Buras Lampost : Minggu, 8 Mei 2011
H. Bambang Eka Wijaya
"GEJALA prokekerasan berlatar agama yang meluas di kalangan pelajar seperti hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Koran Tempo, 26-4), membuat pada Hari Pendidikan lalu banyak orang mempertanyakan pendidikan watak atau karakter generasi muda!" ujar Umar. "Sebab, sikap itu mencerminkan pendidikan watak pada generasi muda minim nilai-nilai Pancasila, seperti kerukunan dan toleransi umat beragama!"
"Hal itu jelas memprihatinkan!" sambut Amir. "Itu konsekuensi dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan sehingga nilai-nilai Pancasila, seperti musyawarah, gotong-royong, kerukunan, dan toleransi beragama ditinggalkan. Padahal nilai-nilai itu kini sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan suatu bangsa yang pluralistik!" (Kompas, 6-5)
"Perubahan itu berdasar kurikulum 2006, sesuai garis UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas yang alergi pada pengajaran dan praktek Pancasila era Orde Baru yang indoktrinatif dan represif!" tukas Umar. "Karena itu, ayunan pendulum pun dibuat pada sisi terjauh dari era Orde Baru, Pancasila hanya jadi pelajaran hafalan semata, tanpa dilengkapi usaha aplikasinya ke sikap yang bisa membentuk karakter atau watak! Akibatnya, pendidikan karakter atau watak pun jadi minim Pancasila!"
"Namun, pemerintah tampak cepat menyadari dan mencerna kritik dari segala penjuru yang mengalir deras terakhir ini!" timpal Amir. "Mendiknas Moh. Nuh menegaskan segera merombak kurikulum, sekaligus empat mata pelajaran yang menjadi perekat dan identitas nasional kebangsaan. Yakni, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Matematika!" (Kompas, 7-5)
"Perbaikan kurikulum penting bagi pendidikan karakter atau watak generasi muda, lebih-lebih dengan kelengkapan aplikasi proses internalisasi nilai-nilai ajarannya, dalam hal ini Pancasila!" tegas Umar. "Meskipun demikian, sebaik apa pun tekstual mata pelajaran terkait pendidikan karakter atau watak, selalu tak cukup untuk menggerakkan atau motorisasi nilai-nilainya! Karena karakter atau watak lebih terbentuk secara kontekstual—realitas sosial masyarakat tempat ajaran dan nilai-nilai ideal itu benar-benar hidup dan nyambung dengan nilai-nilai dalam proses pendidikan watak!"
"Tekstual nyambung dengan kontekstual!" timpal Amir. "Tapi kuncinya pada kontekstualnya! Kalau kontekstualnya tidak ideal, banyak orang terbelah kepribadiannya, lain kata (tekstual) lain pula perbuatannya (kontekstual)—mirip sekarang!" ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar