Kamis, 05 Mei 2011

Cegah NII, Tambah Jam Pelajaran Agama


JAKARTA -- Guna mencegah penyebaran radikalisasi di kalangan siswa dan mahasiswa, Kementerian Agama (Kemenag) menyarankan untuk menambah jam ajar agama di SMA dan sederajat. Dengan penambahan jam pelajaran ini, siswa tidak akan mudah disusupi paham tertentu, seperti Negara Islam Indonesia (NII).

Menteri Agama, Suryadharma Ali, mengungkapkan, jam pelajaran pendidikan agama di sekolah, terutama sekolah umum harus ditambah. Sekarang ini, mata pelajaran agama hanya diberikan jatah dua jam setiap minggunya. Padahal satu jam ajar cuma 45 menit. Artinya, total cuma 90 menit per minggu. "Ini yang membuat pengetahuan agama siswa kurang. Mereka jadi mudah disusupi paham-paham radikal berbau Islam," ucap Suryadarma di Jakarta, Minggu, 1 Mei.

Sekarang ini muncul fenomena pelaku terorisme berasal dari sekolah maupun perguruan tinggi berbau Islam. Hal ini makin mencuat setelah munculnya kasus Pepi Fernando, alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Ciputat.

Meskipun begitu, Kementerian Agama (Kemenag) tetap tidak mau melakukan revisi terhadap kurikulum pendidikan agama. Kementerian menilai, belum ada urgensi untuk merubah kurikulum. Sebab, kurikulum yang dipakai sekarang ini sudah proporsional dan tidak mengajarkan radikalisme.

Suryadarma Ali mengatakan, perlu penegasan dan pembedaan yang jelas antara rekrutmen dan pendidikan agama radikal. Rekruitment kelompok radikal sudah terlepas dari institusi pendidikan keagamaan.

Selain itu, perekrutan bisa terjadi kepada siapapun. "Ini rawan kesusupan paham radikal karenanya perlu dipikirkan kembali bagaimana mencegahnya," ungkap Suryadarma.

Bagi Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan ini, konsep NII tidak cocok di Indonesia. Apalagi cari pengembangannya dengan kekerasan dan teror. Sejak dulu, para pendiri bangsa sudah sepakat Indonesia negara Pancasila bukan Islam.

"Ideologi NII tidak mungkin hilang seratus persen. Sebagai sebuah bahaya laten NII akan tetap eksis. Bahkan menggalang kekuatan hingga menjadi akumulasi gerakan yang susah dibendung. Menurutnya, disinilah letak dan fungsi intelijen negara," tegasnya.

Suryadarma menegaskan, pihaknya menanggapi serius isu radikalisme di lembaga pendidikan. Beberapa waktu lalu, hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian menyebutkan, 62,7 persen guru Pendidikan Agama Islam menolak rumah ibadah muslim di lingkungannya.

Hal serupa juga diungkapkan siswa, hanya saja jumlahnya lebih sedikit yaitu 40,7 persen. Survei tersebut dilakukan kepalda 590 dari total 2.639 guru Pendidikan Agama Islam dan 993 siswa Muslim dari total 611.678 murid SMA se-Jabodetabek. (mba/fmc)

Sumber : Fajar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar