Sabtu, 11 Juni 2011

‘Output’ Pendidikan Tergantung Proses

Provil Lampost : Minggu, 12 Juni 2011

Drs. Hi. HARYANTO, M.Si.
Ketua Forum RSBI SMP Provinsi Lampung


Hasil UN siswa RSBI yang kalah dari siswa non-RSBI di Bandar Lampung menghadirkan polemik yang melebar. Bahkan, muncul pernyataan-pernyataan spontanitas yang mengarah kepada saling menyalahkan.

Kepala Dinas Pendidikan dengan lugas menyatakan guru yang mendidik di RSBI akan dimutasi karena dinilai gagal mengantar anak didiknya berprestasi di UN. Alasannya, input siswanya yang sudah anak-anak terbaik, fasilitasnya cukup, mengapa output-nya tidak memuaskan.

Lalu, pengamat dan pakar juga saling adu argumen. Ada simpul masalah yang harus dibenahi, yakni pendidikan para guru yang tidak S-2 dan pascasarjananya tidak dalam ilmu linier. Terakhir, mereka merekomendasikan agar guru-guru RSBI difasilitasi untuk sekolah lagi dengan jurusan yang linier.

Seolah sudah mendapatkan jalan tengah. Namun, seperti apa sesungguhnya yang terjadi pada RSBI? Berikut wawancara wartawan Lampung Post Sudarmono dan Sri Wahyuni dengan Ketua Forum RSBI SMP Provinsi Lampung Haryanto, yang juga kepala SMPN 1 Bandar Lampung, Sabtu (11-6).

Anda pasti mengikuti polemik di media massa soal hasil UN siswa RSBI yang jeblok dibanding siswa non-RSBI. Apa komentar Anda?

Ya, saya mendengar, saya membaca. Saya camkan, lalu saya mengambil kesimpulan bahwa cara pandang masing-masing pihak itu mengambil dari sisi yang berbeda. Tentu, sesuai dengan kapasitas dan kepentingannya.

Saya hanya ingin menyampaikan, tidak bijak kita menilai masalah hasil UN siswa RSBI dengan non-RSBI ini. Sebab, UN bukanlah alat ukur yang sempurna untuk menilik seluruh hasil pendidikan yang sangat kompleks itu. Saya setuju dengan evaluasi RSBI, tetapi untuk memberi sanksi atau melakukan perombakan pada suatu sistem yang sedang berjalan tidak semudah yang kita bayangkan.

Bagi saya, UN hanya satu dari alat evaluasi pendidikan. Dan kita semua tahu, UN kita ini belum sempurna. Ini bukan penilaian saya, lembaga sekredibel Puspendik pun melakukan penilain yang sama. Hasilnya, banyak sekali daerah atau sekolah yang mendapat predikat sekolah putih, sekolah abu-abu, dan sekolah hitam. Kita bayangkan, Yogya yang dikenal sebagai kota pelajar dan mendapat predikat daerah putih dari Puspendik pun menempati posisi di atas 20. Ini adalah cermin bagi kita.

Anda seperti mengenyampingkan UN?

Bahasanya bukan mengenyampingkan, melainkan tidak memakai UN sebagai tujuan akhir dari pendidikan. Sebab, yang saya tahu, UN itu hanya indikator keberhasilan aspek kognitif. Kalau dipersentasekan, itu ada 33,3%. Sebab, pendidikan yang akan mewarnai seorang anak ada dua lagi, yakni afektif dan psikomotorik.

Jadi, Anda tidak mempersiapkan siswa RSBI di SMPN 1 Bandar Lampung untuk menghadapi UN setiap tahun?

Saya selalu katakan kepada semua guru, termasuk guru yang mengajar di kelas IX, kelas yang segera menghadapi UN. Saya bilang, jangan berpikir kita belajar untuk menghadapi UN, tetapi kita belajar untuk menyerap ilmu pengetahuan. Itu saja.

Tetapi, kan pelajaran yang diajarkan toh materi yang diujikan untuk UN. Jadi, ya sama saja. Bedanya, kita tidak belajar tentang apa jawabannya tetapi mengapa jawabannya bisa seperti itu.

Sebagai contoh, jika tujuan dari suatu pelajaran adalah supaya di akhir pembelajaran siswa dapat mengoperasikan komputer, misalnya, yang harus dilakukan adalah praktek menjalankan komputer, bukan bisa menjawab pertanyaan siapa penemu komputer.

Baik. Pernyataan Anda ini mengarah kepada sekolah bukan sekadar ajang meraih angka tertinggi, tetapi siswa yang berpendidikan. Bisa contohkan hasil konkret dari sekolah yang Anda pimpin?

Nah, angka-angka hasil berbagai nilai itu memang indikator normatif yang paling mudah diukur. Sementara itu, untuk idealnya hasil pendidikan yang meliputi tiga hal tadi mesti dinilai secara komprehensif dan melibatkan banyak disiplin ilmu.

Saya tidak menyatakan bahwa SMPN 1 Bandar Lampung sudah berhasil secara ideal, tetapi silakan masyarakat menilainya. Indikator-indikator itu bisa dirasakan, tetapi jika disebutkan menjadi sangat relatif dan subjektif.

Tetapi, kalau Anda sempatkan, bolehlah memperhatikan peserta didik di sekolah ini setiap harinya. Disiplin siswa dan guru relatif sudah baik. Interaksi di sekolah juga sudah cukup kondusif. Anda bisa lihat jika waktu salat tiba, tidak perlu diperintah dan diatur dengan peraturan sekolah. Anak-anak yang muslim sudah punya kesadaran sendiri melaksanakan kewajibannya sebagai makhluk Allah untuk beribadah.

Yang lain, yang mungkin bisa lebih mudah menilainya adalah prestasi di berbagai bidang. Anda bisa lihat, jumlah piala yang terpajang di depan itu sudah berapa lemari. Piala itu bukan dibeli, melainkan diraih dengan prestasi. Yang menilai juga bukan kami, melainkan pihak-pihak lain. Sebab, mereka bukan menang di kandang sendiri.

Anda sudah merasa berhasil mengajak pendidikan ke track yang ideal?

Saya tidak mengatakan begitu, tetapi berusaha mengarahkan tujuan pendidikan ke rel yang sesungguhnya. Sebab, menurut saya, mendapatkan angka-angka yang tinggi tetapi tidak mendapat ilmu yang sesungguhnya adalah jalan yang pada saatnya nanti menjadi buntu dan tersesat. Istilahnya kecele.

Jadi, dengan polemik hasil UN RSBI dan non-RSBI, apa yang akan Anda lakukan?

Sebagai kepala RSBI SMPN 1 Bandar Lampung, saya ikuti setiap kebijakan yang diambil pemerintah. Evaluasi itu perlu, karena evaluasi adalah bagian terpenting dalam sistem pendidikan. Yang akan saya lakukan, tetap melaksanakan pembelajaran di sekolah yang mengacu kepada pendidikan paripurna, bukan sekadar mengejar nilai UN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar