Opini Lampost : Jum'at, 28 Januari 2011
Sansrisna,
Kepala SMA Sukma Bangsa Pidie, Aceh
"Education is for improving the lives of others and for leaving your community and world better than you found it." (Martin Wright Edelman)
Setiap tahun UNDP mengumumkan urutan indeks pembangunan manusia (human development index) di dunia. Tahun 2009 negara kita menempati peringkat ke-111 (0,734) dari 74 negara berkembang lainnya. Bila ingin membandingkan dengan negara tetangga ASEAN, kita jauh berada di bawah Malaysia yang berada di nomor 66 (0,829), Thailand di urutan ke-87 (0,783), Filipina peringkat ke-105 (0,751) dan Singapore di urutan ke 23 (0,094). Dimensi pengukurannya mencakup panjang usia (longevity), pengetahuan (knowledge) dan standar hidup (standard of living) suatu bangsa. Secara teknis ketiga dimensi ini dijabarkan menjadi beberapa indikator, antara lain kesehatan dan kependudukan, ekonomi serta pendidikan.
Lambannya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia disebabkan oleh rendahnya pencapaian di bidang pendidikan. Pendidikan di semua jenjang tak terlepas dari peranan kurikulum yang diberlakukan. Sejarah mencatat, sejak merdeka Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian kurikulum, mulai dari kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi dan terakhir Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kalangan filosofis progresif memandang kurikulum sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial, membangun kehidupan masa depan di mana kehidupan masa lalu, masa sekarang dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan melalui pendidikan (Hartato: 2009). Jadi kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu sebagai gambaran tentang ketercapaian nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah dalam suatu tatanan masyarakat beserta dua fungsi lainnya, yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan yang bermutu dan merupakan impian yang ingin dicapai oleh segenap pengelola pendidikan.
Metoda Belajar Berkualitas
Berbicara mengenai pendidikan dan kurikulum kita tak dapat melepaskan diri dari komponen pentingnya yaitu metode belajar. Ditengarai salah satu kelemahan sistem pendidikan Indonesia ada pada komponen ini. Metode balajar ialah cara yang digunakan untuk menyampaikan materi dengan prosedur tertentu dalam upaya mencapai tujuan kurikulum (Hamalik: 2010). Sebagian besar sekolah-sekolah kita masih menerapkan metode belajar konvensional yang mengabaikan proses, belajar hanya untuk mengejar angka kelulusan (learning for exam). Sekolah dengan model belajar seperti ini miskin pengalaman belajar karena belajar hanya dianggap sebagai kegiatan mentransfer ilmu dari guru ke murid.
Sementara pendekatan lainnya adalah pendekatan yang mengacu kepada siswa atau pendekatan proses (learning for experience). Dalam pendekatan ini, belajar diartikan sebagai kegiatan mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar dalam diri siswa supaya menemukan dan mengelola hasil penemuannya atau belajar bagaimana belajar, sehingga tujuan belajar menjadi lebih luas, yaitu belajar untuk mencari pengalaman. Sekolah demikian melahirkan siswa-siswa yang kritis tandanya siswa tidak malu mengemukakan pemikiran-pemikiran kritis, gemar “melahap” buku-buku sumber ilmu pengetahuan, memiliki rasa ingin tahu yang besar.
Benjamin S. Bloom (1956), merumuskan tujuan belajar menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Setiap ranah dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori berurutan secara hirarkis, mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Dia menyakini bahwa tingkatan ranah berpikir ini juga menentukan dampak belajar yang dialami siswa. Keberhasilannya tergantung pada kecermatan guru menentukan tujuan belajar, tehnik pembelajaran dan kegiatan kelas. Kegiatan kelas disesuaikan dengan kemampuan belajar siswa-siswa yang beragam, sehingga diharapkan mampu mencapai hasil sebagai ketuntasan belajar. Keberhasilan pembelajaran di balik ruang-ruang kelas akan meningkatkan mutu pendidikan lebih dari sekadar angka kelulusan, tetapi juga mutu lulusannya.
Persoalannya tidak semua guru mampu membuat dan merancang kegiatan belajar yang berkualitas. Kendala seperti keterbatasan fasilitas, kemampuan penguasaan substansi dan dukungan dari institusi atau lingkungan pendidikan nampaknya masih cukup kuat. Jika seorang guru memiliki kemampuan menentukan metode belajar yang tepat pasti akan memudahkan tugasnya sebagai fasilitator. Menjadi fasilitator pembelajaran akan membuat guru memiliki basis penilaian yang adil dan akuntabel, melakukan pendekatan terhadap siswa sesuai dengan kekhususannya, serta membuat refleksi mengajar yang cerdas. Refleksi mengajar berisi tindakan dan akibat yang dialami kelas setelah suatu metode mengajar diterapkan. Refleksi juga memperkaya khasanah guru dalam belajar, kumpulannya bernama portofolio yang terus bertumbuh seiring dengan pertambahan proses interaksi belajar dan mengajar.
Keuntungan bagi siswa, bila mengacu pada teori Bloom, susun tahapan berfikir dari tahapan tingkat rendah (low order thinking skill) menuju ke tingkat tinggi (high order thinking skill) memudahkan siswa beradaptasi di setiap tahapannya sehingga tidak kesulitan beradaptasi terhadap materi, sekali lagi dengan bantuan metode belajar yang dirancang dengan pas di mana guru berfungsi dan berperan sebagai fasilitator. Dampaknya mendorong siswa kreatif dan kritis dan menggunakan ragam kecerdasannya, memaklumi kelemahan dan kelebihannya karena tertakar sesuai tahapan. Terhadap suasana belajar, akan lebih menyenangkan karena tidak terjebak dalam kebuntuan belajar yang statis dan monoton.
Pendekatan yang Mementingkan Imajinasi
Membuat metode pembelajaran yang baik membutuhkan imajinasi dan kreatifitas. Ben Zander seorang komposer lagu-lagu klasik mengemukakan teori kebermungkinan, dia menyatakan seorang pemimpin yang hebat mirip seorang konduktor terbaik, mereka menjangkau melampaui nada musik untuk mencapai keajaiban di setiap pemain. Demikian juga guru di kelas dia dapat memilih metode belajar yang tepat untuk mencapai kebermungkinan kemampuan muridnya secara maksimal. Ben Zanders percaya bila setiap orang mempunyai nilai “A” di dalam dirinya, tergantung bagaimana cara menstimulasinya. Bila dikaitkan dengan pemilihan metode belajar di kelas, guru dapat membangkitkan potensi siswanya melalui stimulus yang tepat lewat metode-metode belajar kreatif dan imajinatif, sehingga setiap siswa dapat belajar untuk memperoleh nilai “A” sebagai hasil rangkaian kegiatan belajar.
Guru yang kreatif akan membiarkan dirinya menjadi mirip dengan metode pengajarannya (Hallman: 2008). Metode mengajar tidak terpaku pada satu macam saja tetapi dapat menggabungkan dengan berbagai metode yang ada seperti metode penemuan, pemberian tugas, pemecahan masalah, penelitan bahkan metode ceramah. Guru dapat menggunakan bantuan media visual, audiovisual atau hasil karya satra. Pelajaran sastra diyakini mampu menyuplai energi imajinasi, yang muaranya memberi rangsangan inspirasi sekaligus kreativitas. Sastra juga diyakini memberi kontribusi positif bagi kehidupan, terutama sumbangan imajinasi yang menjadi medium manusia mendapat ide dan teori (Wibowo: 2010).
Penemuan-penemuan besar bermula dari imajinasi pelakunya, bahkan seorang Copernicus sang penemu aliran Heliosentris tahun 1517 adalah seorang pengagum sastra yang nyentrik. Sehingga seorang guru sastrawan atau penikmat sastra akan memiliki intuisi naluriah kreatif yang penuh “mimpi-mimpi” sehingga mengasah kemampuan lewat belajar, membaca, menuliskan intisari bacaan dan menjadikannya sebagai kegiatan mengikat ilmu adalah pekerjaan rumah para guru selanjutnya harus ditularkan kepada murid-muridnya.
Dapat disimpulkan betapa pentingnya imajinasi dalam mengembangkan metode mengajar. Guru yang kreatif mampu menjebatani pelajaran menjadi belajar, melalui penemuan konteks suatu materi terhadap kebutuhan keingintahuan seseorang dalam menemukan pemecahan masalah kehidupannya sehari-hari dengan bantuan metode mengajar yang tepat. Seorang guru yang kreatif adalah guru yang mengikuti perkembangan zaman melalui tehnologinya tanpa meninggalkan nilai-nilai keluhuran dengan antusias, terbuka, peka dan tetap belajar sebagai pribadi yang terus bertumbuh untuk menciptakan komunitas yang berkemanusiaan yang beradab dalam suatu tatanan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar