Opini Lampost : Selasa, 19 April 2011
Dr. Herpratiwi
Dosen FKIP Unila
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) memberikan hak otonom kepada sekolah untuk mengembangkan dan merekayasa pembelajaran sesuai dengan kondisi sekolah. Makna luasnya adalah sekolah di dalam menerjemahkan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) ke dalam indikator dan tujuan pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan siswa sehingga pembelajaran di sekolah, berpijaknya bukan pada materi, melainkan potensi siswa. Dengan demikian, pembelajaran dirancang dengan menggunakan model pembelajaran yang humanis dan pendekatan yang berorientasi pada siswa, dengan strategi pembelajaran yang dapat mengakomodasi heterogenitas siswa di kelas.
Seandainya KTSP dimaknakan dengan benar, maka sekolah akan menggunakan pola asuh humanis, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi semua pesan sesuai dengan karakter dan style cognitiv-nya. Pola asuh humanis adalah pembelajaran yang berorientasi pada keaktifan dan kreativitas siswa. Pembelajaran aktif menuntut anak untuk belajar mandiri, dan memecahkan masalah yang diberikan guru. Peran guru tidak menyediakan jawaban terhadap solusi dari masalah yang ia berikan, tetapi tutwuri agar anak dapat menemukan jawaban sendiri. Hanya pembelajaran aktiflah yang dapat memicu kreasi siswa. Hal ini akan memunculkan rasa senang, percaya diri, memotivasi anak, dan empati. Pembelajaran aktif akan menyeimbangkan pencapaian perubahan knowledge siswa tidak hanya pada tingkat pemahaman, tetapi tingkat aplikasi sampai mengkreasi dan penanaman karakter. Inilah pedagogik autentik.
Pedagogik autentik harus bersanding dengan assessment autentik, maknanya adalah suatu bentuk assessment yang dapat mengakomodasi keunikan siswa di dalam menerapkan konsep atau teori pada dunia nyata. Salah satu asumsinya adalah manusia berbeda-beda pada identitas dan dimensi yang dapat diukur (Walsh dan Betz: 2001).
Pada aspek tertentu manusia memiliki aspek yang sama, tetapi pada aspek yang lain akan berbeda dengan orang lain. Perbedaan yang dimiliki pada setiap manusia harus diukur dengan cara yang berbeda dan kriteria yang tidak sama. Assessment autentik tidak memberi kesempatan kepada siswa untuk memilih option dari suatu jawaban permasalahan, tetapi siswa harus dapat mencari multiple solution terhadap suatu masalah sehingga tidak akan mengukur aspek ingatan dan pemahaman siswa terhadap materi ajar. Assessment autentik akan menampung ide-ide kreatif siswa, teknik-teknik kreatif siswa dan menumbuhkan habbit untuk mengadakan refleksi diri/mengevaluasi terhadap diri sendiri baik kemajuan belajarnya, apa yang sudah dicapai dan apa yang belum dicapainya. Assessment autentik tidak hanya mengukur domain kognisi, tetapi lebih dari itu yaitu kejujuran dan obyektivitas.
Bagaimana dengan UN? UN yang tidak berbasis autentik jika dilihat dari continuum process of education bertentangan dengan pembentukan karakter. Mengutip pendapat Thomas Lichona, semua negara sekarang ini sedang prihatin terhadap karakter yang dimiliki oleh semua warga negaranya, yang beberapa indikatornya adalah menguatnya tindak kekerasan, kaburnya pedoman moral, menurunnya etos kerja, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok, membudayanya kebohongan/ketidakjujuran, dan adanya rasa saling curiga dan kebencian antarsesama. Kebijakan UN tahun ini walaupun sudah mengakomodasi nilai siswa yang ada di rapor dan siswa diberi kesempatan untuk mengikuti ujian susulan, serta di setiap kelas memiliki 5 jenis soal, menurut penulis tetap akan memudarkan maksud dari assessment autentik dan pedagogik autentik.
Ujian susulan akan membuat etos belajar siswa rendah, toh tidak lulus UN akan dapat kesempatan mengikuti ujian susulan, yang akhirnya juga lulus dan terkadang nilai ujian susulan lebih tinggi dari nilai yang tidak melalui ujian susulan. Nilai rapor yang mempunyai bobot sendiri dalam penghitungan kelulusan akan menggoda pihak-pihak tertentu untuk bermain-main dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) sehingga KKM yang notabene perumusannya kurang memperhatikan kaidah akan semakin tidak bermakna dan tidak adil. Mengonstruksi satu jenis soal merupakan pekerjaan yang tidak gampang, mulai membuat kisi-kisi sampai merakit soal, dan melibatkan ahli bidang ilmu dan ahli pengukuran. Pekerjaan yang tidak gampang tentunya akan memakan biaya yang mahal. Bagaimana dengan mengonstruksi 5 jenis soal? Pastinya dana yang dikeluarkan akan jauh berlipat ganda dibandingkan dengan 1 jenis soal.
Mengapa harus 5 jenis soal? Jawabannya adalah agar siswa jujur dan tidak mencontek. Kemudian bagaimana dengan pekerjaan pengawas? Bukannya pengawas berfungsi untuk mengawasi siswa yang sedang ujian agar pelaksanaan ujian berjalan dengan jujur. Apa karena kinerja pengawas diragukan sehingga soal dikonstruksi dalam 5 jenis. Di sisi lain, soal UN sudah menggunakan tipe soal obyektif pilihan ganda, tentunya memiliki alasan agar siswa dapat obyektif memilih jawaban, teliti, dan hati-hati. Adalah pemikiran penulis, jika UN dikonstruksi dengan memadukan soal pilihan ganda dan uraian terbatas, di mana siswa memberi alasan terhadap option yang ia pilih terhadap soal tertentu, maka tidak perlu berbagai jenis soal di setiap kelas, biaya murah, yang paling penting adalah luapan berpikir siswa dapat diakomodasi dan nilai kejujuran dapat ditegakan, walaupun membutuhkan waktu untuk koreksi dan memerlukan korektor karena koreksi tidak hanya dilakukan dengan mesin yang notabene juga dapat salah.
Apresiasi kepada pengambil kebijakan tetap kita berikan karena sudah ada perubahan formula UN tahun ini, mudah-mudahan ke depan ada formula yang lebih pas untuk UN. Karena UN memiliki hubungan yang signifikan dengan pendidikan karakter. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar