Oleh Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Eveline Wittmann dalam Align: Don’t Necesarely Follow (2008) dengan gamblang menegaskan perubahan kebijakan dalam dunia pendidikan merupakan kebutuhan intrinsik dunia pendidikan yang tidak bisa dihindarkan oleh negara manapun di dunia. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan isu global, seperti kualitas, profesionalisme dan persaingan, dunia pendidikan jelas harus mengubah cara pandang mereka, baik terhadap desain dan rangkaian kurikulum, instructional strategies, serta sistem pendidikan yang dikehendaki masyarakat.
Karena ketiadaan perubahan kebijakan yang signifikan, hasil riset 15 tahun terakhir di beberapa negara menunjukkan persoalan pendidikan lebih sering dikemas dalam balutan politik secara serampangan, sehingga menghasilkan pertumbuhan yang tidak seimbang dan tidak konsisten antara sesama birokrat, politisi, dan masyarakat. Meskipun dalam sepuluh tahun terakhir Indonesia menghasilkan banyak peraturan dan perundangan mengenai pendidikan, dalam prakteknya terjadi banyak overlaping dan kesalahan dalam implementasi program-program pendidikan (Gary K. Clabaugh dan Edward G. Rozyki: 2006).
Inefektivitas akan terjadi lagi di Indonesia dalam duapuluh tahun ke depan, jika dari sekarang baik para politisi, birokrat dan masyarakat tidak memiliki konsensus tentang ke mana tujuan pendidikan akan diarahkan. Pembaharuan kebijakan pendidikan melalui konsensus antarbirokrat dengan masyarakat tampaknya harus dijadikan prioritas Mendiknas saat ini. Dan itu harus dijadikan bingkai dialog secara terbuka antarbirokrasi di tingkat pusat dan daerah dalam mencermati dan membuat rancangan program pembaharuan pendidikan ke depan. Melacak isu dan mengembangkan pendekatan adalah bagian penting dari sebuah konsensus.
Konsensus dalam bidang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka mengetahui harapan (expectations) masyarakat terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya, dengan tidak lupa memberi peran (tasks) mereka untuk terlibat secara langsung dalam memecahkan masalah tersebut. Apa yang menjadi janji-janji birokrat dalam menangani isu tersebut dapat dievaluasi dan dimonitoring secara bersama. Tinggal lagi tugas dan peran para politisi dan birokrat untuk menunjukkan sumber daya (resources) yang memungkinkan sebuah isu dapat diselesaikan secara bersama-sama (Charles Perrow, 1979).
Salah satu kebijakan yang sering dikritik adalah soal sertifikasi guru sebagai bagian dari capacity building. Kelemahan mendasar proses peningkatan kapasitas dan kemampuan kompetensi guru kita selama ini lebih karena tiadanya keseriusan kerja sama antara para peneliti di perguruan tinggi dan otoritas pendidikan. Guru selama ini hanya menjadi objek pelatihan dan program yang dikembangkan otoritas pendidkan tanpa riset dan assessment tentang kebutuhan akademis guru itu sendiri. Sebab itu, kebutuhan akan wadah yang secara tegas ingin memperjuangkan profesionalitas guru secara maksimal menjadi penting. Wadah baru ini haruslah didasari oleh adanya kesadaran tentang kebutuhan kita untuk memetakan kemampuan maksimal guru dalam hal pikir dan rasa.
Dapat dibayangkan, jika para peneliti masuk ke dalam ruang proses belajar-mengajar, dua keuntungan sekaligus akan dicapai; melakukan observasi kelas sekaligus mempetakan kebutuhan daya jelajah berpikir seorang guru. Efek dari proses ini pasti akan positif terhadap kompetensi guru, di mana dia diobservasi oleh seorang ahli yang dapat dijadikannya sebagai seorang teman dalam merekonstruksi pembelajaran yang baik. Selain itu, fungsi supervisor atau pengawas juga dapat terbantu dalam rangka meningkatkan keterampilan teksnis para pengawas kita yang rata-rata memiliki kemampuan yang sangat minim tentang proses belajar-mengajar dan psikologi kependidikan.
Eleanor Duckworth (1972) menggambarkan relasi guru-supervisor/pengawas yang setara dapat menyebabkan efek yang negatif terhadap performansi guru. Untuk kasus di Indonesia, dalam beberapa kasus, tidak jarang dijumpai seorang pengawas lebih lemah penguasaan aspek-aspek kependidikannya daripada seorang guru. Tetapi jika peran seorang pengawas diperkuat atau posisi dan peranan supervisor/pengawas dilakukan oleh seorang peneliti dari perguruan tinggi, pasti efeknya lebih positif, di mana guru merasa memiliki sparing partner yang mampu memberinya evaluasi di tempat (on the spot evaluation) yang bermanfaat bagi proses penumbuhan otoritas akademis dan kemampuan mengajar guru.
Harus disadari bersama bahwa kedudukan sekolah bagi masyarakat Indonesia sangat strategis, sebagai tempat penyemaian bakat siswa sekaligus kemampuan guru dalam mengajar. Fungsi dan kedudukan mereka seharusnya mendapat dukungan akademis secara maksimal dari kalangan perguruan tinggi secara konkret dan berkesinambungan. Alangkah idealnya jika posisi para pengawas yang ada saat ini diambil alih oleh para peneliti dari perguruan tinggi yang peduli terhadap mutu pendidikan. Adalah tugas perguruan tinggi untuk melakukan kerja sama secara langsung dengan sekolah, atau paling tidak membuat kluster-kluster binaan, sehingga proses penjaminan mutu pendidikan dapat dikawal secara baik dan berkesinambungan. Sebab itu, harus disadari, suka atau tidak suka, bahwa input mahasiswa di perguruan tinggi akan baik jika sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi siswa dan guru untuk meningkatkan kemampuan mereka. Dan perguruan tinggi adalah kata kunci yang signifikan untuk mendukung harapan peningkatan otoritas akademis guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar