Pendidikan Lampost : Sabtu, 26 Maret 2011
Oleh: Suheri
Guru SMAN 1 Sukadana Lampung Timur
Konon, tatkala bom atom telah dijatuhkan ke Hirosima dan Nagasaki, hal yang paling dicemaskan Kaisar Jepang waktu itu adalah kehilangan guru. Maka Kaisar bertanya, "Masih ada berapa guru yang selamat?"
Pertanyaan itu menunjukkan bila peran guru sangat penting di Jepang. Di Indonesia, peran guru dianggap penting, sejak disahkannya Undang-Undang Guru dan Dosen (UU No. 14 Tahun 2005). Dalam UUGD itulah peran dan nasib guru mendapat perhatian dari pemerintah. Perhatian itu berupa sertifikasi pendidik yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru. Berkat tunjangan itu, kesejahteraan guru mulai membaik, konsekeunsinya diharapkan guru akan lebih professional, rajin, semangat, dan berdedikasi tinggi, layaknya guru di Jepang.
Tetapi tunjangan itu yang besarnya 1 kali gaji pokok dan dikucurkan sejak 2006, belum meningkatkan profesionalisme guru. Bahkan Sujarwo (2010) mensinyalir bila tunjangan profesi itu tidak mempunyai korelasi dengan kinerja guru. Maksudnya tunjangan telah diterima, namun kinerja (meminjam kalimat lagu) 'masih seperti yang dulu'.
Tunjangan profesi yang semestinya digunakan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme, seperti membuat dan menyediakan media pembelajaran berbasis teknologi (baca: komputer, laptop, internet, dsb.), seminar pendidikan, mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi. Pada kenyataannya, tunjangan masih untuk keperluan konsumsi belaka.
Pemerintah juga belum menganggap penting dan sepenuh hati meningkatkan mutu guru dan pendidikan. Padahal UU No. 20 Tahun 2003, Pasal 49 Ayat (1) dengan tegas mengatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik, biaya pendidikan kedinasan, dialokasikan minimal 20% dari APBN dan minimal 20% dari APBD. Sebagai ilustrasi, alokasi sektor pendidikan Provinsi Lampung; Rp459 miliar atau 21% dari APBD. Tetapi alokasi murni untuk pendidikan Rp180 miliar (8,3%), lainnya untuk pelatihan Rp20 satuan kerja Pemprov (Rp45 miliar), kabupaten/kota mendapat Rp211,8 miliar (Lampost, 25-11-2010).
Padahal bila dana tersebut seluruhnya dialokasikan pada sektor pendidikan, setiap tahun mutu guru akan meningkat melalui diklat, workshop, dan kegiatan sejenis. Serta sarana/prasarana pendidikan di setiap satuan pendidikan (SD, SMP, SMA) semakin berkualitas dan memenuhi standar sarana dan prasarana.
Masalah Guru
Siahaan (2009) menyatakan bila mutu guru di era 60-an, sangat berkualitas, dan guru merupakan profesi yang penting dan terhormat. Sebab, rekrutmen tenaga pendidik oleh lembaga pendidikan waktu itu, adalah mereka yang berprestasi di sekolahnya (baca: ranking I�III), calon guru mendapat beasiswa, mendapat asrama, dan setelah tamat, ditempatkan di daerah asal mereka berdomisili. Hal inilah yang (barangkali) membuat Pemerintah Malaysia mendatangkan guru-guru dari Indonesia untuk menghajar di sana (konon kabarnya, bila pada saat yang sama, Malaysia tengah mengirimkan guru-guru mereka belajar di Amerika Serikat, Ingggris, dan negara Eropa lainnya).
Memasuki usia ke-65, guru masih menghadapi masalah terkait profesi mereka. Masalah yang saat ini dihadapi oleh guru antara lain: 1) Permendiknas No. 37 Tahun 2009 tentang Beban Mengajar, 2) lemahnya perlindungan hukum, 3) susahnya kenaikan pangkat, 4) gagap teknologi.
Beban mengajar minimal 24 jam per minggu, merupakan masalah yang belum sepenuhnya teratasi.
Solusi alternatif seperti menjabat sebagai wakil kepala sekolah, kepala perpustakaan, laboratorium dsb., mengajar di satuan pendidikan yang sejenis, masih belum dapat mengatasi beban mengajar yang diamanatkan pemerintah. Dan jika di tahun pelajaran 2011/2012 Permendiknas itu mulai efektif diberlakukan, guru yang tidak dapat mengajar 24 jam/minggu akan terancam kehilangan tunjangan profesinya.
untuk tulisan selanjutnya
(belum dikoreksi)
Begitu mencapai golongan IV/A, maka sebagian besar guru jalan di tempat pada golongan itu hingga pensiun.
Hanya segelintir guru yang dapat merangkak ke golongan IV/B dan seterusnya. Stagnasi kenaikan pangkat/golongan itu menunjukkan ada 'masalah' yang dihadapi guru.
Kemampuan pengembangan profesi melalui pembuatan karya tulis dengan bobot 12,5 yang disyaratkan dalam kenaikan pangkat itu merupakan kendala utama. Menghadapi problem itu, lembaga, dan organisasi dan pemangku pendidikan, masih tetap bergeming, belum memberikan solusi cerdas menghadapi hal itu.
Dengan alasan faktor usia, guru �jadul� sangatlah sukar mengikuti perkembangan teknologi dan informasi. Hal ini berimplikasi pada gaya mengajar yang masih monoton dan tradisional.Penggunaan komputer, laptop, internet, dsb., dalam proses kegiatan pembelajaran di kelas, belumlah dipraktikkan guru. Terlebih bila guru tidak mau hirau dan peduli pada iptek tersebut, maka gagap teknologi semakin kuat. Hal yang menggembirakan, sudah ada beberapa satuan pendidikan dan guru yang telah melaksanakan pembelajaran di kelas berbasis informasi dan teknologi.
SIAPA PEDULI?
. Sudah selayaknya organisasi guru seperti PGRI, FMGI, Perguntala,dsb., menyelenggarakan kegiatan yang lebih bermanfaat bagi guru. Memberikan solusi bagi permasalahan guru seperti tersebut di depan, melalui pendidikan dan latihan profesi, workshop, advokasi hukum, pelatihan karya tulis, memfasilitasi kenaikan pangkat, pemilihan guru teladan, mestinya organisasi guru (terutama PGRI) mengambil porsi ini. PGRI yang memungut kontribusi dari guru tiap bulannya, tentunya secara moral mempunyai tugas untuk memfasilitasi anggotanya.
Bila hal tersebut dilakukan, hal itu menunjukan rasa kepedulian, kebersamaan, terhadap nasib guru. Sinergi yang baik dengan Dinas Pendidikan, MKKS, MGMP, stakeholder, dan pemangku kepentingan pendidikan, untuk memperjuangkan dan mengatasi masalah yang dihadapi guru, merupakan langkah positif yang perlu segera diambil. . Ke depan, semoga ada perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar