Diakui atau tidak dengan pertumbuhan populasi manusia yang semakin tidak terkendali pasca hilangkannya program KB, maka kebutuhan hidup pun meningkat tajam, untuk memenuhinya, manusia berusaha memanfaatkan kekayaan alam tanpa diimbangi dengan upaya “penanaman kembali” untuk menjaga keseimbangan lingkungan alam.
Upaya penyadaran tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam agar bencana tidak bermunculan adalah melalui pendidikan nonfromal, salah satunya lewat program keaksaraan. Hal ini mengingat bahwa sasaran penyadaran ini adalah masyarakat kelas bawah yang dekat sekali dengan dampak perusakan alam lewat dialog, memberi informasi dan pembelajaran kontekstual berdasar kehidupan mereka sehari-hari.
Memang, diakui atau tidak, kondisi lingkungan alam kini semakin memprihatinkan, penggundulan hutan membabi buta terjadi dimana-mana, kekayaan alam bawah tanah di eksploitasi habis-habisan dan aneka jenis polusi diproduksi setiap hari, dampaknya pun jelas terasakan, anomali cuaca, iklim ekstrem yang melahirkan gempa, longsor, banjir, gelombang laut, angin puting beliung, munculnya aneka penyakit baru dan bencana alam lain yang ikut meramaikan kehidupan. (mungkin ini adalah cara alam semesta menjaga keseimbangan hidup).
Keadaan yang demikian itu mengharuskan dunia pendidikan nonformal segera mengubah format penyelenggaraan programnya, tidak sekedar berupaya sasaran didik bisa menguasai pengetahuan, membaca, menulis dan menghitung, tetapi faktor penguasaan keterampilan yang bisa dijual haruslah menjadi tolok ukur keberhasilan sekaligus menyisipkan pesan-pesan pelestarian lingkungan alam dalam pembelajarannya, tidak hanya sekedar lancar dalam menyelesaikan program dan laporan peng-SPJ-an tanpa ada kelanjutannya. Contoh kongkrit adalah model keaksaraan di lingkungan masyarakat sekitar hutan yang dikembangkan oleh Marliah dan kawan-kawan, dimana dalam program tersebut masyarakat tidak hanya diajari calistung (membaca menulis dan berhitung) saja, tetapi juga diberi penyadaran akan pentingnya memanfaatkan hutan dengan tanaman “tumpang sari” sembari turut serta menjaga upaya pelestarian hutan, termasuk melibatkan masyarakat dalam penghijauan serta mengelola kegiatan ekonomi produktif secara berkelompok. Sayangnya model pemberdayaan yang disusun oleh pamong belajar BPPNFI Surabaya ini tidak ditindak lanjuti menjadi program rutin Balai, misalnya dalam bentuk desa binaan sebagai laboratorium pengembangan model pendidikan nonformal yang membanggakan, sehingga tidak sekedar seolah-olah hebat dalam laporan dan cerita.
Mungkin tidaklah terlalu salah jika dalam tulisan ini dicontohkan kelakuan Kepala SKB Nganjuk dalam upaya melestarikan program pendidikan kecakapan hidup bidang menjahit, bordir dan tata boga dengan jalan mengumpulkan beberapa mantan peserta program yang belum bisa kerja sendiri kedalam sebuah kelompok belajar usaha yang dipusatkan di kampus SKB sebagai basis bekerja dan belajar, sehingga di SKB setiap hari terlihat ramai oleh masyarakat (mantan peserta program) yang memanfaatkan fasilitas SKB untuk mengasah keterampilannya. Hasil yang telah ditorehkan oleh mereka adalah sering mendapat order pembuatan seragan sekolah, order jahitan, order bordiran dan pesanan penyediaan snack dan nasi kotak untuk berbagai kegiatan, seperti rapat dinas. “Disini peran SKB adalah mencarikan order dan menyediakan fasilitas sekaligus penanggungjawab kualitas, kadang juga mengajak belajar bersama untuk meningkatkan variasi keterampilannya.” Kata Kepala SKB yang berperawakan kurus namun sehat ini dengan senyum manisnya. Begitu pula dengan SKB Situbondo yang mengajak warga belajar pendidikan kesetaraan menanam jagung dan melon yang hasilnya ternyata laku dijual, sehingga menyemangati mereka untuk menanam dan menanam kembali secara swadana dan swadaya, walaupun program untuk itu sudah selesai dan tidak berlanjut.
Mungkin kelakuan SKB Nganjuk dan SKB Situbondo ini sudah pula dilakukan oleh SKB dan PKBM lain, Namun yang ingin disampaikan disini adalah, sudah saatnyalah program yang dijalankan itu tidak sekedar menggunakan jargon “Habis dana program, bubar pula kegiatannya dan peserta pun kembali bodo”, tetapi harus berubah menjadi “Program selesai, laporan lancar, kegiatan jalan terus secara mandiri dengan memutar dana program yang dianggarkan” sehingga disini akan terlihat bahwa program pembelajaran pendidikan nonformal itu bermanfaat nyata bagi sasaran program. Jangan lupa dalam melaksanakan program PNF, SKB maupun PKBM juga punya kewajiban moral membantu pemerintah dalam upaya mengkampanyekan pelestarian alam, cinta flora dan fauna, program penghijauan, program keluarga berencana, program hidup sehat, penyadaran akan resiko kebencanaan dalam rangka menciptakan kehidupan sosial kemasyarakatan yang rukun damai dan selaras dengan alam. Itulah mungkin yang dinamakan program pendidikan nonformal yang benar-benar memberdayakan. Wallahu a’lam bis showab. [Ebas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar