Pendidikan Lampost : Sabtu, 26 Maret 2011
JATIAGUNG�Wajah teduh yang selalu dilumuri senyum membuat Sarjiyo yang berperawakan tinggi dan berukit hitam, tampak ramah. Sosok guru yang selalu mengayomi dan sayang kepada anak didiknya terpancar dari wajah sepuhnya itu.
Di sela-sela rapat koordinasi kepala sekolah se-Kecamatan Jatiagung di SDN Margolestari, Jatiagung, Lampung Selatan, awal pekan lalu, Sarjiyo mengeluhkan sulitnya mendidik anak-anak masa kini.
"Dulu di era 70-an hingga 90-an, anak-anak masih sopan, santun dan menurut kepada guru. Apa pun yang kami sampaikan selalu dituruti dengan penuh kesadaran. Sekarang kondisi itu sudah jauh berbeda," kata Sarjiyo yang saat ditemui mengenakan baju seragam kepanduan lengkap.
Pria yang sudah mengajar sejak 1975 itu mengaku prihatin dengan kondisi ini. Sebab, hal itu menunjukkan lemahnya pendidikan karakter yang ditanamkan guru dan orang tua di rumah. Sebab, anak hanya meniru apa yang dilakukan orang tua, guru dan lingkungan sekitar.
Menurut dia, arus informasi yang sedemikian deras dan mudahnya akses informasi dari berbagai belahan dunia tanpa ada filter yang kuat bisa memengaruhi perilaku anak.
"Selain itu peran guru sebagai sosok yang bisa digugu dan ditiru (dianut dan dicontoh) juga makin berkurang," kata dia menganalisis penyebab lemahnya karakter anak didik.
Sarjiyo mengatakan dulu guru adalah lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang dibekali ilmu jiwa. Sehingga, sedikit banyak mereka menguasai psikologi anak dan diharapkan mampu mendidik anak-anak yang memang sangat butuh perhatian dan kasih sayang.
"Dahulu saat sekolah di SPG sebelum mengajar kami para calon guru juga diwajibkan membina anak-anak di sekolah baik itu melalui kegiatan Pramuka maupun praktek mengajar, sehingga kita dekat dan sayang dengan anak didik," kata dia.
Saat ini saat para lulusan SMA dipaksa menjadi guru tanpa bekal yang cukup. Hal itu menyebabkan mereka tidak mampu mengajar dengan baik. Sebab, umumnya lulusan SMA tidak dibekali ilmu jiwa sehingga mereka kurang mampu menyelami dan memahami karakter anak didik terutama siswa SD yang masih kanak-kanak. Apalagi dengan tuntutan UU Guru dan Dosen yang mengharuskan guru adalah sarjana. Akibatnya, sebagian besar guru hanya memiliki kemampuan akademik tinggi tanpa memiliki kemampuan emosional dan spiritual tinggi untuk mengajar.
"Padahal mengajar adalah profesi mulia yang harus ditekuni sepenuh jiwa dan raga. Hal itu agar semua ucapan dan tindakan kita bisa berjalan seiring sejalan dan menjadi contoh atau model yang baik bagi bagi anak didik," kata dia.
Oleh sebab itu, Sarjiyo sepakat, pendidikan karakter harus dimulai dari keteladanan guru, orang tua, dan lingkungan. Semua pihak harus bahu-membahu memberi contoh dan selalu mengingatkan anak-anak agar berperilaku baik. Sehingga hal itu akan terbawa pada keseharian mereka dan tertanam dalam sanubari. Seperti pepatah mengatakan �guru kencing berdiri, murid kencing berlari�.
"Guru memberi contoh baik pun, kadang ada anak yang tidak baik, apalagi jika ada guru yang memberi contoh kurang baik," kata dia.
SRI WAHYUNI/S-1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar