UN Sekarang Ringan, Kata Anak Itu.
Oleh : Fachruddin
Mengapa kamu tidak belajar ... ?, Padahal sekarang sedang UN ... ? Tanyaku.
Santai aja Oom, UN sekarang ini ringan ... ! jawabnya datar.
Ringan bagaimana ... ? Aku jadi penasaran.
Dari hari pertama pilihan jawaban didiktekan ... ! Katanya tampa malu.
Selanjutnya kemenakan yang sengaja dikirim orang tuanya untuk sekolah di kota agar lulus dengan kualitas tinggi itu bertutur bahwa mereka sangat bergembira karena selama mengikuti UN ini ada separo dari soal itu yang isi jawabannya didiktekan oleh guru. Separuhnya lagi itu usaha kami sendiri sendiri. Kemenakan ku itu sekolah di SMA swasta yang cukup ternama.
Menurut kemenakanku itu ada kerjasama yang baik antara guru pengawas silang yang berasal dari sekplah lain itu. Tahu sama tahu katanya, karena murit di sekolah lainpun demikian adanya. Yang harus diatur adalah agar jangan tertangkap tangan oleh pengawas independen. Sedangkan petugas monitoring UN biasanya hanya datang sebentar saja, sudah itu menghilang. Dan sekalipun ada dari pihak Kepolisian, nampaknya hanya duduk di kejauhan belaka.
Banyak prilaku sekolah swasta yang demikian, mereka sangat berhajat dengan jumlah kelulusan yang maksimal, karena ini dapat dijadikan kampanye kepada masyarakat. Kelulusan 100% pada sekolah tersebut akan membangkitkan minat dan kepercyaan masyarakat untuk menyekolahkan anak anaknya di sana.
Nampaknya ada yayasan yang memerintahkan demikian, maka para guru dengan mengorbankan kehormatannya, terpaksa melanggar peraturan yang ada demi prestise yang akan dicapai oleh sekolah dimana tempat mereka mengajar. Tetapi jangan keliru pernah di suatu sekolah pada tahun 2009 ternyata 100% tidak ada yang lulus, juga diakibatkan oleh praktik yang sama. Para guru berusaha mendiktekan jawaban soal kepada muruid murid mereka yang sedang mengikuti UN. ternyata jawaban yang didiktekan itu keliru, bukan untuk mata pelajaran yang sedang di UNkan pada hari itu.
Prilaku yang diperankan oleh guru pada saat UN pada umumnya adalah berupa perintah dari pihak yang memiliki kemampuan untuk mengatur para guru, ditambah oleh rasa sayang sang guru kepada siswa dengan cara yang salah.
Berikut ini adalah tulisan tulisan yang diambilkan dari HI News.
===================================================
kekecawaan guru
oleh: MEHRA B
Jangan melulu disalahkan guru pada saat UN, kebanyakan guru juga frustasi atas kebijakan atasan di dinas penddikan untuk kepentingan gengsi daerah.Banyak siswa yang tidak menghargai guru dikarenakan semua nasehat yang saban hari diberikan guru kepada muridnya tidak didengar lagi. Kebanyakan siswa mengaharapkan kunci jawaban yang dikirim kepada mereka satu hari sebelum ujian berlangsung.dan itu terus berlangsung jika saja Kementrian Pendidikan Nasional terus mempertahankan syarat kelulusan berdasar UN. Pak mentri dan pasukannya didinas Pendidikan Kabupaten/Kota boleh saja ngoceh tidak ada bocor soal ujian karena melihat ruang dan didinding kantor tempat bekerja. Tapi jika mau melihat jeritan guru di lapangan, sungguh hampir semua guru( jika tidak dipaksakan dari atasannya ) tidak akan melakukan kecurangan dalam ujian Nasional, sebab murkanya bukan ke menteri dan pasukannya, tetapi ke guru itu sendiri, mau tau ucapan murid ketika guru menasihatinya. alah............ jawaban melalui sms akan dikirim sehari sebelum ujian, untuk apa belajar...pak?
UN, Kebijakan Tanpa Visi\
oleh: Sahat H Pakpahan
Meskipun terus menuai pro-kontra, UN tetap dilaksanakan. Meskipun masyarakat melalui gugatan citizen law suit-nya telah menang 3-0 terhadap pemerintah, namun UN tetap dilaksanakan. Meskipun Mahkamah Agung telah menolak kasasi yang diajukan pemerintah dan menyatakan bahwa pemerintah telah lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN, pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, sarana prasarana, sekaligus akses informasi yang lengkap di daerah sebelum pelaksanaan UN, UN tetap dilaksanakan. Meskipun logika pedagogik dan logika hukum menyatakan bahwa UN tidak tepat untuk dijadikan syarat kelulusan, UN tetap dilaksanakan.
Ngotot nya pemerintah untuk tetap melaksanakan UN ini menyebabkan UN sebatas rutinitas bagi bangsa ini. Alhasil agenda nasional ini selalu menjadi acara tahunan yang diikuti dengan diskusi dan perbincangan yang hangat oleh berbagai kalangan termasuk media.
Inilah akibatnya jika sebuah kebijakan yang berkaitan dengan masa depan bangsa tidak dilandasi dengan visi yang jelas. Kebijakan tanpa visi tersebut ditandai dengan terjadinya perubahan dari tahun ke tahun berkaitan dengan pelaksanaan UN. Jika tahun lalu ada ujian ulang bagi yang tidak lulus, tahun ini justru tidak ada.
Mencuatnya selalu kasus pelaksanaan UN dari tahun ke tahun adalah sebuah ekses dari manajemen pendidikan kita yang tidak visioner, pembentukan kebijakan publik yang dilakukan secara eksklusif, dan menganggap siswa semata-mata sebagai objek.
Seharusnya pemerintah terlebih dahulu memenuhi semua standar sarana pendidikan Indonesia. Selama standar sarana pendidikan di bumi Indonesia belum terpenuhi, tidak bisa diharapkan hasil evaluasi yang standar.
Standar nasional di negeri ini mensyaratkan adanya standar isi, proses, pendidik, sarana, pengelolaan, dan pembiayaan, sebelum akhirnya berbicara tentang standar penilaian (evaluasi) pendidikan. Jika semua itu belum dipenuhi oleh pemerintah, maka kita hanya akan terus berputar-putar pada permasalahan seputar UN itu sendiri.
Ritual Sebelum UAN
oleh: FIkri Aulia Rachman
Ritual Sebelum UAN Datang
UAN memang penuh dengan kontroversi, baik dalam pelaksanaan ujiannya maupun di luar ujian. Apapun dilakukan untuk mendapatkan hasil nilai UAN terbaik yang ujungnya akan berdampak pada kenaikan rating sekolah tersebut. Di beberapa sekolah, selalu diadakan ritual sebelum UAN yaitu doa bersama atau muhasabah dengan mengundang seluruh elemen dalam sekolah tersebut. Ritual tersebut rutin dilakukan sebelum para siswa melaksanakan ujian UAN, harapannya agar mental para siswa siap untuk menghadapi kawah candradimuka pendidikan Indonesia. Di salah satu SMA Negeri yang cukup terpandang di Jakarta bahkan mengadakan doa bersama semalam suntuk!
Kegiatan tersebut dimulai dari ashar hingga keesokan harinya. Acaranya terdiri dari doa bersama, muhasabah, sholat malam dan lainnya. Tujuannya memang baik, namun efek samping yang ditimbulkan malah tambah buruk. Doa bersama semalam suntuk itu dilakukan 3 hari sebelum UAN, mental siswa memang menjadi lebih kuat dan optimis, namun kelelahan yang ditimbulkan akibat mengikuti acara tersebut malah membuat siswa menjadi drop. Siswa hanya bisa menuruti agenda sekolah karena acara tersebut diwajibkan oleh Kepala Sekolah dan bila ada yang tidak hadir maka siap-siap akan terkena sanksi.
Semua sekolah di Indonesia berusaha melakukan hal apapun untuk menunjang keberhasilan UAN para anak didiknya. Namun yang terkadang dilupakan adalah memisahkan antara tujuan dan cara. Tujuan memang baik untuk meluluskan para siswa dengan nilai terbaik dan juga menaikkan rating sekolah, tetapi cara yang digunakan oleh beberapa sekolah terkadang salah kaprah.
Dari kegiatan doa bersama tersebut, banyak siswa kelelahan dan akhirnya malah drop ketika UAN berlangsung. Memang belum diketahui hasilnya sampai sekarang, namun dapat diprediksi bahwa siswa tersebut tidak optimal dalam mengisi lembaran ujian yang paling penting dalam masa 3 tahun pendidikan di sekolah tersebut.
Alangkah baiknya, pihak sekolah mengupayakan yang terbaik bagi para anak didiknya sehingga tidak membuat kesalahan atau blunderI dikemudian hari. Dan semoga UAN tidak hanya dianggap sebagai ujian pendidikan semata tetapi juga sebagai ujian dan pelajaran hidup untuk para pemuda bangsa di kemudian hari.
Orang yang patuh kepada proses belajar, tidak pernah takut ujian karena dia sudah melakukan yang terbaik. Dan orang yang paling ikhlas untuk gagal adalah orang yang telah mencoba yang terbaik. Yang terbaik saja bisa gagal, apalagi jika tidak belajar, maka apapun hal terburuk yang kita miliki, itu adalah modal terbaik.
Sehingga mungkin bukan kita menunggu sesuatu untuk memulai, tetapi memulai dengan apa adanya sekarang. Karena perjalanan naik dimulai dimanapun kita berada dan kalau kesabaran itu sulit untuk kita, maka gunakan ketidak-sabaran itu untuk menyegerakan keberhasilan. Jadi jangan mensyaratkan sabar dulu untuk jadi orang hebat, semua ini bisa diawali bahkan dari proses UAN.
Beberapa saran untuk para anak didik yang kesulitan dalam menghadapi UAN :
Jika kamu pemarah, pemarahlah -tetapi gunakan kemarahan itu untuk kurang belajar, untuk kurang tidur dan bekerja, dan untuk mentenagai belajar karena sedang marah.
Jika kamu termasuk orang yang ngantuk ketika membaca buku; sikapmu terhadap buku itu harus diperbaharui. Kamu harus melihat bahwa yang ada dalam buku itu mewakili pemikiran orang2 besar sebelumnya. Maka apabila buku itu dibuka, kamu masuk kepikiran jendela orang2 besar..
Jangan pernah menyerah dalam menghadapi ujian, karena Ujian itu selalu diniatkan untuk melihat apakah kita pantas untuk naik
Memaksa Terjadinya Kecurangan
oleh: J Rivel
Sungguh aneh, di saat pemerintah menekankan pendidikan karakter, justru pemerintah sendiri mencorengnya. Tidak konsisten. Sebagai contoh, pemerintah selalu ngotot dalam pelaksanaan ujian nasional (UN), padahal berbagai elemen telah menolaknya dan bahkan mahkamah konstitusi (MK) juga menolak. Pemerintah menganggap pelaksanaan UN sebagai penentu kelulusan dapat mendorong pelajar lebih berkualitas. Kenyataannya tak seperti itu.
Kebijakan UN sebagai penentu kelulusan siswa telah mengerdilkan arah pendidikan. Sekolah-sekolah hanya fokus mempersiapkan siswanya mampu menjawab soal-soal UN. Artinya tujuan pendidikan yang sejati untuk menjawab persoalan, berubah menjadi menjawab soal-soal. Padahal, orang yang bisa menjawab soal-soal belum tentu bisa menjawab persoalan.
Selain itu, menjelang ujian hingga pengumuman kelulusan, ketakutan menghantui siswa. Ada memang yang biasa-biasa saja karena mereka yakin pasti lulus. Pasalnya kunci jawaban diberikan menjelang dan saat UN berlangsung. Tapi yang pasti, siswa dikorbankan.
Tidak menjadi rahasia lagi, pelaksanaan UN selalu mempraktikkan kecurangan-kecurangan. Mayoritas siswa peserta ujian yang penulis tanya, mengakuinya. Bahkan guru-guru juga mengakuinya. Tapi memngapa, pemerintah seolah-olah menutup mata? Apakah mereka tidak tahu atau pura-pura tak tahu?
Pemerintah selalu mengatakan menjamin tidak adanya kebocoran soal dan menindak tegas pelaku kecurangan. Tapi persoalannya adalah, kebijakan UN yang dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa memaksa terjadinya kecurangan. Dinas pendidikan, kepala sekolah dan guru-guru berupaya menjaga nama baik daerah dan sekolah masing-masing serta juga demi siswa. Sehingga, seandainya pun hukuman bagi pelaku kecurangan adalah tembak mati, bisa dipastikan kecurangan akan tetap ada.
Mungkinkah sistem pendidikan menghasilkan generasi berkarakter jika siswa sendiri diajari curang? Atau setidaknya siswa menyaksikan praktek-praktek pembohongan. Generasi berkarakter yang jujur sangatlah sulit lahir dari sistem yang tak jujur. Kebohongan hanya melahirkan kebohonngan baru. Dan yang kita takutkan adalah generasi bangsa ini menjadi pemimpin yang tidak jujur seperti halnya pejabat sekarang ini yang asyik melakukan praktik korupsi.
Oleh sebab itu, sudah saatnya UN sebagai penentu kelulusan, dihapuskan. Kalau pun tetap diselenggarakan, hendaknya bukan lagi sebagai penentu kelulusan, melainkan sebagai pemetaan kemampuan siswa di seluruh daerah.
Ada yang Tak Percaya Diri
oleh: niar
Ujian nasional untuk siswa SMU sudah dilaksanakan seminggu yang lalu. Dan sekarang waktunya ujian nasional untuk siswa SMP. Dan lantas mengapa ujian ini selalu dianggap sebagai sesuatu yang kontroversial? Sedangkan dari tujuannya jelas bahwa ujian ini untuk mencapai standarisasi – nilai tertentu yang harus dicapai siswa berdasarkan proses belajar yang sudah dilakukannya selama kurun waktu tiga tahun. Jelas dari sini tidak ada yang salah. Bahkan sesuatu yang patut mendapat dukungan karena proses belajar siswa mau tidak mau harus ada standarisasinya – harus ada ukuran nilai untuk menyatakan keberhasilan siswa selama mengikuti proses belajar di sekolah. Dan karenanya guru, siswa, semua berupaya untuk mencapai nilai yang telah ditetapkan tersebut. Bimbingan-bimbingan belajar semakin marak. Les-les privat semakin gencar. Sekolah-sekolah semakin giat melakukan pemantapan-pemantapan – mengadakan jam tambahan untuk latihan soal. Semua seakan termotivasi – terbius untuk mencapai standarisasi tersebut – untuk lulus ujian nasional. Dan karenanya setiap orang – setiap siswa, setiap guru, bahkan setiap orangtua, dan setiap sekolah menjadi merasa bertanggungjawab atas kelulusan ini. Guru seakan diuji kualitas mengajarnya, dan sekolah seakan dinilai keberhasilannya.
Guru terpacu atas anak didiknya. Melakukan berbagai macam metode pengajaran yang sesuai – yang diminati siswa, dan dimengerti secara baik oleh siswa. Begitu juga sekolah. Terus melakukan pengawasan – penilaian atas metode-metode pengajaran yang dilakukan guru. Apakah sesuai dan dimengerti oleh siswa. Lalu sekolah juga memikirkan bentuk-bentuk pengajaran lain yang mampu mendorong siswa untuk lulus ujian nasional. Dan pada akhinya semua seakan memiliki tanggung jawab besar atas pengajaran yang dilakukannya. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah rasa tanggung jawab tersebut serta tujuan ujian yang sekiranya baik itu mengapa dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan?
Barangkali pertentangan ini memiliki alasan. Alasan atas suatu ketidakpercayaan diri oknum-oknum yang tidak mampu mengelola pengajaran di lingkungannya dengan baik. Sehingga dibuatlah sebuah wacana bahwa ujian nasional tampak tidak diperlukan lagi sekarang ini. Dan ketidakpercayaan diri ini jualah yang dimanfaatkan oknum lain yang tidak bertanggungjwab untuk mencari-cari celah – mencari peluang – mencari kesempatan untuk bisa meraup untung dengan jalan mencuri-curi soal ujian – mencari – bernego dengan pihak terkait, setelah itu dijual pada pihak tertentu yang begitu berminat dan membutuhkan. Alhasil ada soal ujian yang bocor, kunci-kunci jawaban beredar sebelum ujian berlangsung, dan bahkan ada yang tertipu jutaan rupiah demi membeli soal ujian. Dan mungkin akibat ini semua, ujian nasional pun dianggap tidak layak – kontroversial disebabkan ulah mereka yang tidak bertanggungjawab atas dunia pendidikan kita.
Kontroversi Ujian Nasional: Ibarat Lomba Lari
oleh: Thomas Soseco
Ujian Nasional (UN) harus bisa memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia. Negara harus mengontrol ketat kualitas mutu lulusan. Meski konsekuensinya adalah banyak siswa yang tidak lulus. Sebelum pelaksanaan UN, kita sudah terlalu lama terbuai jaminan lulus 100 persen karena sekolah memegang kendali atas kelulusan. Hampir seluruh siswa dipastikan lulus, meski akhirnya kualitas lulusan patut dipertanyakan. Malas belajar, tidak mau repot, tidak suka berjuang, memberi sogokan kepada guru agar lulus, memberi sumbangan yang besar kepada sekolah agar nilai menjadi tinggi. Bayangkan, bahkan di bangku sekolahpun siswa sudah diajari cara yang tidak patut. Bagaimana nasib bangsa ini di tangan mereka kelak?
Sistem sebelum UN juga diskriminatif. Standar kelulusan siswa di Jawa dibuat lebih tinggi daripada di luar Jawa. Ini sama artinya kita membiarkan orang – orang di Luar Jawa untuk lebih bodoh daripada orang yang tinggal di Jawa. Kita tidak boleh membiarkan pendidikan berkualitas hanya dapat diperoleh di Jakarta atau Yogyakarta, sementara siswa di Aceh atau Papua dibiarkan merana. Kita juga tidak ingin hanya orang – orang yang berasal dari Jakarta atau kota – kota besar lainnya di Jawa yang akan sukses menjadi pemimpin, pengusaha, jenderal ataupun ilmuwan. Kita tidak bisa membiarkan masa depan bangsa hanya bergantung pada orang – orang dari daerah tertentu saja.
Maka UN harus tetap dipertahankan. Dan semua harus berubah. Dimulai dari pemerintah, harus memeratakan kualitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Siswa harus lebih kuat berjuang, disiplin dan bertanggung jawab. Guru dan orang tua harus memberi perhatian lebih besar bagi siswa.
Tingkat stress meningkat, angka bunuh diri pelajar menjadi trend baru, pelajar lari dari kenyataan dengan menggunakan narkoba, semua adalah dampak buruk dari UN. Namun semua adalah untuk mereka sendiri. Dunia kompetisi global sedang berlangsung. Ibarat perlombaan lari, mereka harus berlatih keras untuk mencapai target waktu sekian detik. Semakin jauh pencapaian dari target waktu, maka semakin keras latihan harus diberikan dan bukannya malah menurunkan target waktu. Tentu kita tidak ingin mereka kalah dalam perlombaan, dalam persaingan global dan akhirnya menjadi budak di negeri sendiri.
oleh: M.Makhfudz
Sini saya ceritakan kenapa Ujian Nasional (UN) selalu menjadi kontroversi. Mulai diberlakukannya UN ini sejak tahun 2003 silam, pemerintah merasa hebat menentukan kelulusan siswa di seluruh sekolah di Indonesia demi sebuah standarisasi nasional. Hebatnya, Pemerintah (Kemendiknas) tidak mengkaji terlebih dahulu dampak negatif UN diberlakukan. Yang ada di otak mereka hanya proyek yang berjalan sesuai dengan UU yang dipaksakan berlaku.
Alhasil, ketika UN dilaksanakan, yang kelihatan hanyalah dampak buruknya terhadap pendidikan kita. Lihat saja. Tiap UN dilaksanakan, kecurangan kerap terjadi. Tiada kesan tanpa kecurangan dalam pelaksanaan UN. Baik itu inisiatif siswa, bahkan pihak sekolah (kepala sekolah dan guru) yang berinisiatif untuk mensukseskan UN dengan membantu kelulusan siswa. Siapa bisa menyangkal ini? Coba tunjukkan pada publik sekolah mana yang murni 100% tidak melakukan kecurangan?
Anehnya, baru-baru ini digembar-gemborkan sebuah konsep yang katanya bisa menangkal masifnya korupsi di negeri ini. Itulah yang disebut dengan “Pendidikan Karakter”. Berhasilkah pendidikan karakter ini diberlakukan? Alih-alih berhasil, karakter siswa, guru dan kepala sekolah malah dirusak oleh UN itu sendiri. Siswa semakin jahat, tidak mau belajar karena akan dibantu guru saat UN. Guru menjadi pembohong. Mengapa? Ketika belajar, dia selalu melarang siswa untuk mencontek, tapi saat UN berlangsung, dia katakan, “mari bekerja sama mensukseskan UN, bagi-bagi jawaban ya”. Demikian pula kepala sekolah tidak ketinggalan mengajak guru membentuk tim sukses menjawab soal-soal UN yang entah darimana sudah dimiliki pihak sekolah sebelum UN berlangsung.
Ah, inilah sekelumit cerita kenapa UN selalu dipermasalahkan. Pemerintah terus ngotot bahwa UN itu “menguntungkan”. Di sisi lain, sekolah, guru dan siswa merasakan “getah” nya karena selalu menjadi korban.
oleh: Rinto Tampubolon
Jaga komitmen
Masyarakat kita sejak dulu hingga saat ini jarang sekali dapat menjalankan prinsipnya sesuai konstitusi khususnya bidang pendidikan.Seharusnya kita semua mulai sadar untuk mematuhi aturan, maunya anaknya sekolah harus lulus. Mulai saat ini harus mulai memikirkan anak kita dalam menempuh pendidikan yang dapat dijamin kualitasnya,ujian nasional bermaksud untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Seperti jaman penulis masih duduk di Sekolah Dasar yang waktu itu masih melaksanakan ujian nasional,waktu itu sudah ditetapkan nilai terendah adalah 6 ( enam ) tahun 1969 terakhir.Bahkan sekarang masih ditetapkan nilai terendah dibawah enam, itu menurut penulis masih rendah.
Dari media ini penulis mengajak seluruh warga sadarlah akan program-program pemerintah bidang pendidikan, saat sekarang pemerintah sedang melakukan pembenahan-pembenahan penyelenggaraan pendidikan melalui Undang-undang no.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah no.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.Dan perlu diketahui bersama kebijakan Pelaksanaan Ujian Nasional sekarang sudah mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan tahun lalu,karena sekarang nilai ujian selalu mempertimbangkan dari nilai-nilai yang telah diperoleh selama tahun berjalan termasuk ujian sekolah dan nilai-nilai harian dalam semester sebelumnya.Percayalah pada program-program pemerintah untuk mewujudkan penyelenggaran pendidikan yang berkualitas ( bermutu ) agar kita tidak ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Ganti Kurikulum
oleh: Andi Nursal
Masalah Ujian Nasional menjadi masalah dalam dunia pendidikan, misalnya hanya dengan ujian tersebut banyak siswa yang dulunya berprestasi tapi malah tidak lulus. Waktu pelaksanaan masih diselimuti dengan unsur birokratisme misalnya terjadinya pembocoran soal dan lain-lainnya.
Munculnya penentangan diakibatkan pertama kebiasaan pemerintah untuk cepat gonta-ganti kurikulum yang menyebabkan ketidaksiapan siswa dalam menghadapi perubahan itu.
Kedua banyaknya tidak bisa mengakses pendidikan karena persoalan biaya, dimana siswa bukan lagi mengorientasikan pengembangan ilmu pengetahuan tetapi lebih mengutamakan kelulusan entah bagaimana pun caranya untuk mengembalikan dana yang dikeluarkan dalam menempuh pendidikan.
Dan orientasi pendidikan yang patuh kepada pasar tenaga kerja, pola manajemen yang menerapkan otonomi penuh, dan sistim pendidikan yang mengutamakan efisiensi dan pemadatan materi.Ada banyak sekali menjamur promosi-promosi pendidikan instan dan penawaran jurusan-jurusan populer, namun sangat mengabaikan aspek kualitas pengetahuan.
Justru jika pemerintah menginginkan perbaikan pendidikan harus merombak kurikulum dan secara tegas memperuntukkan sekolah negeri untuk rakyat miskin,”. Menganjurkan perlunya menciptakan kurikulum baru yang membebaskan, yaitu kurikulum yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan nalar.
Saya teringat kata Bung Karno, bahwa “untuk mengubah suatu bangsa, maka ubahlan sistim pendidikannya. Karena pendidikan adalah tiang untuk kekokohan suatu bangsa.”
Oleh : Herlina
Segala kebijakan tentunya melahirkan pro dan kontra. Paling penting adalah bagaimana meminimalisir kecerobohan pembuat kebijakan dalam menanggapi pro-kontra tersebut, Sehingga kita tidak lagi mendengar persepsi-persepsi yang tumpang tindih dari policy maker, yakni sebagaimana pernah diisukan oleh Menteri Pendidikan tentang penghapusan UN. Bagaimanapun, keputusan dari setiap kebijakan adalah hal valid yang dinilai memberi manfaat besar terhadap kemajuan pembangunan bangsa. Nah, apabila policy makernya gentar dengan segala kontraversi sehingga menjadi gamang dalam menjalankan misi, maka tidak pantasalah dia menjadi pembuat kebijakan, kira-kira begitulah bahasa ekstrimnya.
Tentunya setiap kebijakan dihasilkan dari upaya analisis SWOT yang matang. Pemerintah senantiasa berupaya menciptakan segala macam kebijakan yang mengarah pada kemajuan bangsa, Iklim persaingan global menuntut Indonesia untuk lebih cepat dalam mengejar ketertinggalan, demikan kasusnya dengan Ujian Nasional yang notabenenya standar kelulusan yang diterapkan di Indonesia tergolong rendah dibanding dengan Negara-negara lainnya. Sehingga pemerintah terus berupaya untuk memperbaiki kinerja demi perubahan kearah yang lebih baik setiap tahunnya. Peningkatan standar kelulusan yang terus meningkat setiap tahunnya adalah salah satu kebijakan yang diharapkan menjadi pendorong terhadap para pelajar dalam mengasah kemampuannya untuk terus bersaing dan meningkatkan kemampuan dengan belajar yang giat dan tekun.
Pada dasarnya, konsep belajar yang mesti ditanamkan dalam diri siswa atau pelajar adalah bahwa belajar itu adalah kebutuhan mereka. Sudah semestinya mereka menggunakan waktu sebaik mungkin untuk belajar. Jadi, menurut saya tidak ada itstilah UN itu tidak fair, karena hanya diukur dari kegiatan ujian yang hanya berlangsung 4 atau 3 hari, atau dengan alasan soal-soal ujian yang disamaratakan seluruh Indonesia sementara sistim belajar dan kualitas pengajaran pasti berbeda setiap daerah apalagi jika membandingkan daerah pelosok dengan ibukota Negara. Sehingga alasan-alasan klasik itu semua menjadi pemicu terjadinya berbagai kontraversi dari dulu sampai sekarang. Padahal, sesungguhnya pemerintah mesti terus didukung untuk mengejar keunggulannya dalam persaingan global, khususnya dalam hal pendidikan. Sangat miris ketika Indonesia selalu di cap memiliki rating kualitas pendidikan kategori rendah, padahal kita bisa menyaksikan bahwa sebenarnya anak-anak Indonesia memiliki potensi yang tinggi untuk maju yakni dalam berbagai olimpiade anak Indonesia masih bisa bersaing dengan dunia luar, tapi kenapa kita justru mengkerdilkan diri dengan menghujat segala kebijakan dengan menyebutnya sebagai pemicu keruntuhan mental siswa, membunuh karakter siswa dan sebagainya.
Namun, dalam hal ini pemerintah juga perlu menganalisis kembali sebagai bahan evaluasi sejauh mana implementasi UN membantu bangsa dalam menciptakan generasi-genrasi berkarakter, apabila pelaksanaan UN hanya menjadi rutinitas tahunan tanpa evaluasi yang jelas terhadap perkembangan peserta didik, maka kesimpulannya adalah pendapat-pendapat khalayak yang digeneralkan oleh policy maker sendiri, yaitu implementasi UN sama sekali tidak penting, karena memang kenyataannya tidak ada pengaruh positif yang dirasakan masyarakat selama ini. Pelaksanaan UN cukuplah menjadi ajank pemerintah dalam unjuk kebolehan di tingkat kompetensi global, sementara ditilik dari dalam semakin amburadul, yakni dengan ditemuinya berbagai kecurangan massif baik ditingkat lokal maupun nasional. Maka, masihkah kita bertanya, pentingkah UN?, sama halnya kita bertanya masih pentingkah Pendidikan?. Karena esensi UN adalah salah satu indicator dalam menghadapi kelulusan, tentunya semua anak bisa mempersiapkan diri dengan penuh kesungguhan, ketekunan dalam belajar serta diiringi doa yang kuat.
Namun realita selanjutnya adalah sifat manusia yang digerogoti oleh keinginan untuk instant success, sehingga esensi daripada ikhtiar sama sekali tidak menjadi ukuran dalam kehidupan. Padahal kalau mau jujur semua hasil sudah ditentukan Tuhan tapi sejauh mana kita belajar untuk meningkatkan dan memaksimalkan usaha. Dunia pendidikan saat ini hanya menjadi sebatas tempat berkumpul dan mencari legalitas intelektual dan masa bodo dengan kualitas emosional generasi, sehingga banyak dijumpai anak-anak sekolah yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan hura-hura daripada belajar. UN pun sudah tidak menjadi pendorong untuk meningkatkan kualitas belajar, karena kehidupan hedon sepertinya makin dinikmati oleh generasi bangsa kita saat ini.
Untuk para pembuat kebijakan, maka bersikap tegaslah dalam menjalankan visi pembangunan bangsa, harus ada upaya evaluasi dalam melihat kesuksesan suatu kebijakan, bukan pula harus menjadikan kebijakan sebagai suatu trial and error. Beberapa hal yang mesti dievaluasi adalah:1. Pemaknaan pendidikan itu sendiri bagi tenaga pendidik, karena banyak dijumpai para pendidik yang menjadikan sekolah sebagai tempat showing new style atau just transfer knowledge setiap harinya, sehingga tidak ada perhatian khusus dengan perkembangan belajar peserta didik. 2. Pentingnya memahami pola evaluasi dan bentuk evaluasi dalam dunia pendidikan, Dalam hal ini, pelaksanaan UN dianggap sesuai dalam mengukur kemampuan siswa untuk kelulusan, karena proses belajar selama tiga tahun hanya dites dengan sejumlah soal-soal saja, dari segi kognitif adalah hal yang absah, mengingat etika dalam evaluasi pendidikan juga sangat memperhatikan bias atau subjektifitas, sehingga pengukuran dengan soal-soal UN dinilai tepat. Berbicara dengan komponen pembelajaran lainnya, misalnya afektif dan psikomotorik, maka indikatornya adalah pribadi (soft skill) yang tergambar dalam personnya. 3. Sistem kebijakan yang ramah terhadap lingkungan pendidikan senusantara. Karena tidak fair juga kalau pemerintah sibuk membuat kebijakan dengan alasan meningkatkan mutu pendidikan, sementara pembenahan dari dalam tidak sesuai, maka penting sekali untuk meninjau aspek-aspek kearifan lokal untuk membangun suatu daerah, artinya pemerintah juga harus memberi wewenang kepada para sekolah atau dinas pendidikan dalam menyusun kebijakan lokal. Misalnya, UN merupakan standar kelulusan tingkat nasional, namun dalam tingkatan regional pemerintah daerah memiliki suatu ketetapan dalam melihat ukuran kelulusan atau keberhasilan peserta didiknya, yakni sesuai dengan kebutuhan daerah. Karena melihat kenyataannya, tidak semua juga peserta didik akan bersaing ke tingkatan nasional, maka segala macam kebijakan tentunya harus diciptakan demi kemaslahatan ummat. Wallahu’alam.
oleh: Ninin Herlina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar