Jakarta, Kompas - Pemerintah menghentikan pemberian izin baru rintisan sekolah bertaraf internasional mulai tahun 2011. Pemerintah sedang mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional yang izinnya diberikan pada 2006-2010.
”Ternyata sekolah bertaraf internasional tidak sederhana. Ini perjalanan panjang yang wajahnya sampai sekarang belum jelas. Karena itu, kami belum berani menyebut sekolah bertaraf internasional (SBI), tetapi masih rintisan SBI. Untuk itu, pemerintah menahan dulu pemberian izin baru RSBI,” kata Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam acara ”Simposium Sistem RSBI/SBI: Kebijakan dan Pelaksanaan” yang dilaksanakan British Council di Jakarta, Rabu (9/3).
Pemerintah juga sedang menyiapkan aturan baru soal standar SBI di Indonesia.
Fasli mengatakan, dari kajian sementara, pendanaan RSBI sebagian besar ditanggung orangtua dan pemerintah pusat. Dukungan pendanaan dari pemerintah daerah justru minim.
RSBI pun sebagian besar siswanya dari kalangan kaya. Ini disebabkan biaya masuk untuk SMP dan SMA RSBI yang relatif mahal, berkisar Rp 15 juta dan uang sekolah sekitar Rp 450.000 per bulan. Di sisi lain, alokasi 20 persen untuk siswa miskin yang mendapat beasiswa juga tidak dipenuhi RSBI.
Dari kajian sementara juga terungkap, dana yang dimiliki RSBI sekitar 50 persennya dialokasikan untuk sarana dan prasarana, sekitar 20 persen untuk pengembangan dan kesejahteraan guru, serta manajemen sekolah berkisar 10 persen.
Adapun soal kemampuan bahasa Inggris guru juga masih belum memadai. Kajian pada tahun 2008, sekitar 50 persen guru di RSBI ada di level notice (10-250). Sementara untuk guru Matematika dan Sains kemampuan di level terendah notice dan elementary.
Hanya kemampuan guru pengajar bahasa Inggris di RSBI yang memenuhi syarat di level intermediate ke atas. Kemampuan bahasa Inggris kepala sekolah RSBI sekitar 51 persen berada di level terendah.
Fasli mengatakan, SBI bukanlah tujuan akhir. ”Jadi, tidak ada target Indonesia mesti punya berapa banyak SBI. Kami memfasilitasi sekolah untuk jadi RSBI dan SBI karena itu amanat UU Sistem Pendidikan Nasional. Tetapi tentu nanti dibuat aturannya yang lebih baik lagi,” katanya.
Dari RSBI yang ada, kata Fasli, akan dievaluasi secara ketat. Ada RSBI yang nanti dijadikan SBI, ada yang tetap RSBI, dan ada yang diturunkan kembali menjadi sekolah reguler.
Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta Slamet mengatakan, SBI yang paling penting mutunya. Jika sekolah sudah merasa unggul, pengayaan untuk menjadi SBI tidak harus mengambil dari negara lain. ”SBI itu mestinya tetap mengutamakan keunggulan lokal, karakteristik Indonesia, regional, dan global,” katanya.
Hywel Coleman, konsultan di British Council, yang juga pengajar di Universitas Leeds, Inggris, mengatakan, RSBI tidak harus menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. ”Menyiapkan siswa berwawasan global, jangan diartikan sempit dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah,” ujarnya.
Menurut Coleman, globalisasi juga jangan diartikan siswa harus bisa bersaing dengan siswa dari negara lain. ”Di dunia global, sekolah internasional justru harus menyiapkan diri sebagai mitra atau sahabat negara lain. Sekolah internasional harus diartikan sebagai upaya sekolah menyiapkan siswa untuk bisa hidup bersama dalam perbedaan dan keanekaragaman,” katanya. (ELN)
Sumber: Kompas, Kamis, 10 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar