Tidak menyekolahkan anak di sekolah formal, yang kini terwadahi dengan sebuah istilah 'keren' homeschooling atau home-education memang gampang-gampang menantang. Gampang karena fleksibel (anak tak perlu didesak menguasai sebuah topik pelajaran ketika belum tertarik, juga mereka tak perlu harus stres ikut ujian manakala belum siap, serta anak bisa belajar di manapun mereka merasa nyaman, entah di kasur, di teras, di dapur, di rumah pohon, dll). Akan tetapi tantangannya dan juga idealnya, orang tua mau tak mau harus memiliki rancangan kasar 'kurikulum' (sesederhana apapun) untuk menunjang pendidikan di rumah. Kurikulum itu adalah pemandu arah sehingga pendidikan yang dilakukan punya tujuan yang jelas.
Panduan itu juga sekaligus bisa mengukur seberapa besar kapasitas orang tua, sehingga bisa menjadi pemandu dan mefasilitasi anak-anak pada bidang-bidang yang telah dirancang dalam kurikulum. Jika orang tua merasa tidak punya kapabilitas, tentu bukan alasan item kurikulum dihapus, tapi orang tua bisa gunakan guru yang ahli di bidang tersebut untuk mengajar anak-anak kita. Sebuah solusi sederhana yang menurut saya tak akan ada perdebatan. Bahkan anak-anak sekolah formal pun sering akhirnya memanggil guru atau ikut bimbingan belajar tambahan jika di sekolah anak-anak masih kurang mengerti pelajaran tertentu, dan juga pasti ikut kursus lain secara mandiri di luar untuk keterampilan-keterampilan yang tidak tersedia gurunya di sekolah. Prinsipnya begitu sederhana dan tidak ada yang aneh atau asing.
Oleh karena itu, saya hanya mengingatkan diri sendiri bahwa sangat-sangat wajar jika kebutuhan beberapa orang tua terhadap lembaga pendukung homeschooling itu ada. Bukan sebuah cela saya kira, ketika orang tua yang meng-homeschoolingkan anaknya untuk menggunakan jasa bimbingan belajar/lembaga pendukung yang menyediakan bahan-bahan ajar (modul) dan bahkan tenaga pengajar untuk membimbing anak-anak mereka. Hal itu adalah sebuah realitas sosial normal zaman ini.
Akan tetapi, persoalan lain yang muncul dari lembaga pendukung ini adalah label homeschooling pada merek lembaga TANPA mencantumkan sub-nama penjelas lain yang membuat masyarakat jadi nyata jelas mengerti esensi lembaga tersebut. Misalnya saja bimbingan belajar (bimbel), meski yang diajarkan adalah sama-sama pelajaran sekolah, tapi nama mereka tidak pakai istilah sekolah, melainkan bimbel X, B, dll. Hal itu membuat masyarakat langsung mengerti perbedaannya.
Nah, sayangnya, Lembaga Pendukung Homeshooling yang hari ini ada, tidak mencantumkan sub nama penjelas tersebut. Padahal ya, kalau mau memakai istilah Lembaga Pendukung Homeschooling dan dibuat singkatan LPH misalnya, hal itu akan menjadi lebih tepat-padan dengan esensi lembaga tersebut dan saya kira tidak akan mengurangi animo orang untuk daftar jika jasa yang ditawarkan memang dianggap penting dan bermanfaat.
Mengapa Pencantuman Sub-Nama itu Menjadi Penting?
Apalah arti sebuah nama, mungkin begitu kata Sheakspeare. Namun tanpa sub-nama penjelas pada merek lembaga pendukung homeschooling terbukti membuat homeschooling jadi rancu dipahami masyarakat dan bisa berefek pada beberapa hal berikut ini:
1. Karena tidak semua masyarakat mengetahui esensi homeschooling, maka penamaan homeschooling tanpa sub nama penjelas pada lembaga pendukung, membuat masyarakat menganggap bahwa homeschooling itu ya begitulah modelnya: HARUS daftar, HARUS bayar iuran bulanan, HARUS punya uang banyak, dll, tak beda dengan sekolah formal. Tentu akhirnya, orang-orang yang tertarik menjalankan homeschooling tapi tidak mampu secara biaya, menganggap homeschooling itu mustahil bagi mereka, dan menyerah kalah pada keadaan. Padahal homeschooling bisa dilakukan secara mandiri. Bukankah Buku Sekolah Elektronik kini digratiskan? Bukankah resource homeschooling berbahasa Inggris pun kini bertebaran di internet secara cuma-cuma? (Lesson Pathways misalnya. Dan orang tua yang merasa sanggup mengajar anaknya bisa memanfaatkan fasilitas tersebut dengan mengunduhnya dari internet.
2. Meski saya tak menafikan adanya kebutuhan lembaga pendukung pendidikan anak, namun tentunya haruslah dalam koridor mencerdaskan, bukan semata komersial. Tanpa kejelasan informasi tentang apa intisari homeschooling, maka sangat mungkin muncul lembaga-lembaga pendukung berlabel homeschooling yang bahkan pendirinya pun tidak mengerti apa itu homeschooling, memberikan layanan asal-asalan, karena hanya memanfaatkan ketidaktahuan orang tua saja.
Di luar itu semua, jika praktisi/keluarga homeschooling butuh lembaga pendukung, saya kira siapapun tak akan bisa menghalangi mereka untuk mendaftarkan diri ke lembaga tersebut jika hal itu benar-benar diperlukan dan dana yang tersedia memang memadai dan rasional untuk itu. Tentang untung-rugi, saya kira para orang tua zaman sekarang sudah cukup cakap untuk menilai, apakah jasa yang ditawarkan itu menguntungkan ataukah sebaliknya. Pastikan ada free trial untuk mencegah penyesalan.
Adapun buat para owner Lembaga Pendukung Homeschooling: Please, dengan segala kerendahan hati, saya sebagai orang tua homeschooler menyarankan, cantumkan sub nama penjelas Lembaga Pendukung atau apalah yang sekiranya tepat di depan Merek Lembaga Anda supaya masyarakat tercerdaskan soal istilah ini. Jangan sampai kita secara sengaja menyamarkan pengetahuan yang terang-benderang menjadi abu-abu untuk bangsa kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar