Pendidikan Lampost : Rabu, 30 Maret 2011
Dian Anggraini *
Duduk berlama-lama di depan televisi sebenarnya bukanlah kegemaran saya. Akan tetapi, belakangan ini, nyanggong di depan layar kaca terpaksa saya lakukan. Bukan karena kepincut sinetron atau gosip selebritas, melainkan saya terusik iklan salah satu produk pasta gigi.
Seorang ibu muda dengan lugas bercerita tentang gigi sensitifnya. Kegemarannya makan es krim terganggu sehingga ia terpaksa menggunakan lidahnya untuk menggigit. Namun, masalah itu teratasi karena ia menggunakan pasta gigi “x”. Kini, Ia sudah tidak merasa ngilu lagi.
Sekilas memang tidak ada yang salah dengan gigi ataupun produk yang ditawarkan. Hanya saja, saya terganggu dengan diksi yang dipergunakan ibu itu. "Jadi, saya pakai lidah saya untuk menggigit es krim," ujarnya. Beberapa kali saya berusaha menerjemahkan maksudnya, lidah untuk menggigit, tapi tetap saja imajinasi saya tak sampai.
Penasaran, saya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam kamus tersebut dijelaskan lidah adalah bagian tubuh dalam mulut yang dapat bergerak-gerak dengan mudah, gunanya untuk menjilat, mengecap, dan berkata-kata, sedangkan menggigit berarti aktivitas menjepit (mencekam dsb.) dengan gigi. Kalaupun ada, yang tertulis hanya idiom gigit lidah yang berarti merasa malu dengan cemoohan atau kecaman orang lain.
Saya lalu beralih ke kata gigi. Gigi bermakna tulang keras dan kecil-kecil berwarna putih yang tumbuh tersusun berakar di dalam gusi dan kegunaanya untuk mengunyah atau menggigit. Selanjutnya hanya ada idiom gigi; gigi dengan lidah (gigi dengan lidah adakalanya bergigit juga) yang artinya suami istri (sanak saudara, sahabat karib, dsb.) adakalanya bertengkar juga.
Sejauh ini, saya sama sekali tidak menemukan fungsi lidah sebagai pengganti fungsi gigi. Karena itu, saya lebih setuju jika Yvete, nama ibu muda tersebut, mengucapkan: "Jadi saya pakai lidah saya untuk menikmati es krim".
Tidak sampai di sini saja. Pada akhir curhatnya, eksekutif perusahaan ini lagi-lagi mengungkapkan kalimat yang kembali membuat saya mengernyitkan dahi. "Menyikat gigi dengan 'x' dua kali sehari, sekarang saya tidak terasa ngilu lagi". Saya rasa kalimat itu rancu.
Kerancuan muncul karena kalimat tersebut tidak paralel. Pada anak kalimat ada predikat menyikat dan pada induk kalimat predikatnya terasa. Jika taat asas paralelisme, lebih baik Yvete mengatakan "Menyikat gigi dengan 'x' dua kali sehari, sekarang saya tidak merasa ngilu lagi".
Maman S. Mahayana dalam Bahasa Indonesia Kreatif menyatakan banyak produk barang atau jasa ditawarkan tanpa disertai dengan penggunaan bahasa Indonesia secara benar. Akibatnya, ketika kita berusaha memahami maknanya, yang muncul adalah kesan yang aneh dan lucu.
Menurut Maman, bahasa iklan, karena sifatnya yang persuasif, selalu berusaha mengugah emosi pembaca atau pendengar. Tujuannya agar yang menjadi sasaran iklan, melakukan sesuatu atau bertindak sesuai dengan amanat iklan tersebut. Oleh karena itu, dalam bahasa iklan, bentuk rayuan, anjuran atau ajakan, bahkan kata-kata yang dapat menimbulkan rasa penasaran, sebenarnya hanya kemasan untuk “menutupi” amanat yang ingin dicapai iklan.
Selain itu, iklan juga merupakan pemberitahuan kepada khalayak. Dalam memberitahukan tersebut, iklan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya. Bahasa sebagai alat komunikasi dalam iklan sangat penting di samping terdapat gambar-gambar yang mendukungnya (Sustiyanti, 2010:2). Jadi, jika bahasa yang digunakan mampu menarik atau memengaruhi konsumen niscaya produk tersebut laris manis. Sebaliknya, jika bahasa yang disampaikan blentang-blentong, dijamin pendengar malah berlalu.
* Pemerhati bahasa, tinggal di Bandar Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar