Lelahnya perjalanan dari Bukittinggi-Singkil sedikit sirna ketika mengetahui bahwa sisa perjalanan tinggal 4 jam lagi. Dan, kami betul-betul harus melewati jalanan yang berbukit-bukit. Turunnya turun sekali, naiknya juga tak tanggung-tanggung mendaki. Hampir sama dengan medan di hutan Tapanuli, namun bedanya jalanan di Aceh mulus sekali, hampir tak kami temui jalan berlubang keculi di sedikit titik.
Anak-anak tertidur sampai kakek berseru, "Tuuh, laut sudah kelihatan!" Luqman terbangun dan mulai memandang ke depan. Biru samar-samar dari kejauhan. Makin lama makin jelas. Namun jalanan yang berkelok-kelok membuat sesekali pemandangan laut tertutup. Kami terus menuruni lembah hingga akhirnya kami benar-benar menyusuri jalanan di lereng bukit yang jaraknya hanya ratusan meter dari laut.
Anak-anak seperti kehilangan rasa lelahnya. Makin terus berjalan, kami pun berjumpa dengan semakin banyak pemandangan khas laut yang begitu memesona. Barisan pohon kelapa berjejer di tepi pantai, ikan-ikan yang dijemur, perkampungan nelayan, membuat Azkia memekik kecil, "Rasanya seperti mimpi!". Anak 'gunung' yang baru melihat laut, begitulah ^_^.
Jalan berkelok ke bawah makin mendekati tepi pantai. Saat itulah saya menyadari, mengapa papa mertua saya begitu bersikeras mengajak kami pergi ke kampung halamannya, "Setidaknya sekali seumur hidup", begitu beliau berkata. Ternyata, kampung tempat beliau menghabiskan separuh masa kecilnya memang luar biasa. Kami beruntung bisa berkunjung ke sana.
Tiba di rumah, di hadapan membentang barisan kelapa menjulang tinggi, dan ujung pandangan benar-benar hamparan laut. Tinggal menyeberang jalan raya, 50 meter setelahnya kami sudah bisa merendam kaki di pantai, mencari cangkang siput, kerang, dan tentu saja pasir putih dan pecahan batu karang yang terpahat secara alami.
Lima hari kami di Aceh, dan sungguh tak akan terlupakan. Azkia dan Luqman selalu ingin balik lagi ke sana suatu hari nanti. Berenang di laut, bermain ombak, membuat istana pasir, merasakan desau angin pantai, dan pengalaman melihat orang menangkap ikan
dengan bilah bambu, dan badai yang menjatuhkan buah-buah kelapa kering,tak akan bisa dilakukan di rumah kami yang ada di perbukitan. Jadi, meski kesan tentang Aceh selama ini lekat dengan tsunami dan getaran bumi, buat Azkia dan Luqman Aceh adalah tempat terindah yang pernah mereka datangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar