Senin, 13 Juni 2011

UN dan Stigmatisasi Guru

Pendidikan Lampost : Sabtu, 11 Juni 2011


HANIFAH
Guru SMAN 14 Bandar Lampung

Telah banyak tulisan di media mengenai problem, dilema dan fenomena seputar UN. Dari sekian banyak tulisan umumnya menyoroti adanya dugaan kecurangan yang dilakukan sekolah, terutama guru. Hal ini, menurut penulis, merupakan tindakan diskriminatif, tidak adil, atau meminjam bahasa media pembunuhan karakter bagi guru.

Banyak kalangan beranggapan gurulah yang memiliki peluang paling besar melakukan kecurangan atau membocorkan soal karena guru yang mengawasi siswa di kelas selama berlangsungnya ujian. Kesimpulan ini sangat absurd dan didasari analisis yang dangkal serta ketidaktahuan tentang situasi sebenarnya di lapangan.

Coba kita buka kembali informasi mengenai situasi selama berlangsungnya UN tahun 2008, tahun 2009, dan tahun 2010. Pemberitaan media saat itu diwarnai adanya kebocoran soal UN. Hal itu terindikasi dari beredarnya kunci jawaban melalui SMS di kalangan siswa peserta ujian, bahkan ada yang salah sasaran ke ponsel ibu rumah tangga dan mahasiswa. Yang perlu dicermati, SMS berisi kunci jawaban menyebar sehari sebelum UN dilaksanakan (atau pada malam hari sebelum mata pelajaran yang bersangkutan diujikan).

Berdasar fakta di atas bisa dipastikan pelaku pembocoran soal dan kunci jawaban bukanlah guru pengawas ujian. Karena guru pengawas baru dapat bersentuhan dengan soal ujian ketika harus membagikan soal pada peserta saat ujian dimulai. Selanjutnya jika ada sisa soal akan langsung ditarik pengawas independen/pengawas dari perguruan tinggi yang ditunjuk, sehingga guru pengawas tidak memiliki peluang untuk membaca soal apalagi membuat kunci jawaban. Sedangkan pada UN tahun 2011, jumlah soal sesuai dengan jumlah peserta. Kalaupun ada soal cadangan tersegel rapi, tidak boleh dibuka.

Pembocoran soal bisa saja terjadi pada berbagai tahapan mengingat panjangnya perjalanan naskah soal dari saat perumusan hingga sampai ke tangan siswa pada saat ujian berlangsung. Pelaku pembocoranpun bisa saja berasal dari berbagai kalangan yang terkait dalam penyelenggaraan UN. Hal itu dilakukan dengan berbagai motivasi, antara lain disebabkan adanya kekhawatiran akan dampak psikologis bagi siswa yang tidak lulus sampai dengan motif ekonomi, di mana oknum tertentu memanfaatkan kepanikan siswa, orang tua, dan masyarakat pendidikan, untuk mendapatkan keuntungan dengan menjual kunci jawaban.

Memang tidak tertutup kemungkinan jika ada oknum guru di antara orang-orang yang memanfaatkan kepanikan dan kekhawatiran masyarakat/siswa dalam menghadapi UN tersebut.

Jika siswa merasa bisa mendapatkan kunci jawaban ujian tanpa harus belajar, mereka akan semakin sulit untuk diarahkan mengikuti kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Situasi belajar di sekolah menjadi tidak kondusif. Hal ini berarti akan menambah berat pekerjaan guru dalam memotivasi belajar siswa. Secara tidak langsung juga akan mengurangi kewibawaan guru di mata siswa.

Fenomena kebocoran soal dan kunci jawaban UN serta berbagai indikasi kecurangan sudah selayaknya menjadi dasar bagi pembuat kebijakan bidang pendidikan untuk merumuskan formula baru yang lebih valid, reliable, practicable, fair, berguna, dan berkeadilan. Jika kecurangan dan kekacauan UN terjadi hampir di semua jenjang pendidikan dan meliputi hampir seluruh wilayah pelaksana UN, dapat disimpulkan bahwa ada yang salah pada sistem yang diterapkan. Dan untuk memperbaiki segala kekacauan yang terjadi adalah dengan memperbaiki sistem tersebut.

Evaluasi merupakan bagian integral dari sistem pendidikan sehingga kegiatan evaluasi (UN) mutlak dibutuhkan.

Selain memiliki fungsi edukatif, evaluasi juga memiliki fungsi administratif. Evaluasi menyediakan data tentang kemajuan belajar siswa yang pada gilirannya berguna untuk memberikan sertifikasi (tanda kelulusan) untuk studi lebih lanjut. Evaluasi juga dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan guru dan sekolah dalam proses belajar-mengajar. Jadi UN bisa menjadi kontrol bagi guru dan sekolah untuk senantiasa meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah masing-masing. Jika UN ditiadakan, masyarakat akan dirugikan dengan adanya kemungkinan penurunan mutu pembelajaran di sekolah.

Problema lain yang dapat timbul dengan dihapusnya UN adalah kemungkinan tindak komersialisasi kelulusan siswa oleh sekolah. Bukankah guru juga manusia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar