DWI ROHMADI MUSTOFA
Mahasiswa Magister Teknologi Pendidikan, FKIP Universitas Lampung
BEBERAPA pekan terakhir sempat mencuat ke media tentang Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Intinya adalah problema yang dihadapi pengelola, terkait dengan pembiayaan operasional. Padahal, pemanfaatan PDS sangat luas. Mahasiswa, peneliti, sastrawan dan sebagainya.
PDS HB Jassin, yang terancam tutup karena kekurangan biaya operasional. Berita itu mencuat. Polemik itu kemudian membuka mata pada peristiwa serupa di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Itu semua hanyalah bagian kecil dari permukaan yang luka. Masih banyak masalah yang dihadapi terkait dengan minat baca. Akhirnya, perhatian banyak pihak tertuju padanya. Lantas, setelah itu apa?
Terkuaknya problematika yang dihadapi PDS HB Jassin harus menjadi momentum untuk menggairahkan kembali budaya baca masyarakat. Kita harus menjadikan buku, naskah sejarah, dokumen, arsip dan sejenisnya sebagai aset bangsa yang tidak ada bandingan harganya.
Di sisi lain, pandangan bahwa koleksi yang ada di PDS HB Jassin jangan dipandang semata-mata dari nilai fisiknya. Sama dengan koleksi pustaka, koleksi pusat dokumentasi harus dilihat dari makna yang terkandung di dalamnya, makna imajinasi dan daya cipta, nilai historis dan kekayaan budaya yang tak ternilai. Berita tentang PDS HB Jassin kian membuka tabir dunia buku dan perpustakaan. Dua benda ini juga selama ini tampak kurang memperoleh perhatian yang memadai.
Sejatinya perpustakaan adalah pusat segala sumber pengetahuan. Ia bisa saja diberi nama pusat dokumentasi. Apa pun namanya, intinya sama, yaitu bahwa perpustakaan adalah suatu tempat membangun peradaban umat manusia.
Melestarikan nilai-nilai budaya merupakan tanggung jawab semua pihak. Pemerintah harus berada di depan dalam menjaga, melestarikan, menyebarluaskan khasanah budaya bangsa. Adanya partisipasi dan peran aktif dari masyarakat adalah modal yang dikontribusikan oleh elemen masyarakat kepada bangsa.
Partisipasi dan kontribusi dari elemen masyarakat membuktikan kemandirian dan kedewasaannya. Itu harus dihargai dan patut diteladani. Dari kasus PDS HB Jassin ini, institusi pemerintah harusnya becermin dari keswadayaan masyarakat.
Dokumentasi sejarah, koleksi karya seni, dan kreativitas yang tersimpan dalam pusat dokumentasi dan perpustakaan harus dijaga dan diberdayakan.
Sesungguhnya, tak dapat disangkal, disadari atau tidak, bahwa setiap orang memerlukan buku. Peran buku dalam komunikasi ilmu pengetahuan sangat vital. Tak dapat dipungkiri, buku turut berperan, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap perkembangan diri seseorang.
Buku adalah samudera ilmu pengetahuan. Dalam buku terkandung cakrawala pandangan dari beragam latar belakang ras bangsa, terekam catatan sejarah para tokoh, tersaji beragam peristiwa. Buku juga berisi konsep-konsep dan metodologi yang bisa diterapkan dalam berbagai konteks.
Untuk dapat memanfaatkan buku dan perpustakaan secara optimal, harus didahului oleh sikap atau kebiasaan gemar membaca. Minat baca harus ditanamkan kepada anak-anak didik, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Dalam diri anak-anak perlu ditanamkan cinta buku dan senang berkunjung ke perpustakaan. Salah satu caranya adalah dengan memberikan bahan bacaan yang sesuai dengan tingkat usia dan minatnya.
Terbentuknya minat baca pada individu akan mendorong suatu sikap gemar membaca dan mewujudkan budaya baca suatu masyarakat. Masyarakat yang gemar membaca, cinta buku, dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang mencintai ilmu pengetahuan. Keragaman sumber informasi yang diperoleh dari membaca buku akan membangun kesadaran tentang keragaman dan penghargaan terhadap perbedaan. Sebenarnya manfaat utama dari kegiatan membaca dan cinta buku adalah terwariskannya khazanah budaya bangsa. Dalam arti yang luas, pada akhirnya minat baca dan cinta buku dapat menopang posisi daya saing bangsa.
Disadari, membaca adalah aktivitas dasar individu untuk memperoleh pengetahuan. Kegiatan membaca pada hakikatnya melibatkan aktivitas semua unsur indrawi dari individu, seperti otak, mata, tangan, mulut, pendengaran, dan penciuman. Pada saat membaca, disadari atau tidak, seseorang akan melakukan penyelarasan atas semua aktivitas indrawinya, demi memahami apa yang dibacanya.
Melalui kegiatan membaca, proses menyimpan dalam memori jangka panjang lebih tertancap. Ini berbeda dengan aktivitas menonton atau mendengarkan. Dalam kegiatan belajar yang dominan aktivitas mendengarkan, daya konsentrasi siswa sangat pendek dan terbatas untuk mengingat apa yang didengarnya. Oleh karena itu, aktivitas belajar yang melibatkan proses seluruh indrawi lebih bermakna dalam membangun pengetahuan siswa.
Dalam hemat penulis, kegemaran baca merupakan basis untuk membangun masyarakat berpengetahuan, berbudaya luhur, dan menjadi landasan bagi daya saing dan kemajuan bangsa. Untuk itu diperlukan penumbuhan, penyebarluasan, dan penanaman semangat gemar membaca. Semua pihak perlu melakukan review atas perannya dalam menumbuhkan semangat gemar membaca. Kita merindukan generasi muda yang haus akan ilmu pengetahuan, yang terejawantahkan pada aktivitas membaca buku.
Aktivitas membaca pada dasarnya mudah dilakukan, bisa di mana saja, kapan saja. Tentunya, yang diperlukan adalah kesesuaian tahapan materi yang perlu dibaca dengan perkembangan usia, dan ketersediaan sumber bacaan yang memadai. n
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 9 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar