Oleh SITTA R MUSLIMAH
Sering terjadinya bencana alam di musim hujan disinyalir dapat mengakibatkan munculnya berbagai gangguan psikologis pada warga sekitar, terutama anak-anak usia 12 tahun ke bawah. Sebab, kondisi anak-anak sedang berada dalam tahap yang labil dan rapuh.
Oleh karena itu, mereka akan mudah mengidap trauma psikologis yang berimbas pada terganggunya tugas perkembangan, yakni belajar dan bermain.
Dengan kondisi demikian, perasaan dalam diri anak-anak pascabencana kerap terproyeksikan menjadi sebentuk kecemasan kalau lingkungan keluarga dan sosial sangat berlebihan memproteksi segala aktivitas mereka. Ketika anak-anak hendak bermain, misalnya, orangtua kerap kali melarang mereka untuk keluar dari tenda pengungsian karena khawatir akan keselamatannya.
Memang logis orangtua merasa khawatir akan keselamatan jiwa buah hatinya. Namun, wujud kekhawatiran yang diproyeksikan secara berlebihan itu tentunya akan memicu ketertekanan jiwa. Seorang anak dengan perhatian berlebihan akan belajar membedakan perbuatan atau perasaan yang disetujui dan tidak disetujui oleh lingkungan keluarga dan sosial. Keadaan ini tentu saja akan memicu timbulnya konsep diri yang tidak selaras dengan kepribadian asli anak sehingga mereka berusaha menjadi seperti yang diinginkan orang lain. Mereka akan berubah menjadi generasi yang tidak mandiri, kritis, dan kreatif.
Dari fenomena tersebut, perlu kiranya penanggulangan korban bencana lebih memfokuskan pemberian bantuan bagi perkembangan psikologis anak-anak. Sebab, seperti yang diungkapkan para ahli psikologi, masa anak-anak merupakan masa yang paling menentukan. Tidak terpenuhinya tugas perkembangan anak-anak pada masa ini disinyalir bisa menghasilkan manusia yang rapuh dan tidak mampu bersaing dengan bangsa lain. Membangun optimisme
Maka, menciptakan generasi yang optimistis menjadi urgen diperhatikan oleh setiap elemen bangsa, mulai dari agamawan, negarawan, hartawan, cendekiawan, sampai guru di sekolah. Ketertekanan jiwa anak-anak pascabencana adalah agenda besar yang mesti segera ditanggulangi dengan aneka ragam kegiatan konseling suportif. Hal itu dimaksudkan untuk bisa mengembalikan tugas-tugas perkembangan jiwa anak yang terhambat oleh adanya bencana sehingga dapat menciptakan generasi yang sehat secara psikologis.
Hal tersebut akan tercipta kalau saja setiap anak memiliki secercah optimisme dalam mengarungi kehidupan. Namun, sesaat setelah datangnya bencana, optimisme seorang anak biasanya akan terganggu, malahan sampai menghilang, kalau tidak segera mendapatkan bantuan.
Dari sinilah pemberian bantuan berupa penyuluhan, terapi psikologis, dan bimbingan konseling yang terpusat pada anak (client centered) mesti diprioritaskan. Hal ini bertujuan mengembalikan keceriaan anak-anak sebagai ciri khas dari perkembangan jiwanya sehingga optimisme yang direpresi ke titik terbawah alam bawah sadarnya sedikit demi sedikit akan menyeruak ke permukaan.
Apalagi dengan kondisi daerah yang porak poranda, tentunya mereka bakal mengidap gejala-gejala traumatik, misalnya rasa khawatir berlebihan, ketakutan yang tak kunjung mereda, dan ketidaktenangan beraktivitas. Akibatnya, kualitas hidup anak-anak di wilayah bencana berada di ambang batas minimal dan bisa memengaruhi cara pandang mereka terhadap hidup. Bahkan, ketika tidak diberikan proses bantuan untuk menyembuhkan kondisi traumatik pascabencana, anak-anak dikhawatirkan akan mengalami hambatan perkembangan psikologis.
Sebab, kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi akan mengakibatkan timbulnya trauma yang mengganggu. Hal ini kemudian tercermin pada rasa takut terhadap bahaya nyata di luar dirinya, termasuk bahaya ancaman bencana susulan.
Maka, lingkungan keluarga dan sosial berperan besar dalam membangkitkan kembali semangat hidup anak-anak dengan ragam bantuan penyembuhan kuratif dan suportif. Cara yang bisa ditempuh antara lain membacakan kisah, mendongeng, berdialog secara suportif, serta memberikan permainan-permainan yang menghibur dan mendidik.
Peningkatan kesadaran diri
Meningkatnya kesadaran diri secara bebas dan mengalir adalah tujuan pokok yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam proses self supportive. Kesadaran anak-anak korban bencana mesti dirangsang guna mewujudkan pemahaman penuh terhadap segala sesuatu yang menimpa dirinya. Kesadaran itu bisa berupa persepsi tentang diri, memahami alur pemikiran, serta menerima tekanan-tekanan kuat pada konteks kedisinian dan kekinian.
Oleh karena itu, upaya pembenahan dan pemompaan semangat hidup terhadap diri anak-anak pascabencana merupakan salah satu tahap awal menyembuhkan “luka memar” psikologis yang dideritanya. Melakukan komunikasi dialogis yang suportif sebagai upaya penciptaan coping style ketika anak-anak menghadapi ancaman bencana juga perlu dipraktikkan. Selain itu, dukungan dari keluarga dan lingkungan sosial berperan sekali bagi perkembangan psikologis anak-anak yang sedang diliputi ketakutan, kecemasan, dan ketidaktenteraman hidup.
Hanya dengan dukungan yang suportif dari keluarga dan lingkungan sosial seorang anak akan menemukan kembali “ruh” hidupnya yang mengendap dan bersembunyi di balik ketaksadaran represif. Apalagi, dukungan keluarga dan sosial itu dilakukan secara dialogis menggunakan metode role playing, permainan menghibur dan mendidik, serta berbagi pengalaman dengan mereka melalui cerita-cerita teladan. Tentu saja hal itu akan lebih efektif dan efisien dalam mengembalikan keterpurukan jiwa anak-anak pada posisi sediakala.
Terakhir, pembentukan lingkungan keluarga dan sosial yang saling mendukung, misalnya antara keluarga, individu masyarakat, LSM, dan pemerintah, perlu digalakkan kembali. Sebab, ada pepatah agama yang mengatakan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaah putih bersih. Adapun baik atau buruk karakter kepribadian anak pada rentang masa perkembangan ditentukan oleh lingkungan keluarga dan sosial.
SITTA R MUSLIMAH Pemerhati Masalah Perkembangan Anak Usia Dini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar