Pendidikan Lampost : Rabu, 5 Januari 2011
FEBRIE HESTIYANTO*
Kita sudah dikenal sebagai bangsa yang gemar bergosip, namun sering malas melafalkan kata-kata panjang. Akibatnya, kita menjadi bangsa yang efektif memenggal kata sesuka hati, sekaligus produktif menciptakan rupa-rupa akronim. Menariknya, pemenggalan kata dan akronim dilakukan untuk membentuk kata baru yang umumnya terdiri atas dua suku kata.
Coba tengok nama-nama kota di Indonesia. Kota-kota yang namanya tersusun lebih dari dua suku kata dipenggal semaunya. Tanjung Karang dan Teluk Betung, misalnya menjadi Karang dan Teluk dalam pelafalan sehari-hari. Berbeda dengan Solo, Medan, Bandung, atau Kupang yang terdiri dua suku kata sehingga dilafalkan utuh. Bisa jadi banyak anak-anak kita hari ini menganggap Yogya (dilafalkan Jogja) sebagai satu kata utuh lupa pada "Karta", sebagai bagian integral identitas Yogya.
Tak hanya kota, nama seseorang yang terdiri lebih dari dua kata dipenggal, untuk efisiensi bercakap-cakap.
Bila tak dipenggal, apa boleh buat: terciptalah akronim. Dengan segera kita mengenal Bandar Lampung sebagai Balam. Nama jalan apatah lagi. Jalan Jenderal Soedirman menjadi Jensu atau Jensud. Di Kotabumi, Jalan Gotong Royong menjadi Gotro. Di Jakarta, Jalan Otto Iskandardinata menjadi Jalan Otista, Bendungan Hilir menjadi Benhil, tak jarang ditulis Benhill. Idiom-idiom yang membawa imaji kita pada nuansa barat, dan bule.
Identitas kota-kota kita bertabur kata terpenggal atau akronim. Bandara Soekarno Hatta, melalui running text televisi, diakronimkan menjadi Bandara Soetta. Bandara sendiri merupakan akronim dari bandar udara, akronim yang dianggap anak-anak muda sebagai kata yang utuh. Bandar udara sebelum diakronimkan sebagai bandara dahulu disebut pelabuhan udara, diakronimkan menjadi pelud.
Lalu, adakah kaidah dari akronim dan pemenggalan kata? Saya kira pemenggalan kata tak ada kaidahnya. Namun, akronim jelas ada. Namun, tak sedikit orang beranggapan pembentukan akronim bersifat arbitrer alias berdasarkan kesepakatan pemakai bahasa itu sendiri. Golongan yang sepakat pada epistemologi arbitrer berpendapat akronim telah lebih dahulu lahir ketimbang kaidah berbahasa yang secara resmi diatur dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (PUEYD) dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI) pertama kali tahun 1978.
Menurut Hardjoprawiro, guru besar ilmu bahasa Indonesia UNS Solo, mengutip PUEYD dan PUPI pembentukan akronim didasarkan pada kaidah: (a) akronim nama diri berupa gabungan huruf awal masing-masing kata yang disingkat, ditulis dalam huruf kapital, semisal TNI, atau PMI, (b) akronim nama diri berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf yang disingkat, ditulis dengan huruf kapital pada awal kata, seperti Pramuka, Dindikpora, serta (c) akronim yang bukan nama diri terdiri dari gabungan huruf, suku kata maupun gabungan keduanya ditulis dengan huruf kecil, misalnya bandara, armed.
Masih dalam PUEYD dan PUPI, dalam pembentukan akronim perlu diperhatikan (a) jumlah suku kata akronim tidak melebihi suku kata yang lazim dalam bahasa Indonesia, serta (b) akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
Persoalan justru muncul karena kaidah PUEYD dan PUPI tak ketat mengatur pembentukan akronim. Tampaknya PUEYD dan PUPI lebih mengatur soal penulisan huruf kapital pada awal akronim bentukan baru, Selebihnya, kaidah penggabungan dua kata atau lebih, tidak dijelaskan terperinci apakah pemenggalannya memiliki pola, atau semacam konsistensi. Bila dipenggal dua huruf pertama pada kata pertama, maka kaidah ini berlaku pula pada kata-kata selanjutnya. Begitu juga bila pemenggalan dilakukan di tengah atau akhir kata. Melalui konsistensi ini, Bappeda yang dikenal sebagai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah mestinya diakronimkan menjadi Bappeda.
Terobosan hukum sebagai "pasal penyelamat" bahkan diberikan oleh PUEYD dan PUPI dalam catatan penting PEUYD dan PUPI, yakni akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim. Secara sederhana kaidah ini memberi ruang bagi terbentuknya akronim yang "enak didengar". Jadi, sudah berapa akronim yang telah anda buat hari ini?
*) Pegiat Kelompok Studi Idea. Alumnus Sosiologi FISIP UNS Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar