Minggu, 16 Oktober 2011

Peran pendidikan non formal Terhadap upaya memerangi traffiking

NING TIAH

Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah penduduk tertinggi. Jumlah penduduk yang begitu besar tentunya muncul berbagai permasalahan kependudukan yang cukup serius, misalnya penyebaran penduduk yang tidak merata (contoh pulau Jawa yang lusanya hanya 5 % dari luas wilayah Indonesia ditempati penduduk lebih dari 60 % dari jumlah penduduk Indonesia) yang terkonsentrasi di perkotaan., akibatnya banyaknya pengangguran , pendidikan rendah dan masalah-masalah social yang lain.

Penduduk buta aksara usia 15 tahun keatas menurut data Depdiknas tahun 2008 berjumlah 9.763.256 orang. Kurang lebihnya 64 % adalah perempuan. Dari jumlah tersebut sebagian besar tinggal di pedesaan. Pengangguran (data BPS menyebutkan pada bulan Pebruari tahun 2006 menunjukan angka pengganguran terbuka cukup tinggi setidaknya ada 10.4 % atau sebesar 11.1 jiwa. Belum lagi permasalahan kemiskinan, angka kemiskinan di Negara kita juga masih cukup tinggi. Kondisi tersebut berdampak secara signifikan terhadap upaya mencari kerja dengan cara bermigrasi baik itu keluar daerah maupun keluar negeri. Menurut laporan ILO 81 juta orang bermigrasi dan 22 juta diantaranya bekerja di Asia dan setengahnya adalah perempuan. Tahun 2002 Depatermen Tenaga kerja dan Transmigrasi mencatat 76 % tenaga kerja Indonesia ( TKI) legal adalah perempuan dan bekerja disektor yang sangat buruk yaitu pembantu rumah tangga dan karyawan hiburan malam (untuk tidak menyebut sebagai pekerja seks.) Begitu tingginya permintaan tenaga kerja di negara tujuan, membuat banyak TKI illegal (berangkat dengan jalur tidak resmi) yang di ‘koordinir’ oleh para tekong (calo).

Dari jumlah masyarakat yang melakukan migrasi ke daerah atau negara lain, mempunyai kerentanan yang sangat tinggi untuk menjadi korban eksploitasi manusia, salah satunya adalah trafiking (perdagangan manusia), yaitu salah satu bentuk kejahatan yang terorganisir (melibatkan sendikat/jaringan) dan masuk peringkat kedua kejahatan terorganisir tingkat dunia setelah perdagangan senjata illegal, baru kemudian sendikat perdagangan narkoba dan obat-obat terlarang.

Pelaku kejahatan mengambil keuntungan yang sangat besar dari praktek tersebut, bahkan ada istilah yang lebih tepat dari praktek trafiking, yaitu perbudakan modern yang melanggar HAM.

Korban direkrut dari tempat tinggalnya oleh perekrut yang dikenal sebagai calo atau “sponsor” kemudian dibawa dan ditampung ditempat transit yang dijaga ketat, korban dilarang keluar dari tempat penampungan, tidak dipenuhi kebutuhan dasarnya secara baik, bahkan seringkali mendapatkan siksaan kalau tidak mengikuti perintah pengelola, baru kemudian dikirim ke tempat kerja atau daerah tujuan (dipekerjakan sesuai pesanan). Didalam kejahatan trafiking dikenal ada 3 wilayah yaitu wilayah pengirim, transit dan penerima.

Korban mendapatkan lebih banyak eksploitasi misalnya bekerja tanpa istirahat yang cukup, tidak mendapatkan gaji atau bentuk eksploitasi lainnya . Untuk memahami bahwa seseorang telah menjadi korban trafiking atau tidak, bisa dilihat dari 3 unsur, yaitu

Proses : perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan, dan penerimaan.

Cara yang umum dipakai adalah : ancaman, penculikan, bujukrayu, penipuan, kekerasan, pemaksaan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan.

Adapun tujuan dari trafficking adalah untuk prostitusi, pornografi dan pornoaksi, ekploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan, pengemisan, pengantin pesanan, jualbeli organ tubuh, kurir narkoba, Pembantu rumah tangga, dll

Untuk kasus korban anak-anak ( individu yang berusia dibawah 18 tahun) unsur kesepakatan atau persetujuan tidak berlaku. Tidak harus semua bagian dari unsur terpenuhi, salah satu bagian dari setiap unsur sudah bisa dikatakan sebagai tindak kejahatan trafiking.

Perempuan dan anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban karena kondisi fisik dan sosial budayanya. Apalagi yang mempunyai kerentanan dari aspek ekonomi, harmonisasi hubungan dalam keluarga, pendidikan rendah, akses informasi yang terbatas, kebutuhan akan pekerjaan. Untuk beberapa korban trafiking dengan tujuan Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA) ada mitos terkait dengan usia, kecantikan, etnik dan lainnya yang oleh sebagian orang (lelaki) sangat dipercaya..

D Indonesia ada beberapa wilayah yang terindikasi sebagai wilayah pengirim (sending area) antara lain ; Jawa barat, Jawa Timur, Jawa Tengah NTB, NTT, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat , Sumatra Utara . Kemudian wilayah transit diantara nya adalah kota Surabaya, Jakarta, Tanjungpinang, Batam, Nunukan, dan beberapa kota besar lainnya.

Berdasarkan hasil analisis dan kajian dari setiap kasus trafiking yang ditangani, ada beberapa factor yang menyebabkan seseorang rentan dan kemudian menjadi korban trafiking. Faktor yang membuat seseorang menjadi rentan untuk ditrafik adalah : perempuan atau anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, orang yang mengalami krisis ekonomi karena kehilangan pendapatan, orang yang kehilangan anggota keluarganya sebagai penopang hidup dan mimpi mendapatkan gaji tinggi (cepat kaya) dari bekerja diluar daerah tanpa menyadari keterbatasan dari tingkat pendidikan maupun ketrampilan yang di miliki.

Sedangkan factor penyebab terjadinya trafiking di Indonesia ( bersifat pendorong) adalah :

Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah
Terbatasnya lapangan pekerjaan yang menyebabkan banyak pengangguran
Kemiskinan, menurut data BPS 40 juta dari 210 juta pendudukan Indonesia berada pada garis kemiskinan
Kurangnya akses informasi yang jelas tentang bekerja keluar daerah/negeri
Terlalu percaya kepada orang lain /agen
Praktek social dan budaya marginalisasi, subordinasi khususnya pada perempuan dan anak sebagai sebuah fenomena ketidakadilan gender

Sedangkan penyebab trafiking yang bersifat penarik adalah :

Kebutuhan akan tenaga kerja yang cukup besar diluar negeri tanpa menuntut pendidikan tinggi
Kesenjangan antara fasilitas kota dan desa
Iming-iming gaji tinggi
Kebutuhan akan pelayanan seks
Kebijakan imigrasi yang ketat.

Untuk memecahkan persoalan trafiking, bukanlah perkara mudah. Akar permasalahan harus teridentifikasi secara tepat, sehingga solusi yang digunakan bisa menjawab permasalahan yang ada. Salah satu sudut pandang penyebab seseorang mempunyai kerentanan tinggi untuk menjadi korban trafiking adalah rendahnya tingkat pendidikan. Pendidikan menjadi akar permasalahan yang kemudian juga bisa menjadi alternatif solusi untuk pencegahan agar anak dan perempuan tidak selalu menjadi korban trafiking.

Berdasarkan angka kasus yang sudah terjadi, dampak yang muncul dan kerentanan yang ada pada masyarakat , sesungguhnya trafiking manusia merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa langkah besar dalam menjawab tantangan tersebut. Salah satunya adalah mengeluarkan Undang-Undang no 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Kemudian dari UU tersebut dijabarkan dalam Perpres 69 tahun 2008, yang secara detail mengatur tentang pelaksanaan UU. Diantaranya adalah terbentuknya Gugus Tugas pencegahan dan penanganan trafiking mulai dari tingkat Pusat sampai kabupaten-kota, disertakan dengan rencana aksi mulai dari tingkat Nasional sampai Kabupaten/Kota.

Dalam Perpres itu, disebutkan bahwa untuk berbagai upaya pencegahan trafiking bisa dilakukan oleh multistakeholder dengan dikoordinasikan oleh Departemen Pendidikan Nasional . Hal ini menunjukan bahwa peran institusi pendidikan, khususnya pendidikan nonformal dalam memerangi trafiking sangatlah strategis. Berdasarkan kasus dan kebutuhan untuk meningkatkan keberdayaan perempuan dan anak agar tidak rentan menjadi korban trafiking, ada beberapa peran yang bisa dilakukan lembaga pendidikan luar sekolah antara lain sebagai berikut :

1) Pendidikan kecakapan hidup (life skill)

Pendidikan non formal sebagai institusi yang relative fleksibel dalam menyelenggarakan pendidikan, diharapkan dapat menjadi alternative untuk dapat memberikan bekal ketrampilan hidup ( life skill) bagi kelompok masyarakat khususnya perempuan dan anak yang tidak mempunyai kemampuan dengan berbagai alasan mengakses lembaga pendidikan formal. Karena pada umumnya korban selalu tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan analisis terhadap situasi yang sesungguhnya membahayakan dirinya. Kemiskinan yang terjadi juga karena tidak dimiliki atau rendahnya ketrampilan hidup dalam mendayagunakan potensi diri dan lingkungannya. Keinginan bekerja keluar daerah/negeri, mengikuti orang lain, dengan iming-iming gaji besar, selalu menjadi kesempatan bagi para trafiker untuk merekrut korban. Dengan berbekal kecapakan hidup, seseorang tidak mudah ditipu. Life skill efektif bukan hanya untuk mencegah agar seseorang tidak menjadi korban, tetapi juga bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan agar korban trafiking mampu menjadi surviver dan mandiri sehingga tidak akan menjadi korban kembali. Tentunya pada penyelenggaraan pendidikan life skill ini juga harus disesuaikan dengan potensi diri dan lingkungan dari peserta belajar, terutama kelompok yang rentan menjadi korban trafiking. Misalnya dengan kecakapan hidup seseorang mempunyai kemampuan untuk menganalisa ketika ditawari pekerjaan dengan ketrampilan terbatas tapi gaji besar, waspada dengan orang yang tidak pernah dikenal tetapi berpura-pura memberikan pertolongan.

2) Pendidikan kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga dan lembaga penyelenggara pendidikan luar sekolah

Kerentanan anak dan perempuan menjadi korban trafiking juga disebabkan oleh pemahaman relasi gender yang masih timpang baik dikeluarga maupun masyarakat. Misalnya beberapa anggapan bahwa anak perempuan adalah “komoditas” yang bisa menghasilkan ‘uang’ baik itu oleh keluarga maupun pihak-pihak yang mengekploitasi/trafiker. Perempuan tidak akan berani melawan ketika diperlakukan tidak adil, dieksploitasi baik fisik, psikis maupun seksualitasnya. Oleh karena itu penting sekali dikembangkan satu model pendidikan keadilan dan kesetaraan gender mulai anak usia dini (PAUD), baik di lembaga keluarga maupun lembaga pendidikan dimana anak-anak mulai belajar. Kurikulumnya dirancang sedemikian rupa, menjadi muatan local atau menjadi bahan ajar tambahan. Materi dan media pembelajaran yang selama ini masih bias gender harus dirombak. Berdasarkan hasil kajian ternyata ketidakadilan gender yang kemudian berdampak terhadap berbagai kerentanan perempuan dan anak juga merupakan hasil konstruksi social lembaga pendidikan, baik itu formal, nonformal maupun informal. Pola asuh keluarga yang responsive gender harus dimulai dari para orangtuanya, kesadaran gender orang tua, guru/tenaga pendidikan sangat menentukan terhadap sikap perilaku anak. Yang juga penting untuk menjadi catatan bahwa pendidikan gender bukan hanya diperuntukan bagi perempuan, tetapi akan lebih tepat kalau itu juga diberikan kepada para laki-laki.

3. Pendidikan ketrampilan, keaksaraan dan kesetaraan

Salah satu factor yang menyebabkan sesorang mudah menjadi korban perdagangan orang, adalah karena terbatasnya ketrampilan, pada umumnya korban hanya mempunyai ketrampilan terbatas, misalnya sebagai pembantu rumah tangga, bahkan seringkali mereka itu dibahasakan “unsklill” karena pendidikan formalnya hanya SD, tidak lulus SD, dan bahkan ada yang tidak pernah sama sekali/buta huruf, maka tidak ada bekal ketrampilan yang dimiliki untuk bisa menjadi pekerja yang professional. Bagi trafiker mereka inilah yang menjadi sasaran empuk, dengan iming-iming gaji besar walaupun tidak mempunyai ketrampilan apapun, mereka tergiur untuk mengikuti bujuk rayu atau tipuan yang dilakukan para pelaku kejahatan perdagangan orang yang akhirnya terekploitasi. Kurikulum dalam pendidikan ketrampilan, keaksaraan maupun pendidikan kesetaraan dirancang dengan muatan materi bagaimana agar seseorang (khususnya perempuan dan anak) mempunyai kemampuan untuk terhindar dari kejahatan trafiking. Sekalipun perempuan tidak mempunyai ijasah dengan jenjang pendidikan cukup, akan tetapi kalau mereka bisa mendapatkan pendidikan keaksaraan, pendidikan kesetaraan dan pendidikan ketrampilan secara baik maka ketika bekerja diperusahaan atau tempat lain akan mempunyai posisi tawar yang lebih baik dan kepekaan terhadap realitas yang sekiranya membahayakan atau tidak menguntungkan dirinya. Pendidikan ketrampilan dan pendidikan kesetaraan ini bisa diakses oleh perempuan dan anak yang rentan ( biasanya dari keluarga dengan kemampuan ekonomi terbatas) maupun anak-anak dan perempuan yang pernah menjadi korban. Banyak anak-anak yang masih pada usia sekolah kemudian menjadi korban, dan setelah tertolong (melalui prores rehabilitasi dan reintegrasi) tidak mudah juga untuk bisa kembali ke lembaga pendidikan formal, banyak pernasalahan yang harus dihadapi, antara lain yang paling berat adalah soal stigma negative, apalagi kalau korbannya sampai terekploitasi secara seksual, mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dll. Yang paling mungkin bisa menerima mereka pada kondisi seperti itu adalah lembaga pendidikan non formal, baik itu yang menyediakan layanan vokasional maupun pendidikan kesetaraan sesuai pendidikan terakhirnya, termasuk juga kalau memang perempuan tersebut buta huruf bisa mendapatkan layanan keaksaraan fungsional. Walaupun tidak semua korban trafiking adalah mereka yang buta huruf , bahkan ada juga yang mempunyai pendidikan tinggipun juga menjadi korban trafiking.

4. Penataan pendidikan para profesi/kursus para profesi

Persoalan trafiking selama ini juga dirasakan sering berkaitan dengan soal rekrutmen TKI/buruh migran(walaupun tidak semua korban trafiking adalah buruh migran) yang dilakukan oleh PPTKIS dan kemudian dilatih /”ditampung” di BLKLN. Banyak BLKLN yang kemudian berjudul dengan nama “Kursus Para Profesi” ( KPP) institusi ini berada dibawah payung pendidikan luar sekolah tentunya. Untuk mencetak para TKI yang berkualitas penataan kurikulum BLKLN atau KPP memang menjadi sangat penting, agar keluaran dari KPP tidak menjadi sasaran empuk dari mafia atau sendikat perdagangan orang dengan berbagai modusnya. Pembekalan yang baik, tidak semata-mata hanya untuk mendapatkan keuntungan dengan cara mengekploitasi orang-orang yang kurang beruntung adalah suatu nilai yang harus diintervensikan secara kuat oleh penyelenggara lembaga pendidikan luar sekolah yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan KPP. Tidak semua KPP nakal, tetapi beberapa kasus dengan modul trafiking teridentifikasi mulai dari proses perekrutan dan penampungan yang notabene nya banyak dilakukan oleh PPTKIS atau KPP.

5. Menyelenggarakan bimbingan belajar dan kreativitas anak dan perempuan disanggar belajar atau PKBM

Kecenderungan anak-anak yang menjadi korban trafiking adalah anak-anak yang Drop Out sekolah dengan berbagai alasan, apakah karena biaya, tidak tertarik dengan sistem belajar di sekolah formal, materi yang terlalu berat sehingga anak tidak bisa mengikuti dan lain lain sebab. Sehingga salah satu yang juga bisa dilakukan oleh penyelenggara PLS, adalah bagaimana memfasilitasi anak-anak diluar sistem pendidikan formal agar mereka tetap bisa bertahan dilembaga pendidikan formal ataupun kalau terpaksa sudah DO ada tempat dimana mereka bisa belajar misalnya di sanggar belajar. Akan sangat bagus kalau disetiap desa ada sanggar belajar untuk anak-anak, mereka bisa memanfaatkan untuk bimbingan belajar, belajar seni, olahraga, ketrampilan (yang berkaitan dengan bakan minat dan krativitasnya) sehingga anak-anak tetap senang belajar dan tidak DO sekolah formal. Terutama untuk anak perempuan, kalau tidak sekolah pasti yang dipikirkan adalah kerja, tanpa bekal ketrampilan maupun pendidikan yang cukup. Kelompok inilah yang paling mempunyai kerentanaan menjai korban trafiking apalagi kalau ekonominya termasuk dalam kategori miskin.

Inilah beberapa peran yang bisa dilakukan oleh lembaga pendidikan nonformal dan informal untuk bisa mendukung dalam pencegahan dan penanganan penghapusan tindak pidana perdagangan orang. Pesan-pesan tentang trafiking hendaknya disisipkan ke dalam materi yang telah ada, sehingga tidak ’merusak’ kurikulum pembelajaran di masing-masing lembaga penyelenggara pendidikan nonformal atau jika memungkinkan materi trafiking dan kesetaraan gender bisa dijadikan materi tersendiri untuk membekali calon-calon tenaga kerja agar terhindar dari pelanggaran Hak Azasi Manusia (trafiking, pelecehan seksual, penipuan.)

Memang tidak mudah untuk menghapus persoalan perdagangan orang, akan tetapi dengan upaya yang di lakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan nonformal, minimal bisa mengurangi jatuhnya korban perdagangan orang.

*Penulis : (Direktur LPKP Jatim, Praktisi untuk perlindungan perempuan dan anak di Malang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar