Mungkin tidak semua, karena saya belum pernah melakukan survey, namun dari beberapa kawan yang saya kenal, latar belakang pendidikan dan minat mereka (sebagai orang tua) tanpa sadar ikut mewarnai prioritas pelajaran yang 'harus' ditekuni anak-anaknya.
Yang suka sains dan berlatarkan sains, mendorong anak-anaknya memperbanyak porsi sains; yang senang matematika, juga mengarahkan anak-anak menuju suka matematika; yang suka sastra memacu anaknya suka baca-tulis dan sedapat mungkin memacu anak mereka untuk mempublikasikan tulisan sedini mungkin.
Ini bukan persoalan salah atau benar, namun menjadi cermin, bahwa apa yang menurut sebuah keluarga dianggap penting, maka belum tentu demikian juga di keluarga lain. Kita tidak bisa memaksa, baik secara implisit ataupun eksplisit, keluarga-keluarga di luar keluarga kita untuk menyenangi prioritas kita. Apalagi seolah menganggap bahwa minat yang kita geluti juga penting dikuasai oleh semua anak tanpa kecuali.
Saya memandang, semua itu hanyalah persoalan minat dan momentum. Setiap anak akan antusias belajar pada saat yang tepat, yang ternyata tidaklah sama antara satu anak dengan anak lainnya.
Mengajarkan toleransi bisa berawal dari sini. Bukankah dunia ini menjadi ramai dan menyenangkan karena banyak keragaman. Menghargai keragaman, berarti membiarkan orang lain merdeka dengan ciri khas yang mereka miliki tanpa kita harus ikut-ikutan meniru orang lain hanya demi bisa diterima di tengah-tengah mereka.
Menurut saya, itulah ciri manusia independen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar