Selasa, 13 September 2011

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA LEWAT ADMINISTRASI NEGARA

oleh ELEMARIO


Pendahuluan

Munculnya berbagai tindakan kerusuhan, penjarahan, pembunuhan, perkosaan, dan bahkan perkosaan massal, yang marak terjadi pada waktu bergulirnya gelombang reformasi dan sesekali terjadi sekarang ini, pada hakekatnya merupakan peristiwa penelanjangan diri bangsa kita kepada dunia internasional bahwa karakter bangsa kita memang bobrok. Melalui kejadian-kejadian tersebut, secara kita telah menyampaikan suatu pengumuman kepada dunia internasional bahwa pembangunan yang kita galakkan semenjak kita memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, gagal membentuk suatu karakter bangsa yang beradab (civilized sosiaty). Tidak mengherankan kalau kejadian ini menyentak berbagai komponen bangsa untuk melakukan refleksi dan introspoksi.

Hasilnya, alternatif-alternatif pemecahan masalah bermunculan, antara lain: supremasi hukum, tata ulang sistem dan model pendidikan nasional, tindakan tegas aparat keamanan, dan sebagainya. Tulisan ini mencoba menegaskan perlunya mendekati masalah pembentukan karakter bangsa (character building) secara sistemik atau menyeluruh, dan bukannya secara parsial atau sebagian.


Melihat Pembentukan Karakter Bangsa Secara Parsial

Mungkin yang menarik untuk kita cermati adalah refleksi dan instrospeksi yang dilakukan oleh kalangan yang berkecimpung di bidang pendidikan. Terdapat semacam kesepahaman dikalangan mereka bahwa sistem pendidikan kita gagal membangunan suatu karakter bangsa yang beradab. Kurikulum dan metode pengajaran harus diformulasi ulang untuk menciptakan putra-putra bangsa yang tidak suka kerusuhan, penjarahan, pembunuhan dan perkosaan, serta tentu saja KKN. Ada yang menindaklanjuti masalah ini dengan strategi membentuk manujsia baru melalui pendidikan, yakni manusia yang tidak hanya memiliki intelektual yang tinggi tetapi juga moralitas yang handal. Kemudian, ada yang menyarankan agar pendidikan hendaknya dijadikan persemaian nilai-nilai kejujuran. Akibatnya, muncul gagasan untuk meninjau ulang kurikulum pendidikan formal dalam kaitannya dengan pembentukan karakter bangsa. Terakhir, bermunculan program-program pelatihan yang tujuan membentuk karakter bangsa seperti Mindsetting, ESQ Training, dan semacamanya siap diterapkan.


Usaha yang dilakukan oleh kalangan pendidikan tersebut di atas, patut kita dukung, tetapi harus dengan ekstra hati-hati. Memang pendidikan memiliki peranan dalam pembentukan karakter bangsa. Melalui kegiatan-kegiatan pengajaran di dalam kelas, nilai-nilai moralitas dapat ditanamkan pada anak didik, nilai-nilai karakter bangsa yang dikehendaki dapat disemaikan. Namun, dengan hanya mengandalkan pendidikan semata, upaya untuk membentuk bangsa yang beradab, tidak bisa optimal. Pasalnya, pembangunan karakter suatu bangsa (character building) perlu dipahami sebagai suatu usaha yang sangat kompleks, dan suatu sasaran yang tidak dapat dicapai dengan hanya mengandalkan satu alat saja, dengan pendidikan misalnya. Karakter bangsa yang kita miliki sekarang ini, betapapun bobroknya, adalah buah dari seluruh sistem kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Peranan pendidikan hanya sepersekian persen saja dalam membentuk karakter bangsa itu, karena masyarakat kita tidak hanya belajar berkarakter di dalam kelas. Bahkan karakter mereka lebih banyak dibentuk oleh proses belajar diluar kelas seperti di jalanan, di kantor-kantor pemerintah, kantor-kantor pelayanan umum, di rumah-rumah sakit, di lapangan sepak bola, di rumah ketika nonton acara televisi, dan seterusnya. Tidak ada yang bisa menjamin, apalagi membuktikan, bahwa kebobrokan karakter bangsa kita disebabkan oleh model dan sistem pendidikan kita. Ada kemungkinan bahwa kebobrokan itu disebabkan oleh aspek-aspek lain dari kehidupan kita berbangsa dan bernegara.


Mendekati Permasalahan Karakter Bangsa Secara Sistemik

Kalau kita sepakati bahwa masyarakat kita belajar berkarakter bukan hanya di dalam kelas, tetapi bahkan lebih banyak belajar di luar kelas, maka administrasi negara memiliki andil yang sangat dominan dalam membentuk masyarakat yang memiliki karakter beradab. Sebagai suatu kegiatan dengan Presiden selaku pimpinannya, administrasi negara bukan hanya mampu menjangkau dunia pendidikan tetapi mampu menjangkau semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Administrasi negara memiliki akses ke segala tempat seperti pasar-pasar tradisional, jalan raya, pasar swalayan, alat transportasi, kantor-kantor pemerintah, kantor swasta dan seterusnya, dan akses kepada semua kegiatan kegiatan-kegiatan pemerintah seperti rekrut pegawai, tender proyek, pelaksanaan proyek dan seterusnya, untuk mengajar masyarakat bagaimana berkarakter yang beradab. Administrasi negara mampu menyediakan kondisi dan situasi pada tempat dan kegiatan tersebut, kepada masyarakat yang dapat dipergunakannya untuk belajar berkarakter yang baik.

Jika kita cermati situasi yang berkembang, sebenarnya administrasi negara sudah memperlihatkan peranannya dalam membentuk karakter bangsa melalui penyediaan situasi dan kondisi bagi masyarakat untuk belajar berkarakter. Pada era reformasi di bawah pimpinan Habibie, tercatat sejumlah kebijakan yang dapat memfasilitasi masyarakat untuk belajar berkarakter. Yang signifikan untuk dicatat adalah ketika Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No 26/98 pada tanggal 16 September 1998. Melalui Inpres, negara tidak membenarkan adanya istilah pribumi dan non-pribumi. Dengan ketentuan ini, masyarakat kita dapat belajar bahwa semua warga negara sama kedudukannya dalam pemerintahan. Tidak Cina, tidak melayu, tidak Bugis, Tidak Makassar; Tidak Islam, Tidak Kristen, Tidak Hindu, semua sama. Tidak ada diskriminasi. Dan yang lebih penting, Inpres itu mengajar masyarakat bahwa tidak boleh ada komponen bangsa (khususnya pribumi) yang menganggap dirinya lebih berhak, lebih baik, dari pada komponen bangsa lainnya (non-pribumi). Dalam Inpres itu, salah satu unsur pendidikan yakni ‘learn to live together’ (belajar hidup berdampingan) yang disarankan oleh Unesco, dapat terakomodasi dengan baik.

Pada era pemerintahan Gus Dur, terlihat bahwa peranan administrasi negara dalam membentuk karakter bangsa semakin bergairah. Dengan kewenangannya untuk mencipta hukum melalui Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Menteri dan seterusnya, dan bahkan untuk mencabut hukum yang pernah diciptanya, fungsi administrasi negara semakin memperlihatkan arahnya dalam pembentukan karakter bangsa yang civilized. Ketika Pemerintahan Gus Dur mengeluarkan Keppres 6/2000 dan mencabut Inpress 14/67, maka orang Cina pun boleh merayakan Imlek Capgome secara terbuka. Banyak pelajaran moral yang tersedia bagi masyarakat dengan lahirnya keppres 6/2000 tersebut. Dengan perayaan Imlek yang terbuka itu, maka warga keturunan Cina tidak ada alasan lagi untuk tampil eksklusif atau tertutup, sehingga proses asimilasi dan saling pengertian antar budaya dengan sendirinya terdorong. Begitupula, masyarakat luas bisa belajar bahwa orang Cina pun ternyata dermawan, memiliki kepekaan sosial yang diwarisi dari leluhurnya melalui budaya ampauw, yang dibagikan-bagikan kepada fakir miskin di sekitarnya. Jelas, proses belajar seperti ini tidak bisa didapatkan di dalam kelas, melalui perubahan kurikulum dan metodologi pengajaran.

Mungkin yang paling signifikan untuk dicatat di era Pemerintahan Gus Dur, dalam kaitannya dengan pembentukan karakter bangsa, adalah dicabutnya Keppress 29/88 tentang Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) dan Keppres 16/90 tentang Penelitian Khusus (Litsus). Pencabutan dua kepp+res ini dengan sendirinya menyediakan banyak pelajaran berbangsa dan bernegara bagi masyarakat. Dengan tidak adanya litsus, masyarakat bukan hanya bisa belajar tetapi bahkan mengalami sendiri, bahwa negara menaruh kepercayaan yang tinggi kepada masyarakat untuk berkarakter dan berbuat baik, sehingga tidak perlu dicurigai (baca: dilitsus) oleh negara. Dengan pencabutan kepress tersebut, negara sudah memulai memperlakukan masyarakatnya secara sama, tidak ada komponen bangsa lain yang lebih superior dari komponen lainnya. Pencabutan keppress ini dapat dijadikan sebagai momentum bagi pemerintah untuk melihat kembali peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan semenjak orde baru, orde reformasi hingga sekarang. Apakah peraturan-peraturan itu menyedikan situasi dan kondisi kepada masyarakat untuk belajar membangun karakter mereka? Apakah ada-ada peraturan-peraturan yang malah mendidik masyarakat untuk tidak berkarakter? Kemedian di Era Pemerintahan Megawati, upaya ke arah kesederajatan semakin kuat, misalnya dengan diundangkan Pilpres langsung. Dan terakhir pemerintahan sekarang ini semakin mendorong upaya kesederajatan itu, melalui Pilkada langsung, misalnya.

Apa yang dicontohkan di atas hanya memperlihatkan bahwa betapa efektif peranan administrasi negara dalam membangun karakter bangsa, kalau fungsi ini mau diarahkan ke sana. Dengan kewenangan untuk mencipta hukum saja, administrasi negara sudah mampu masuk ke semua tempat dan kegiatan, lalu menyediakan situasi dan kondisi pada masyarakat untuk belajar berkarakter. Ini belum menyentuh kewenangan administrasi negara yang lain, seperti memberikan beban (pajak), memberikan keuntungan, memberikan dispensasi, memberikan izin, memberikan lisensi, memberikan konsensi, memberikan pembinaan masyarakat, kepolisian, memberikan peradilan atau penyelesaian persengketaan, mendorong proses supremasi hukum, dan seterusnya.



Penutup

Kalau kita sepakati bahwa pembentukan karakter bangsa harus dilihat secara sistemik dalam menanganinya, maka administrasi negara memiliki andil yang besar untuk memecahkan masalah kebobrokan karakter bangsa kita. Oleh karena itu, dalam memfungsikan kewenangan-kewenangan administrasi negara hendaknya tetap memperhatikan pembentukan karakter bangsa (character building). Kalau ini dilakukan, maka barangkali lembaga pendidikan tidak perlu menjejali kurikulum mereka dengan materi yang dimaksudkan untuk membentuk karakter bangsa, tidak perlu menyetir metodologi pengajaran ke arah pembentukan karakter bangsa. Biarkanlah lembaga pendidikan berkonsentrasi untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, dan hanya proporsional menangani aspek moralitas masyarakat, agar lembaga pendidikan itu dapat menghasilkan profesional dan spesialis yang handal yang sangat kita perlukan dalam mensejajarkan bangsa kita dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Dan biarkanlah aspek moralitas masyarakat ditangani secara sungguh oleh administrasi negara dengan presiden sebagai pimpinannya. Kalau dunia pendidikan berusaha sendiri menangani pembentukan karakter bangsa melalui perubahan kurikulum, jelas akan menimbulkan cost atau pengorbanan pada aspek lain yakni pembentukan pengetahuan dan keterampilan. Jangan sampai kita berupaya menutup suatu lubang dan tanpa sengaja kita telah membuka sebuah lubang baru!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar