Oleh Zainul Mun'im
Staf Peneliti Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Melihat compang-campingnya kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini membuat kita semua mempertanyakan apa yang salah dengan negara ini. Korupsi, kriminalitas, dan masalah-masalah yang lain selalu mewarnai televisi kita. Mulai kejahatan kelas tinggi yang dilakukan para elite politik negara ini hingga kejahatan kelas teri yang lakukan oleh rakyat biasa. Ada apa dengan bangsa ini? Bila kita tarik garis lurus, dapat diambil kesimpulan bahwa semua hal yang terjadi saat ini akibat kegagalan kita dalam dunia pendidikan karakter.
Hal ini semakin didukung dengan penerapan sistem pendidikan yang menjadikan nilai sebagai standardisasi keberhasilan siswa dalam sekolah, yang pada akhirnya membuat siswa merasa ketakutan sehingga memakai segala cara untuk mencapai standar nilai tersebut, tidak lagi berlandaskan asas sportivitas dan kejujuran. Asal nilainya tinggi, walaupun beperilaku tidak benar dan sopan, bisa dipastikan akan berhasil dalam pendidikannya, begitu juga sebaliknya. Upaya semacam ini merupakan salah satu alasan mengapa kebanyakan peserta didik walaupun berprestasi baik, tetapi tidak berperilaku baik seperti yang diharapkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Bila kita melihat Undang-Undang Bab II Pasal 3 No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mana pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dan Pasal 1 UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Berangkat dari undang-undang ini, dapat kita temukan bahwa garis besar dari tujuan pendidikan nasional adalah selain mencerdaskan peserta, juga terciptanya karakter peserta yang beriman, mandiri, dan berahklak mulia. Bila demikian, dengan melihat potret-potret dunia pendidikan saat ini, bisa dikatakan sistem pendidikan nasional sudah gagal memenuhi tujuan undang-undang di atas.
Hal ini terlihat dari data mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia, data tersebut sebagai berikut: (1) Tingkat kecerdasan 79%, (2) Kemandirian 13% (3) Usaha 67% (4) Percaya diri 11% (5) Kepekaan 19%, dan (6) Kepemimpinan 4%. Berdasar data ini, memang seakan sistem pendidikan nasional berhasil dengan prosentase 79% tingkat kecerdasan, akan tetapi hal itu tidak diikuti dengan tingginya persentase karakter jiwa perserta didik, seperti kepekaan, percaya diri, bahkan kepemimpinan.
Terlepas dari semua faktor yang ada, sebesar apa pun dampaknya, kurangnya pendidikan karakter telah membuat peserta didik dan sekaligus bangsa seakan kehilangan martabatnya. Memang dari satu sisi pendidikan nasional berhasil mencerdaskan anak bangsa, akan tetapi hal itu tidak cukup, mengingat keberhasilan seseorang tidak hanya diukur dari kecerdasannya, tetapi juga sikap dan karakternya.
Sikap dan karakter merupakan suatu yang tidak kalah penting dari kecerdasan bagi anak-anak, bahkan sebagian orang menganggapnya lebih penting. Buktinya terdapat sebagian orang yang gagal ketika di sekolah, akan tetapi di masa tuanya mereka begitu berhasil disebabkan pendidikan karakter yang dialaminya. Sebut saja Albert Einstein, siapa yang menyangka kalau penemu teori “relativitas” ini dikeluarkan dari sekolah semasa kecilnya, tetapi saat sekarang, siapa yang tidak mengakui keberhasilannya dan masuk dalam daftar orang berpengaruh di dunia.
Di sinilah pentingnya mengutamankan pendidikan karakter, keberhasilan seseorang bahkan suatu bangsa bukan hanya dengan dibekali kecerdasan yang mempuni, akan tetapi juga pembentukan karakter yang berjiwa mandiri, penuh tanggung jawab, dan berahklak mulia seperti yang tercantum dalam undang-undang.
Membangun karakter yang mandiri dan bijaksana harus melibatkan kerja sama dan dukungan dari semua kompenan bangsa, dalam hal ini lembaga pendidikan memiliki peran besar untuk menjadi motor penggerak dengan menyosialisasikan pendidikan karakter tersebut, dibarengi dengan segenap upaya sekolah dan kampus agar memasukkan nilai-nilai moral dalam setiap mata pelajarannya. Tidak cukup dengan itu, kita membutuhkan cara yang tepat untuk mendidik para anak bangsa.
Cara itu dapat melalui dua kategori. Pertama, secara formal, yaitu dengan memasukkan bahan pelajaran yang dapat menunjang karakter anak, seperti mata pelajaran budi pekerti atau akhlak sebagai pedoman bagi peserta didik. Dan secara tegas memberi punishment kepada siswa yang terbukti melanggar dan penghargaan bagi yang berprestasi. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan, maka tidak akan efektif bila hanya menjalankan salah satunya. Dengan catatan punishment tersebut adalah punishment yang tidak memberi dampak psikologis bagi siswa, seperti dengan menggunakan kekerasan yang keterlaluan.
Kedua, secara informal, yaitu pendidikan karakter dilaksanakan melalui membiasakan kebiasaan-kebiasaan yang positif pada siswa, seperti menjadwalkan kerohanian, upacara kebangsaan dan pramuka dan lain sebagainya. Strategi yang keduan ini sangat diperlukan mengingat aktivitas siswa tidak selalu berada di sekolah. Oleh sebab itu, perlunya pendidikan dengan kebiasaan-kebiasaan seperti di atas.
Dengan dibarengi upaya mencerdaskan peserta didik, bukan mustahil tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam undang-undang akan tercapai. Dan menjadi solusi yang mujarab untuk mengatasi dinamika pendidikan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar