaksi.
Teori Burner juga mendukung gagasan Vygotsky. Gagasan Bruner tentang scaffolding atau memberikan kegiatan-kegiatan pendukung dalam upaya terjadinya internalisasi sangat relevan dengan pendidikan bahasa. Di bidang ini, kegiatan scaffolding secara verbal merupakan keniscayaan jika pendidikan bahasa dimaksudkan sebagai pendidikan komunikasi. Sayangnya, justru scaffolding talk atau “omongan” guru yang diharapkan menyertai seluruh proses pembelajaran bahasa Inggris sering tidak muncul di dalam kelas. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa guru berbahasa Inggris hanya kalau sedang membaca bacaan, pertanyaan yang ada di buku dan instruksi-instruksi tertulis. Kegiatan lain diselenggarakan dalam bahasa Indonesia. Misalnya, memeriksa kehadiran siswa, mengatur atau mengelola kelas, memberi komentar-komentar; semuanya dilakukan dalam bahasa Indonesia. Padahal, justru ungkapan-ungkapan bahasa Inggris yang “bukan pelajaran” inilah yang potensial untuk membangun ZPD, menanamkan kebiasaan, dan memungkinkan terjadinya internalisasi.
Implikasinya, jika guru berharap agar siswa dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan baik, maka guru harus bebahasa Inggris di kelas sebab scaffolding talk atau “omongan yang bukan pelajaran” inilah yang bisa menciptakan pembiasaan untuk berkomunikasi berbahasa Inggris bagi siswa. Kelemahan umum guru-guru bahasa Inggris di Indonesia dalam hal melakukan scaffolding talk perlu disadari dengan benar, karena kenyataanya guru-guru yang mengajar bahasa Inggris tetapi di dalam kelas justru lebih banyak berbicara dalam bahasa Indonesia. Keaadaan ini memang terdengar ironis. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa kurikulum harus menyesuaikan dengan keadaan guru. Dengan kurikulum ini guru didorong untuk meningkatkan dirinya karena belajar bahasa berlangsung seumur hidup.
Implikasi lain, terutama teori Vygotsky, tampaknya terjadi pula pada pandangan para pengikut konstruktivisme dalam pembelajaran (bahasa). Seperti telah disinggung di depan bahwa menurut teori Vygotsky, anak-anak dibesarkan di dalam suatu setting kelompok sosial. Vygotsky memandang pentingnya kultur dan pentingnya konteks sosial bagi perkembangan kognitif. Menurut Vygotsky, atau dengan cara pandang konstruktivisme ini, anak-anak atau siswa dengan pertolongan orang dewasa dapat menguasai konsep-konsep atau gagasan-gagasan yang mereka tidak bisa pahami sendiri. Annie Susany (2002) menyatakan bahwa dalam visi konstruktivisme terdapat empat pandangan utama yang diyakini oleh para pendukungnya, yaitu:
a) Belajar dan berkembang adalah bersifat sosial, sehingga belajar merupakan suatu kegiatan kolaboratif;
b) “The Zone of Proximal Development” dapat bertindak sebagai suatu pegangan untuk rencana kurikuler dan mata pelajaran;
c) Pengajaran di sekolah seyogyanya terjadi dalam suatu konteks yang bermakna (meaningful context) dan tidak bisa dipisahkan dari pengajaran serta pengetahuan yang dikembangkan oleh para siswa dan “dunia nyata”;
d) Pengalaman-pengalaman di luar sekolah hendaknya dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman para siswa (anak-anak) di dalam lingkungan sekolah.
ZPD dalam hal ini merupakan suatu gagasan yang memandang bahwa potensi perkembangan kognitif seseorang terbatas pada suatu waktu tertentu saja. ZPD ini bisa dikembangkan secara terus menerus dan memerlukan interaksi sosial. ZPD menurut Vygotsky sebagai jarak antara tingkat perkembangan dengan tingkat potensi perkembangan yang dimiliki seseorang. Berdasarkan pada konsep ini, seorang guru bisa menawarkan suatu tujuan yang mungkin sulit dicapai oleh para siswa atau anak-anak dan kemudian mereka ini berusaha untuk mencapainya sendiri atau dengan bantuan anak-anak lain yang lebih dewasa. Vigotsky memandang bermain sebagai faktor atau sarana yang sangat penting dalam belajar.
Berdasarkan prinsisp-prinsip teori Vygotsky seperti telah dibicarakan di atas, terdapat sejumlah kegiatan dalam kelas bahasa (termasuk kelas bahasa Inggris sebagai bahasa asing) yang bisa dijadikan tempat atau kesempatan untuk menerapkan gagasan konstruktivisme ini. Beberapa contoh kegiatan itu misalnya:
a) Kegiatan workshop membaca dan menulis
Di dalam workshop, siswa atau anak-anak yang kurang menguasai pokok bahasan akan lebih dahulu mendengarkan dan belajar dari mereka yang lebih mampu. Setelah mendengarkan dan mengikuti penjelasan tentang subject matter, maka siswa yang belum mampu itu akan mencoba melakukan sendiri atau dibantu dengan yang lebih mampu. Secara bertahap akhirnya mereka akan bisa melakukannya sendiri.
b) Kegiatan belajar empat keterampilan bahasa
Dalam belajar atau proses pengajaran bahasa, keempat kemampuan dasar; listening, speaking, reading, dan writing, dilakukan di dalam kelas. Siswa-siswa yang kurang menguasai bisa disatukan dengan yang lebih menguasai materi pelajaran bahasa. Dengan demikian terjadi semacam proses belajar dari teman secara tidak langsung.
c) Kegiatan belajar berdasarkan situasi
Situasi tidak selalu cocok dengan kebutuhan belajar. Bagaimana cara mengatasinya? Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah melalui pendekatan dan kegiatan konstruktivistik, misalnya hal ini bisa dilakukan di daerah-daerah terpencil yang kekurangan guru. Siswa yang pandai diminta membantu guru untuk mengajarkan pengetahuan yang telah dimiliki (dikuasai) kepada siswa lain yang belum menguasainya.
d) Kegiatan belajar kolaboratif
Belajar kolaboratif bisa terjadi di dalam kelas (suasana intra kurikuler) maupun ekstra kurikuler. Bentuk belajar kolaboratif ini bisa dilakukan dalam kelas writing bagi siswa SMP, SMA atau bahkan mahasiswa di PT. Siswa atau mahasiswa diminta untuk mencari dua atau tiga “kolaborator” yang akan saling mengoreksi pekerjaan masing-masing untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan mekanik penulisan (mechanic writing), kesalahan-kesalahan kecil, dan tidak dalam content (yang merupakan wewenang guru atau dosen untuk melakukannya).
e) Kegiatan instruksi yang memberikan bantuan (anchored instruction).
Instruksi bisa berbentuk task-based yang dilakukan melalui sistem konsultasi dengan guru. Dengan demikian, suatu tugas tidak hanya dimulai dari suatu instruksi yang kaku dan diserahkan sepenuhnya kepada siswa, akan tetapi tugas yang diberikan harus memberikan peluang bagi siswa untuk berdiskusi atau berkonsultasi dengan gurunya ketika mereka itu sedang menyelesaikan tugasnya. Instruksi tidak lagi murni instruksi melainkan ada unsur kolaboratif antara siswa dengan guru.
f) Kegiatan games, simulasi, instruksi kasus atau problem solving.
Dalam kelas bahasa kegiatan ini sangat tepat diterapkan dalam kelas speaking. Kegiatan ini unsur kolaborasi dan saling bantu masih tetap ditonjolkan di antara para siswa.
Pada kenyataanya pendekatan konstruktivistik ini tidak hanya bisa diterapkan di kelas-kelas bahasa, tetapi dapat pula dilakukan di kelas-kelas MIPA, kelas komputer, akuntansi dan lain-lain yang menekankan kegiatan kolaboratif antara siswa dengan siswa atau siswa dengan guru.
D. Penutup
Teori psikologi mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu guru dalam mendesain proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai asing. Pemahaman guru terhadap berbagai teori psikologi sangat diperlukan dalam rangka mendesain proses pembelajaran, sehingga mereka mampu menciptakan proses pembelajaran yang bermakna (menarik, menyenangkan dan menimbulkan motivasi) bagi siswa. Ketika hal ini bisa diwujudkan, maka tujuan pembelajaran yang sudah ditentukan sebelumnya akan lebih mudah untuk diwujudkan pula.
Dapat disimpulkan pula bahwa di dalam pendekatan konstruktivistik terdapat beberapa pokok pikiran yang menjadikannya berbeda dengan pendekatan pedagogik lainnya. Pendekatan konstruktivistik ini dapat dijabarkan dalam beberapa hal, yaitu memandang kultur sebagai sumber pengajaran; memandang pihak lain sebagai stake-holders dalam pengembangan pengetahuan; memandang siswa sebagai seseorang yang mempunyai potensi yang mesti dikembangkan; dan menempatkan ZPD, seperti dalam teori Vygotsky, sebagai komponen vital dalam proses belajar. Dengan mengembangluaskan ZPD, siswa pada tinkat pendidikan apapun akan bisa mengembangkan dirinya secara terus menerus melalui lingkungannya.
DAFTAR REFERENSI
Annie Susiany S. 2002. Bahasa Inggris. Materi Penataran Tertulis Pengayaan Guru SMU. Bandung: PPPG Tertulis.
Bruner, J. 1990. Acts of Meaning. Cambridge: Havard University Press.
Cameron. 2001. Teaching Languages to Young Learners. UK: Cambridge University Press.
Chomsky, N. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge: MIT Press.
Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic. London: Edward Arnold.
Helena I.R. Agustien. 2004. Landasan Filosofis Teoritis Pendidikan Bahasa Inggris. Jakarta: Dirjend Dikdasmen Depdiknas.
*) Sumardi, M.Hum
Guru bahasa Inggris di SMA Negeri 1 Sragen, Jateng dan Mahasiswa Program Doktor PEP Universitas Negeri Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar