Kamis, 13 Oktober 2011

SKB Ujung Tombak Kesuksesan Program PNFI di lapangan

Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah, masalah putus sekolah dan buta aksara itu ternyata banyak bercokol di daerah-daerah dimana Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) itu berada. Aneh tapi nyata, SKB dengan berbagai program pemberdayaan melalui bidang pendidikan nonformal, ternyata sekaligus sebagai daerah yang menyimpan banyak buta aksara. Padahal, sebagaimana diketahui, bahwa tugas pokok dan fungsi SKB itu diantaranya adalah (1) Penumbuhan kemauan belajar masyarakat, (2) Pembuatan percontohan program pendidikan nonformal dan informal, (3) Pengendalian mutu pelaksanaan program pendidikan nonformal dan informal (4) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi pelaksana/pengelola (PTK) pendidikan nonformal dan informal, (5) Penyediaan sarana dan fasilitas belajar, (6) Pengintegrasian dan pensinkronisasian kegiatan sektoral dalam bidang pendidikan nonformal dan informal yang melibatkan instansi terkait serta lembaga mitra yang membantu suksesnya program.

Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa di wilayah kerja SKB masih menyimpan begitu banyak masyarakat yang masih bergelut dengan kebodohan dan keterbelakangan, padahal disetiap tahunnya, SKB selalu memprogramkan aneka jenis pendidikan nonformal dengan dukungan dana yang “lumayan” untuk memberdayakan masyarakat melalui pendidikan nonformal dan informal. Ada program keaksaraan fungsional dengan berbagai keterampilan pendukung yang disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar, baik program rintisan, lanjutan maupun pemandirian. Program pendidikan kesetaraan, Program kecakapan hidup. Program PAUD, Program KWD dan KWK serta berbagai dana block grand lainnya yang jika digunakan sesuai aturan main, pastilah akan sangat besar manfaat yang bisa dirasakan secara langsung oleh sasaran didik.

Namun sayang, semuanya masih jauh panggang dari api, artinya aturan main yang telah ditetapkan itu ternyata masih dimain-mainkan sesuai dengan kepentingan yang menyertai dibaliknya. Apalagi program pendidikan nonformal dan informal yang disusun itu masih sering tidak ada kelanjutannya terkait dengan pendanaan, sehingga yang terjadi adalah ketika selesai program, maka kelompok yang dengan susah payah dibina itu terpaksa ditelantarkan karena sibuk menyusun laporan sambil menunggu dana lanjutan, itu kalau ada. Kalau tidak ada, tamatlah riwayat kelompok binaan, dan inilah yang menyebabkan sasaran didik menjadi buta aksara kembali, karena tiadanya pembinaan serta dukungan dana yang memadai untuk keberlangsungan ' kelompok binaan.'

Dalam teori kamunikasi sosial, dikatakan bahwa Sebuah kelompok akan bertahan lama apabila dapat memberi kepastian bahwa tujuan individu dapat dicapai melalui usaha kelompok, sebaliknya individu setiap saat dapat meninggalkan kelompok apabila ia menganggap kelompok tidak memberi kontribusi bagi tujuan pribadinya, ini seperti apa yang dikatakan dalam teori nilai faktor sosial (social exchange theory) dari thilbout and kelley dalam bukunya Ahmadi (1991) yang mengatakan, orang cenderung untuk senang berkelompok selalu berkaitan dengan kesenangan yang diperoleh dan kerugian atau biaya yang harus dikeluarkan. Artinya disini adalah bahwa buyar atau tidaknya sebuah kelompok binaan itu tidak semata-mata terletak pada dukungan dana, akan tetapi keberadaan pendamping program masih mutlak diperlukan oleh kelompok, sampai mereka benar-benar bisa mandiri.

Konon, upaya pendampingan itu adalah kegiatan dimana seseorang (dalam hal ini pendamping kelompok) berusaha memengaruhi dan mengubah pendapat, sikap dan tingkah laku seseorang (dalam hal ini anggota kelompok belajar) sesuai dengan pesan yang diharapkan, sehingga dari proses komunikasi diatas, kelompok belajar, termasuk masyarakat sekitar bisa ikut terkena imbas dari adanya perubahan pendapat, sikap dan tingkah laku anggota kelompok belajar. Dengan kata lain, SKB sebagai pemangku program pendidikan nonformal hendaknya paham tentang tentang interaksi antar pribadi, yaitu : (1) bagaimana status dan peranan individu dalam lingkungan tertentu; (2) bagaimana ikatan-ikatan individu dengan organisasi sosial maupun politik yang menjadi afiliasi individu; (3) pertemuan-pertemuan apa yang biasa diikuti oleh individu tersebut. Hal ini sejalan dengan istilahnya Soekanto (2002) yang mengatakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Semua itu dilakukan dalam rangka upaya memenuhi kebutuhannya untuk meningkatkan kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan, baik individu maupun kelompok. Jika situasi yang demikian dapat diciptakan oleh pendamping program, maka upaya melestarikan kelompok akan ”membuahkan hasil”.

Ada memang bebarapa SKB yang berhasil memandirikan kelompok binaannya dengan usaha ekonomi produktif, namun belum sebanding dengan anggaran yang dikucurkan oleh pemerintah. Harus diakui disana sini masih terdapat kebocoran dana untuk kepentingan insidental tak terduga yang tidak bisa dianggarkan namun harus dikeluarkan, sehingga yang terjadi adalah 'pengaturan anggaran'. Sebenarnya semua itu bisa diatur, asalkan ada komitmen yang kuat untuk menyelenggarakan program yang benar-benar bisa dirasakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran didik.

Kiranya sudah saatnyalah ada perubahan paradigma dalam mensikapi dana program agar masalah wajib belajar, putus sekolah dan buta aksara itu bisa dikurangi secara signifikan, sehingga program pendidikan nonformal itu memang bisa memberdayakan sasaran didik, dalam arti ikut meningkatkan kesejahteran dan kualitas hidup sasaran didik. Begitu juga pihak Direktorat dalam menyelenggarakan diklat, hendaknya tidak sekedar mempresentasikan aneka kebijakan departemen saja, namun lebih menukik pada permasalahan pemberdayaan guna membongkar lingkaran kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan melalui program yang aplikatif, termasuk sudah waktunyalah pihak Direktorat mendorong keberadaan aneka forum penggiat pendidikan nonformal untuk segera berkiprah nyata, tidak hanya melulu sibuk rapat sambil merapat untuk merapatkan barisan menikmati fasilitas yang didapat.

Mudah-mudahan tulisan ini bisa menginspirasi dan menyadarkan para penggiat pendidikan nonformal untuk berbuat demi kemaslahatan ummat. Wasalam.[eb]



*penulis bekerja di bppnfi reg-4 surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar