Minggu, 08 Mei 2011

UN Lemahkan Karakter

Pendidikan Lampost : Senin, 9 Mei 2011




BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemerintah sebaiknya meninjau ulang pelaksanaan ujian nasional yang dinilai bertentangan dengan semangat pembangunan karakter bangsa yang tengah digalakkan.



Demikian pernyataan tegas Rektor Universitas Muhammadiyah Lampung (UML) Agus Pahrudin pada Seminar Nasional Pendidikan menyambut milad UML ke-24 di aula kampus setempat, Sabtu (7-5). Seminar ini bertema Kontribusi pendidikan agama Islam terhadap perkembangan karakter bangsa.



Menurut Agus, pengembangan pendidikan karakter berarti menampakkan sikap yang baik kepada anak di sekolah. Sikap baik itu, antara lain jujur, sopan, amanah, sportif, dan lainnya.



Agus memaparkan beberapa kelemahan karakter yang ditunjukkan masyarakat dewasa ini, di antaranya mudah menerabas, tidak ingin hal-hal berat, gampang toleran terhadap penyimpangan, sulit melakukan budaya antre, serta perangai-perangai buruk lainnya.



"Saat pelaksanaan UN sering terjadi ketidakjujuran, pembocoran soal, serta penerapan sikap tidak baik lainnya. Pembiaran-pembiaran dan permakluman hal yang tidak baik dalam pelaksanaan UN, kontradiksi dengan muatan pendidikan karakter yang tengah digalakkan," kata dia.



Ia mengatakan dengan adanya UN, yang terjadi bukanlah pedagogi pendidikan atau pengajaran pengetahuan yang baik, melainkan demagogi pendidikan, yakni pengajaran pengetahuan yang buruk. Bahkan penghancuran nilai-nilai pendidikan.



Ia mengatakan sebaiknya pemerintah tidak perlu memaksakan diri dan malu mengambil langkah surut terkait dengan pelaksanaan UN, karena yang dikedepankan kepentingan bangsa dan generasi penerus.



"Terlebih lagi telah banyak analisis pakar pendidikan yang menyatakan pelaksanaan UN tidaklah tepat. UN adalah mekanisme pendidikan yang mengutamakan nilai dan mengabaikan proses, input, dan sarana prasarana yang berbeda di setiap satuan pendidikan," kata dia.



Terkait dengan tema utama seminar nasional hari itu, Agus menyatakan pendidikan agama memiliki kontribusi yang besar dalam membentuk karakter bangsa. Oleh sebab itu, keimanan dan ketakwaan harus menjadi inti dari karakter bangsa.



"Namun demikian, jangan diartikan pendidikan karakter dan pendidikan agama hanya milik guru pendidikan agama Islam. Pendidikan karakter merupakan tanggung jawab seluruh guru mata pelajaran," kata dia.



Ia mencontohkan ketika guru Fisika mengajarkan tentang tata surya atau alam semesta, guru dapat menyatakan bumi tidak mungkin dapat terus berutar pada porosnya jika itu ciptaan manusia. Semua keteraturan yang ada di alam semesta terjadi karena Tuhan yang menciptakan. (MG1/S-2)





FACHRUDDIN



Memahami UN dan US-pun ternyata tidak mudah. Kelulusan bagi peserta didik pada saat ini bukan “lagi” hanya berdasarkan UN, tetapi justeru US lebih dominant. Mata pelajaran yang di-UN kan itu hanya mata pelajaran yang sulit untuk diambil nilai afektifnya, karena tidak terkait langsung dengan sikap. Umpamanya Matematika, fisika, kimia, biologi dan berapa mata pelajaran lainnya. Beserta Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang diharapkan merata dikuasai oleh anak negeri ini. Sedang mata pelajaran yang memungkinkan untuk diambil nilai afektif dan psikomoriknya justeru dilaksanakan di sekolah, dengan ujiannya disebut Ujian Sekolah US. Bilai US dapat diambil sejak sianak dudukm di kelas awal, sehingga tidak ada tuduhan bahwa kelulusan tiga tahun sekolah hanya ditentukan dalam waktu tiga hari seperti apa yang dituduhkan oleh banyak pihak yang tidak sempat mengikuti perkembangan UN dan US.

Tentu lebih banyak mata pelajaran yang di US-kan, ketimbang mata pelajaran UN. Tapi hasil pengamatan Dr. Agus Oahrudin akan mencengangkan kita semua, bila seandainya pada saat pelaksanaan UN telah terjadi pembiaran terhadap kecurangan, dan bahkan peluang besar untuk mempertontonkan tindak kecurangan itu di depan peserta didik. Dan mengakibatkan pelemahan karakter, karena pada saat itu selain para pendidik kehilangan kepercayaan dan simpati dari peserta didik, juga membuat peserta didik kehilangan aeahan kejujuran.

Tetapi salahkah UN, menurut saya tidak sepenuhnya salah. Ibarat ada terjadi pengutilan di sebuah mal, ketika pembeli diberikan kesempatan untuk membuka dan memilih sendiri barang yang akan dibeli tampa pengawasan ketat dari penjaga, maka terjadilah pengutilan barang itu, dan bahkan berulang ulang. Lalu apakah mal yang harus disalahkan, seperti jangan lagi buka mal, kembali ke toko biasa, atau mengapa karyawan penjaga tidak diperbanyak, dan sebagainya. Sebetulnya mental si pengutil yang harus diperbaiki. Bukan mal nya yang ditutup.

Saya yakin kalau ada penyimpangan yang dilakukan oleh para pendidik, maka berarti ada pihak tertentu yang bersifat memaksa. Mana mungkin ada pendidik yang rela mengorbankan harga diri dan menyianyiakan kepercayaan dan simpati peserta didik dengan berbuat curang seperti itu, justeru pada akhir kahir pertemuan. Kesan buruk ini akan dibawa oleh peserta didik justeru disaat akan berpisah.



Tetapi saya juga sependapat dengan bapak rektor, bahwa pelaksanaan UN ini tetap saja harus ditingkatkan kualitasnya, dan diperkecil penyimpangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar