PENGERTIAN ACCELERATED LEARNING
Accelerated artinya dipercepat dan learning artinya pembelajaran. Jadi, the accelerated learning artinya pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier, menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan somatic, auditory, visual dan intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalah learning by talking and bearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
A. Metode Pendekatan SAVI
1. Somatic ( Somatis )
Somatis berarti bangkit dari tempat duduk anda dan bertindak aktif secara fisik selama proses belajar. Terlalu lama duduk di depan computer sama akibatnya dengan terlalu lama duduk di depan guru / dosen – ysitu menumpulkan otak. Berdiri dan bergerak kasana – kemari meningkatkan sirkulasi dalam tubuh dan, oleh karena itu, mendatangkan energi segar ke dalam otak.
Contoh gagasan – gagasan belajar somatis : 1. Mendapatkan kembali printout (hasil informasi computer), 2. Perburuan, 3. Menciptakan pictogram, 4. Menciptakan bantuan kerja, 5. Kartu pertanyaan,
6. Manipulatif, 7. Papan permainan, 8. Memerankan, 9. Pemberi kekuatan Fisik, 10. Tinjauan walkman, 11. Wawancara pribadi, 12. Pengamatan pribadi.
2. Auditory ( Auditori )
Pembelajar auditori adalah belajar paling baik jika mereka mendengar dan mengucapkan kata – kata. Program pelatihan berdasarkan computer yang paling mahal tidak akan ada manfaatnya jika tidak dapat mengajak pembelajar mendengarkan dan berbicara serta berfikir selam proses belajar.
Contoh – contoh auditori : 1. Pengenalan audio, 2. Dialog pembelajar, 3. Parafrase auditori, 4. membaca keras – keras, 5. Kaset Tanya / jawab, 6. Wawancara, 7. Pengingat auditori, 8. berpikir dengan lantang.
3. Visual
Ketajaman penglihatan setiap orng kuat, ini disebabkan oleh pikiran manusia lebih merupakan prosesor citra daripada prosesor kata. Citra, karena konkret, mudah untuk diingat. Kata, karena abstrak, jauh lebih sulit untuk disimpan. Dengan membuat yang visual paling tidk sejajar dengan yang verbal, anda dapat membantu pembelajar untuk belajar lebih cepat dan lebih baik. Contoh gagasan – gagasan visual : 1. Bahas gambar, 2. Grafik, 3. Cerita, 4. Video, 5. Pengamatan dunia nyata, 6. Kreasi pictogram, 7. Kreasi model.
4. Intellectual ( Intelektual )
Belajar bukanlah menyimpan informasi, melainkan menciptakan makna, pengetahuan, dan nilai yang dapat dipraktekkan oleh pikiran pembelajar. Menciptakan pengetahuan, dan bukan menyimpan informasi, seharusnya merupakan salah satu tujuan utama semua program belajar. Contoh gagasan – gagasan pengembangan intelektual : 1. Perolehan informasi, 2. Pemecahan masalah, 3. Pembuatan model, 4. Penyusuanan tes, 5. Citraan mental, 6. Penyusunan pertanyaan.
Beberapa asumsi pokok yang dibutuhkan orang untuk mengoptimalkan pembelajaran mereka adalah pertama, lingkungan belajar yang positif. Orang dapat belajar paling baik dalam lingkungan fisik, emosi, dan sosial yang positif, yaitu lingkungan yang tenang sekaligus menggugah semangat. Adanya rasa keutuhan, keamanan, minat, dan kegembiraan sangat penting untuk mengoptimalkan pembelajaran manusia. Kedua, keterlibatan pebelajar. Orang dapat belajar paling baik jika dia terlibat secara penuh dan aktif serta mengambil tanggung jawab penuh atas usaha belajarnya sendiri. Belajar bukanlah sejenis olahraga untuk ditonton, melainkan menuntut peran serta semua pihak. Ketiga, kerjasama diantara pebelajar.
Orang biasanya belajar paling baik dalam lingkungan kerja sama. Semua cara belajar cenderung bersifat social sementara cara belajar tradisional menekankan persaingan di antara individu-individu yang terpisah, Accelerated Learning menekankan kerja sama di antara pebelajar dalam suatu komunitas belajar. Keempat, untuk semua gaya belajar. Orang dapat belajar paling baik jika dia mempunyai banyak variasi pilihan belajar yang memungkinkannya untuk memanfaaatkan seluruh inderanya dan menerapkan gaya belajar yang disukainya.
Accelerated Learning menganggapnya sebagai jamuan prasmanan yang dipusatkan pada pebelajar dan ditujukan untuk mencapai hasil. Kelima, belajar kontekstual. Orang dapat belajar paling baik dalam konteks. Fakta dan keterampilan yang dipelajari secara terpisah itu sulit disertap dan cenderung cepat menguap. Belajar yang paling baik bisa dilakukan dengan mengerjakan pekerjaan itu sendiri dalam proses penyelaman ke “dunia-nyata” terus menerus, umpan balik, perenungan, evaluasi dan penyelaman kembali.
Untuk mendapatkan manfaat optimal dari penggunaan Accelerated Learning, sangat penting untuk memahami dengan benar prinsip-prinsip yang melandasinya. Karena Accelerated Learning tidak akan memberikan manfaat kepada mereka yang memisahkan metode-metodenya dari fondasi ideologisnya, yang menganggap Accelerated Learning semata-mata sebagai “teknik” kreatif dengan mengabaikan prinsip-prinsip yang mendasari teknik tersebut.
Adapun prinsip-prinsip dasar dari Accelerated Learning adalah sebagai berikut:
(1) belajar melibatkan seluruh pikiran dan tubuh.. Belajar tidak hanya menggunakan “otak” (sadar, rasional, memakai “otak kiri”, dan verbal), tetapi juga melibatkan seluruh tubuh/pikiran dengan segala emosi, indra, dan sarafnya.
(2) belajar adalah berkreasi bukan mengonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diserap oleh pebelajar, melainkan sesuatu yang diciptakan pebelajar. Pembelajaran terjadi ketika seorang pebelajar memadukan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar secara harfiah adalah menciptakan makna baru, jaringan saraf baru, dan pola interaksi elektrokimia baru di dalam system otak/tubuh secara menyeluruh.
(3) kerja sama membantu proses belajar. Semua usaha belajar yang baik mempunyai landasan sosial. Kita biasanya belajar lebih banyak dengan berinteraksi dengan kawan-lawan daripada yang kita pelajari dengan cara lain mana pun. Persaingan di antara pebelajar memperlambat pembelajaran. Kerja sama di antara mereka mempecepatnya. Suatu komunitas belajar selalu lebih baik hasilnya daripada beberapa indivisu yang belajar sendiri-sendiri.
(4) pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan. Belajar bukan hanya menyerap satu hal kecil pada satu waktu semata linear, melainkan menyerap banyak hal sekaligus. Pembelajaran yang baik melibatkan orang pada banyak tingkatan secara simultan (sadar dan bawah sadar, mental dan fisik) dan memanfaatkan seluruh saraf reseptor, indera, jalan dalam sistem total otak/tubuh seseorang. Bagaimanapun juga, otak bukanlah professor berurutan, melainkan prosesor paralel, dan otak akan berkembang pesat jika ia ditantang untuk melakukan banyak hal sekaligus.
(5) belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri (dengan umpan balik). Belajar paling baik adalah belajar dalam konteks. Hal-hal yang dipelajari secara terpisah akan sulit diingat dan mudah menguap. Kita belajar berenang dengan berenang, cara mengelola sesuatu dengan mengelolanya, cara bernyanyi, cara menjual dengan menjual, dan cara memperhatikan kebutuhan konsumen dengan memperhatikan kebutuhannya. Pengalaman yang nyata dan konkret dapat menjadi guru yang jauh lebih baik daripada sesuatu yang hipotetis dan abstrak - asalkan di dalamnya tersedia peluang untuk terjun langsung secara total, mendapatkan umpan balik, merenung dan menerjunkan diri kembali.
(6) emosi positif sangat membantu pembelajaran. Perasaan menentukan kualitas dan juga kuantitas belajar seseorang. Perasaan negatif menghalangi belajar. Perasaan positif mempercepatnya. Belajar yang penuh tekanan, menyakitkan, dan bersuasana murah tidak dapat mengungguli hasil belajar yang menyenangkan, santai, dan menarik hati.
(7) otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis. Sistem saraf manusia lebih merupakan prosesor citra daripada prosesor kata. Gambar konkret jauh lebih mudah ditangkap dan disimpan daripada abstraksi verbal. Menerjemahkan abstraksi verbal menjadi berbagai jenis gambar konkret akan membuat abstraksi verbal itu bisa lebih cepat dipelajari dan lebih mudah diingat (Dave Meier, 2002).
Bobby DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan misalnya hiburan, permaianan, warna, cara berfikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.
Pembelajaran ala Accelerated adalah teknik belajar cepat ingat/bisa banyak. Accelerated Learning yang adalah revolusi training, merupakan cara belajar dengan cara berkreasi bukan mengkonsumsi. Metode ini menggunakan pendekatan whole-brain learning, belajar dengan keseimbangan dua belah otak.
Accelerated Learning sebagai salah satu teknik yang digunakan di dalam Quantum Learning bertujuan untuk menggugah sepenuhnya kemampuan belajar para pebelajar, membuat belajar menjadi menyenangkan dan memuaskan bagi mereka, dan memberikan sumbangan sepenuhnya pada kebahagiaan, kecerdasan, kompetensi, dan keberhasilan mereka sebagai manusia. (Dave Meier, 2002).
B. QUANTUM LEARNING
Quantum learning didefinisikan sebagai interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Semua kehidupan adalah energi.Sedang learning adalah belajar. Belajar bertujuan meraih sebanyak mungkin cahaya; interaksi, hubungan, dan inspirasi agar menghasilakn energi cahaya. Dengan demikian, Quantum Learning adalah cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam praktiknya, Quantum learning menggabungkan sugestologi, tehnik percepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan dan metode tertentu.
Quantum Learning mengasumsikan bahwa siswa, jika mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secar jitu, akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak biasa terduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat, siswa dapat meraih presati belajar yang berlipat ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah bahwa belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih lebar dan terekam dengan baik.
Tokoh utama di balik pembelajaran kuantum adalah Bobbi DePorter, seorang ibu rumah tangga yang kemudian terjun di bidang bisnis properti dan keuangan. Setelah semua bisnisnya bangkrut, dia akhirnya menggeluti bidang pembelajaran. Dialah perintis, pencetus, dan pengembang utama pembelajaran kuantum. Sejak 1982 DePorter mematangkan dan mengembangkan gagasan pembelajaran kuantum di SuperCamp, sebuah lembaga pembelajaran yang terletak Kirkwood Meadows, Negara Bagian California, Amerika Serikat.
Pembelajaran kuantum merupakan ramuan atau rakitan dari berbagai teori atau pandangan psikologi kognitif dan pemrograman neurologi/neurolinguistik yang jauh sebelumnya sudah ada. Di samping itu, ditambah dengan pandangan-pandangan pribadi dan temuan-temuan empiris yang diperoleh DePorter ketika mengembangkan konstruk awal pembelajaran kuantum.
Dalam penerapan Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepartan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti:
o Teori otak kanan/kiri
o Teori otak triune (3 in 1)
o Pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik)
o Teori kecerdasan ganda
o Pendidikan holistik (menyeluruh)
o Belajar berdasarkan pengalaman
o Belajar dengan simbol
o Simulasi/permainan
Quantum Teaching adalah badan ilmu pengetahuan dan metodologi yang digunakan dalam rancangan, penyajian, dan fasilitasi SuperCamp. Diciptakan berdasarkan teori-teori pendidikan seperti Accelerated Learning (Lozanov), Multiple Intelegences (Gardner), Neuro-Linguistic Programming (Grinder dan Bandler), Experiential Learning (Hahn), Socratic Inquiry, Cooperative Learning (Johnson dan Johnson), dan Element of Effective Instruction (Hunter).
Di antara berbagai akar pandangan dan pikiran yang menjadi landasan pembelajaran kuantum yang dikemukakan oleh DePorter di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan-pandangan teori sugestologi atau pembelajaran akseleratif Lozanov, teori kecerdasan ganda Gardner, teori pemrograman neurolinguistik (NLP) Grinder dan Bandler, dan pembelajaran eksperensial [berdasarkan pengalaman] Hahn, serta temuan-temuan mutakhir neurolinguistik mengenai peranan dan fungsi otak kanan mendominasi atau mewarnai secara kuat sosok [profil] pembelajaran kuantum.
Walaupun memiliki akar landasan bermacam-macam sebagaimana dikemukakan di atas, pembelajaran kuantum memiliki karakteristik umum yang dapat memantapkan dan menguatkan sosoknya. Beberapa karakteristik umum yang tampak membentuk sosok pembelajaran kuantum sebagai berikut:
1. Pembelajaran kuantum berpangkal pada psikologi kognitif, bukan fisika kuantum meskipun serba sedikit istilah dan konsep kuantum dipakai. Oleh karena itu, pandangan tentang pembelajaran, belajar, dan pembelajar diturunkan, ditransformasikan, dan dikembangkan dari berbagai teori psikologi kognitif; bukan teori fisika kuantum. Dapat dikatakan di sini bahwa pembelajaran kuantum tidak berkaitan erat dengan fisika kuantum - kecuali analogi beberapa konsep kuantum.
2. Pembelajaran kuantum lebih bersifat humanistis, bukan positivistis-empiris, "hewan-istis", dan atau nativistis. Manusia selaku pembelajar menjadi pusat perhatiannya. Potensi diri, kemampuan pikiran, daya motivasi, dan sebagainya dari pembelajar diyakini dapat berkembang secara maksimal atau optimal. Hadiah dan hukuman dipandang tidak ada karena semua usaha yang dilakukan manusia patut dihargai. Kesalahan dipandang sebagai gejala manusiawi. Ini semua menunjukkan bahwa keseluruhan yang ada pada manusia dilihat dalam perspektif humanistis.
3. Pembelajaran kuantum lebih bersifat konstruktivis (tis), bukan positivistis-empiris, behavioristis, dan atau maturasionistis. Karena itu, menurut hemat penulis, nuansa konstruktivisme dalam pembelajaran kuantum relatif kuat. Malah dapat dikatakan di sini bahwa pembelajaran kuantum merupakan salah satu cerminan filsafat konstruktivisme kognitif, bukan konstruktivisme sosial. Meskipun demikian, berbeda dengan konstruktivisme kognitif lainnya yang kurang begitu mengedepankan atau mengutamakan lingkungan, pembelajaran kuantum justru menekankan pentingnya peranan lingkungan dalam mewujudkan pembelajaran yang efektif dan optimal dan memudahkan keberhasilan tujuan pembelajaran.
4. Pembelajaran kuantum berupaya memadukan [mengintegrasikan], menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor potensi-diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan [fisik dan mental] sebagai konteks pembelajaran. Atau lebih tepat dikatakan di sini bahwa pembelajaran kuantum tidak memisahkan dan tidak membedakan antara res cogitans dan res extenza, antara apa yang di dalam dan apa yang di luar. Dalam pandangan pembelajaran kuantum, lingkungan fisikal-mental dan kemampuan pikiran atau diri manusia sama-sama pentingnya dan saling mendukung. Karena itu, baik lingkungan maupun kemampuan pikiran atau potensi diri manusia harus diperlakukan sama dan memperoleh stimulan yang seimbang agar pembelajaran berhasil baik.
5. Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekadar transaksi makna. Dapat dikatakan bahwa interaksi telah menjadi kata kunci dan konsep sentral dalam pembelajaran kuantum. Karena itu, pembelajaran kuantum memberikan tekanan pada pentingnya interaksi, frekuensi dan akumulasi interaksi yang bermutu dan bermakna.
6. Pembelajaran kuantum sangat menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifisialan atau keadaan yang dibuat-buat. Kealamiahan dan kewajaran menimbulkan suasana nyaman, segar, sehat, rileks, santai, dan menyenangkan, sedang keartifisialan dan kepura-puraan menimbulkan suasana tegang, kaku, dan membosankan. Karena itu, pembelajaran harus dirancang, disajikan, dikelola, dan difasilitasi sedemikian rupa sehingga dapat diciptakan atau diwujudkan proses pembelajaran yang alamiah dan wajar.
7. Pembelajaran kuantum sangat menekankan kebermaknaan dan kebermutuan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang tidak bermakna dan tidak bermutu membuahkan kegagalan, dalam arti tujuan pembelajaran tidak tercapai. Sebab itu, segala upaya yang memungkinkan terwujudnya kebermaknaan dan kebermutuan pembelajaran harus dilakukan oleh pengajar atau fasilitator. Dalam hubungan inilah perlu dihadirkan pengalaman yang dapat dimengerti dan berarti bagi pembelajar, terutama pengalaman pembelajar perlu diakomodasi secara memadai.
8. Pembelajaran kuantum memiliki model yang memadukan konteks dan isi pembelajaran. Konteks pembelajaran meliputi suasana yang memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang menggairahkan atau mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis. Isi pembelajaran meliputi penyajian yang prima, pemfasilitasan yang lentur, keterampilan belajar-untuk-belajar, dan keterampilan hidup. Konteks dan isi ini tidak terpisahkan, saling mendukung, bagaikan sebuah orkestra yang memainkan simfoni. Pemisahan keduanya hanya akan membuahkan kegagalan pembelajaran. Kepaduan dan kesesuaian keduanya secara fungsional akan membuahkan keberhasilan pembelajaran yang tinggi; ibaratnya permainan simfoni yang sempurna yang dimainkan dalam sebuah orkestra.
9. Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada pembentukan keterampilan akademis, keterampilan [dalam] hidup, dan prestasi fisikal atau material. Ketiganya harus diperhatikan, diperlakukan, dan dikelola secara seimbang dan relatif sama dalam proses pembelajaran; tidak bisa hanya salah satu di antaranya. Dikatakan demikian karena pembelajaran yang berhasil bukan hanya terbentuknya keterampilan akademis dan prestasi fisikal pembelajar, namun lebih penting lagi adalah terbentuknya keterampilan hidup pembelajar.
10. Pembelajaran kuantum menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting proses pembelajaran. Tanpa nilai dan keyakinan tertentu, proses pembelajaran kurang bermakna. Untuk itu, pembelajar harus memiliki nilai dan keyakinan tertentu yang positif dalam proses pembelajaran. Di samping itu, proses pembelajaran hendaknya menanamkan nilai dan keyakinan positif dalam diri pembelajar. Nilai dan keyakinan negatif akan membuahkan kegagalan proses pembelajaran.
11. Pembelajaran kuantum mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban. Keberagaman dan kebebasan dapat dikatakan sebagai kata kunci selain interaksi. Karena itu, dalam pembelajaran kuantum berkembang ucapan: Selamat datang keberagaman dan kebebasan, selamat tinggal keseragaman dan ketertiban!. Di sinilah perlunya diakui keragaman gaya belajar siswa atau pembelajar, dikembangkannya aktivitas-aktivitas pembelajar yang beragam, dan digunakannya bermacam-macam kiat dan metode pembelajaran. Pada sisi lain perlu disingkirkan penyeragaman gaya belajar pembelajar, aktivitas pembelajaran di kelas, dan penggunaan kiat dan metode pembelajaran.
12. Pembelajaran kuantum mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran. Aktivitas total antara tubuh dan pikiran membuat pembelajaran bisa berlangsung lebih nyaman dan hasilnya lebih optimal.
C. SUPERCAMP
Bobbi DePorter adalah orang yang pertama kali merintis didirikannya supercamp yaitu program pembelajaran dan pelatihan bagi siswa agar kecerdasannya bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Supercamp menggabungkan Neuro Linguistik Programming (NLP), sugestologi, accelerated learning (teori pemercepatan belajar), dan beberapa metode yang diciptakan sendiri oleh Bobbi DePorter.
Neuro Linguistik Programming adalah pemrograman bahasa syaraf yang mencoba menggabungkan kekuatan otak kiri dan kanan serta pikiran bawah sadar agar seseorang dapat menyerap segala informasi dan belajar hal-hal baru dengan cepat.
Gelombang otak dibagi menjadi empat yaitu alpha, tetha, beta, dan delta. Alpha adalah kondisi saat otak kita benar-benar jernih dan berada pada satu titik sempurna untuk mengingat dan memahami segala sesuatu.
Tetha adalah keadaan saat kita tidur tetapi bermimpi sehingga mata kita bergetar lebih cepat dari biasanya. Dalam istilah psikologi dan kedokteran biasa disebut dengan REM (Rapid Eye Movement) dan di sinilah tubuh melakukan penyembuhan fisik dan mental secara alami.
Beta terjadi saat kita sedang melakukan aktivitas yang menuntut konsentrasi terpecah seperti saat mengendarai mobil. Sedangkan yang terakhir adalah delta yang berlangsung saat otak istirahat penuh yaitu waktu kita tidur dan tidak bermimpi sama sekali.
1.Belajar Seperti Bayi
Sasaran NLP adalah peningkatan penggunaan gelombang alpha dengan menggunakan teknik relaksasi, perbaikan citra diri, berkata positif pada diri sendiri. Accelerated Learning mengasumsikan kita perlu kembali lagi belajar seperti bayi. Saat itu seluruh indra dipakai dan dimanfaatkan penuh untuk mengenali semua yang ada di lingkungannya.
Gaya belajar SAVI (penggunaan keterampilan Somatis, Audio, Visual, dan Intelektual) menjadi poin penting yang perlu diketahui agar pembelajaran berjalan maksimal. Bobbi merangkum keseluruhan unsur itu dengan mengemasnya menjadi satu paket program terpadu.
Terbukti cara itu akhirnya berhasil. Beberapa siswa bahkan mengaku nilainya melonjak pesat semenjak menjalani supercamp. Hal itu terus berlangsung sampai sekarang.
Di Indonesia pola seperti itu juga dapat diterapkan dengan sedikit penyesuaian. Kemudian ditambah sesi-sesi pelatihan awal untuk mempersiapkan siswa mengikutinya. Satu metode baru yang dapat dijadikan alternatif yaitu SoulBrain Approach Program.
Spirit dasar dari SoulBrain adalah menjadikan kecerdasan intelektual bukan sebagai keperluan utama bagi siswa. Ada beberapa paket dalam Soulbrain yang diperuntukkan bagi siswa SD, SLTP, SMU, serta mahasiswa perguruan tinggi dengan porsi dan muatan yang berbeda.
Program SoulBrain yang dibahas di sini adalah untuk siswa SMU. Pada teori tugas perkembangan, remaja SMU masuk dalam masa remaja tengah, yang kondisi emosionalnya masih belum stabil. Mereka juga mulai mempertanyakan eksistensi dirinya, dan aktif mencari hal-hal baru sebagai sarana untuk membuktikan dirinya dapat diakui di masyarakat.
2.Berada di Alam Bebas
Ada tiga fase besar digunakan di sini. Fase pertama dinamakan Challenge SoulBrain. Selama dua hari mereka diajak untuk berada di alam bebas (boleh di sekitar lokasi sekolah atau di luar sekolah). Mereka disadarkan sebagai bagian dari lingkungan, ajaklah untuk melihat pencemaran yang terjadi.
Mereka diharuskan dapat melakukan sesuatu (tentunya tidak harus saat itu juga) sebagai respon terhadap masalah itu. Kemudian disajikan berbagai permainan yang menantang fisik (outbond dan lainnya) tidak peduli mereka berhasil atau tidak melewati permainan demi permainan yang diberikan.
Tanamkan pada dirinya bahwa sebenarnya tidak ada yang tidak bisa dilakukan asal ada kemauan dan usaha keras walaupun hasilnya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi pengalaman pada saat melakukannya dapat menjadi pelajaran berharga untuk digunakan di kemudian hari.
Dibuat kelompok-kelompok kecil dan diciptakan iklim kompetitif dan kerjasama. Ini berguna untuk melatih dan mengembangkan semangat bekerjasama dalam tim. Sistem evaluasi hasil kerja tim lewat diskusi kelompok.
Pada hari kedua, siswa diberi tugas turun ke pasar untuk ikut terlibat dalam aktivitas di dalamnya, seperti berjualan sayur, baju, dan lainnya atau ke panti asuhan cacat ganda. Berikan denah lokasi tempat yang hendak dituju dan uang saku secukupnya.
Uang saku itu diserahkan kepada ketua kelompok dan diatur secara cermat supaya cukup untuk ongkos pulang-pergi dan minum. Waktu yang disediakan kurang lebih dua jam. Ini bertujuan agar siswa semakin peduli dengan keadaan sosial di sekitarnya dan bersyukur atas apa yang mereka dapatkan.
Setelah itu evaluasi lagi dengan cara yang sama. Challenge SoulBrain ditutup dengan refleksi singkat. Berupa evaluasi dan saling membagikan kesan-kesannya selama dua hari.
Fase kedua adalah Spirituality SoulBrain. Pemulihan dari pengalaman trauma dan luka batin serta penetapan tujuan ke depan menjadi fokus utama pelatihan ini.
Ada cara-cara praktis yang sebenarnya dapat dilakukan oleh orang awam selain psikolog sehingga guru-guru pembimbing dapat mempraktikkannya dengan mudah.
Fase ketiga adalah Academic SoulBrain. Fase ini ingin memadukan semua jenis gaya belajar baik itu somatis, audio, visual, dan intelektual. Asumsi ini mengumpamakan jika kita kembali lagi pada cara belajar waktu masih balita.
3. Mengenali Karakteristik
• Lingkungan
Seperti diketahui balita belajar beberapa tugas penting yaitu berjalan, berbicara, makan buang air kecil dan besar, dan mengenali karakteristik lingkungan dalam waktu kurang lebih dua tahun. Bandingkan dengan remaja dan orang dewasa yang rata-rata memerlukan waktu bertahun-tahun hanya untuk mempelajari bahasa Inggris (SLTP 3 tahun, SMU 3 tahun, belum termasuk kursus di lembaga-lembaga pusat pendidikan bahasa Inggris).
Kenapa demikian? Karena balita belajar segala sesuatu dengan menyentuh, meraba, bahkan memukul-mukul suatu benda dengan benda yang lain (somatis), melihat (visual), mendengar (audio), dan akhirnya dengan mempergunakan itu dapat memahami dengan cepat (intelektual).
Minat juga selalu menyertai proses itu, karena semuanya dipelajari dengan riang tanpa ada sedikit pun perasaan bersalah dan malu. Sayangnya segala bentuk minat dan keriangan itu ditekan semenjak mereka bersekolah.
Ada satu peristiwa yang sebagian besar orang pasti mengalaminya. Mungkin masih jelas dalam ingatan kita bagaimana ketika dalam satu pelajaran guru bertanya dan kita menjawab dengan semangat tetapi kemudian jawaban itu salah dan kita ditertawakan oleh teman sekelas. Atau saat gambar kita dikatakan jelek dan diberi nilai yang tidak memuaskan.
Semua kejadian itu akan tersimpan dengan sangat baik dalam pikiran bawah sadar lalu membuat kita semakin menekan minat belajar yang dulu tinggi, membuat beberapa hal yang dulu disukai enggan dilakukan karena merasa malu bila nanti ditertawakan.
Melalui relaksasi dan melatih berbicara secara positif pada diri sendiri sebelum mulai pelajaran, siswa merasa nyaman dan siap untuk menyerap informasi yang hendak diberikan. Setelah itu sesekali adakan satu proses pembelajaran interaktif, siswa disuguhkan permainan interaktif dan memiliki kesempatan untuk menata ruang kelas sesuka mereka , membuat simbol-simbol tentang segala sesuatu yang hendak dipelajari.
Kegiatan semacam itu akan memberikan variasi baru untuk mereka setelah beberapa hari mengikuti pendidikan di kelas dengan sistem formal. Akhirnya diharapkan dapat meningkatkan minat belajar mereka dan kekuatan otak mereka untuk mengetahui segala sesuatunya dengan cepat.
III. KENAIKAN KELAS EKSPRES DAN PROGRAM PERCEPATAN (ACCELERATED LEARNING)
Jika di Indonesia telah mencoba konsep percepatan belajar atau accelerated learning, maka Malaysia sejak lama telah melaksanakan konsep yang disebut kenaikan kelas ekspres. Kenaikan kelas ekspres ini justru diberlakukan pada 'darjah tiga' atau kelas tiga dapat naik ke kelas lima, setelah melalui tes yang diselenggarakan Lembaga Peperiksaan Malaysia. Selain itu, ketentuan lain yang secara tegas dilaksanakan adalah adanya persetujuan dari orangtua siswanya. Apabila orangtuanya tidak setuju, anak tersebut dapat mengikuti proses kenaikan biasa. Persetujuan orangtua ini amat penting karena orantua harus ikut bertanggung jawab terhadap implikasi yang ditimbulkan dari kebijakan kenaikan kelas ekspres tersebut.
Dalam hal kebijakan 'accelerated learning' di Indonesia, Prof. Dr. Suyanto, M.Ed, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, justru tidak setuju dengan pelaksanaan accelerated learning pada jenjang pendidikan dasar, utamanya di SD. Pertimbangannya, sudah tentu dari faktor psikologis dan edukatif, yakni 'siswa SD akan kehilangan waktu bermain' (Republika, 12 Maret 2004). Dalam hal pemberlakukan program akselarasi di SMA pun, Rektor UNY juga tidak setuju jika dilaksanakan dengan kelas khusus. Alasannya karena cara tersebut merupakan satu bentuk diskriminasi bagi siswa. Cara yang paling elegan menurut beliau adalah dengan sistem kredit semester (SKS).
Dengan belajar dari Malaysia tentang kenaikan kelas ekspres, perbedaan pandangan tentang kebijakan program akselarasi di Indonesia harus disatukan dalam bentuk penyusunan konsep yang dirumuskan oleh satu Pokja yang dibentuk oleh Mendiknas yang anggotanya terdiri atas berbagai pakar pendidikan. Hasil kerja pokja masih perlu disosialisasikan kepada masyarakat, dan setelah itu akan menjadi pedoman baku yang akan menjadi acuan para petugas dalam pelaksanaan kebijakan tersebut secara konsisten dan konsekuen.
Dengan program kenaikan kelas ekspres atau pun melalui program percepatan tersebut, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak peserta didik agar 'mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya' (Pasal 12 UU Nomor 20 Thun 2003).
Ada tiga hal pokok menurut hemat peneliti yang erat kaitannya dengan kesuksesan program accelerated learning. Pertama, pandangan terhadap manusia memiliki potensi besar yang bisa dikembangkansecara tidak terbatas. Pengembangan ini dilakukan dengan berbagai cara, meliputi aspek fisik, akal dan emosi. Kedua, pemahaman terhadap prinsip-prinsip akselerasi belajarmerupakan fondasi. Ketiga, belajar agar menyenangkan dan berhasil maka dipersiapkan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud meliputi lingkungan fisik dan emosi. Lingkungan fisik meliputi memperindah ruangan, penyediaan musik, kata pemberi semangat dan lain-lain. Lingkungan emosional yaitu jalinan interaksi antara pembimbing—guru—dan anak didik untuk membentuk saling pengertian.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan(field research). Teknis analisis deskriptif dengan pendekatan induksi analitik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan program akselerasi berjalan dengan baik—belum pada tingkat sempurna—artinya prinsip-prinsip yang mendasari akselerasi belajar telah digunakan dalam proses belajar mengajar—interaksi belajar, metode teknik-teknik dan sarana pembelajaran.hal ini ditunjukkan dari hasil angket sebanyak 65 % siswa menjawab pada tingkat “pelaksanaan baik”. Permasalahan pokok dalam akselerasi belajar adalah kekhawatiran masyarakat dimana hanya akan membentuk kelompok-kelompok ‘elitisme’ atau merasa dirinya ‘super.’ Karena belajar adalah sebuah proses, langkah yang ditempuh adalah dengan membuktikannya. Terlebih kekhawatiran tersebut tidak didukung dengan hasil-hasil penelitian.
Accelerated learning implikasinya terhadap pendidikan, anak didik dilihat secara integral dan holistic dalam seluruh aspek, baik jasmani maupun rohani, baik dunia maupun akherat. Oleh karena itu, mengoptimalkannya melalui belajar dengan melibatkan seluruh tubuh, akal dan emosi serta pembentukan lingkungan belajar, baik fisik maupun emosional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar