Tampilkan postingan dengan label Bahasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bahasa. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 Mei 2011

Bahasa Indonesia: Badan Bahasa Tidak Ikut Bikin Kurikulum


JAKARTA, KOMPAS.com — Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Yeyen Maryani mengakui, penyusunan kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia selama ini dilakukan sepenuhnya oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan beserta Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendiknas. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tak pernah dilibatkan dalam penyusunan kurikulum tersebut.

Namun, kata Yeyen, pihaknya akan proaktif untuk memberi masukan agar kurikulum Bahasa Indonesia dapat lebih mudah dipahami siswa sehingga hasil akhir UN untuk Bahasa Indonesia akan lebih baik.

"Sementara ini kurikulum bahasa Indonesia dibuat di bawah Balitbang dan pusat kurikulum, kita tidak pernah diajak duduk bersama untuk membahas ini. Tapi, kami akan proaktif memberi masukan kepada kurikulum," kata Yeyen saat dihubungi Kompas.com, Senin (23/5/2011).

Menurutnya, kurikulum Bahasa Indonesia sejauh ini sudah baik. Ia akan meneliti lebih dalam apakah letak kesalahan terjadi pada guru atau siswa yang sulit memahami sehingga angka ketidaklulusan mata pelajaran tersebut sangat tinggi.

"Saya kira kurikulum Bahasa Indonesia sudah bagus, mungkin saja ada pola pengajaran yang tidak nyambung dari bahasa itu antara guru dengan murid," ujarnya.

Sebelumnya diberitakan, Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) berjanji akan turun tangan memperbaiki mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan mengingat banyaknya siswa jenjang SMA/MA yang tak lulus ujian nasional (UN) pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Berdasarkan data Kemendiknas, Bahasa Indonesia menempati urutan kedua dengan angka tidak lulus terbanyak setelah Matematika. Tahun ini, sedikitnya sekitar 1.786 siswa atau (38,43 persen) SMA/MA yang tidak lulus UN Bahasa Indonesia.

Sumber: edukasi.kompas.com | Senin, 23 Mei 2011

Evaluasi UN Bahasa: Badan Bahasa Berjanji Akan Proaktif


JAKARTA, KOMPAS.com — Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional berjanji akan turun tangan memperbaiki mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan mengingat banyaknya siswa SMA/MA tak lulus ujian nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia tahun ini.

Kurikulum Bahasa Indonesia dibuat di bawah Balitbang dan Pusat Kurikulum. Kami tidak pernah diajak duduk bersama untuk membahas ini.
-- Yeyen Maryani

Berdasarkan data Kemdiknas, Bahasa Indonesia menempati urutan kedua dengan angka tidak lulus terbanyak setelah Matematika. Sekitar 1.786 siswa (38,43 persen) SMA/MA tidak lulus UN bahasa Indonesia.

Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Yeyen Maryani mengakui, penyusunan kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia sepenuhnya dilakukan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan beserta Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemdiknas. Sejauh ini, pihaknya tak pernah dilibatkan dalam penyusunan kurikulum tersebut. Meski begitu, ia akan proaktif memberikan masukan agar kurikulum Bahasa Indonesia dapat lebih mudah dipahami siswa sehingga hasil akhir UN untuk Bahasa Indonesia akan lebih baik.

"Sementara ini kurikulum Bahasa Indonesia dibuat di bawah Balitbang dan Pusat Kurikulum. Kami tidak pernah diajak duduk bersama untuk membahas ini. Tapi, kami akan proaktif memberikan masukan pada kurikulum," kata Yeyen, Senin (23/5/2011), melalui telepon.

Menurut Yeyen, kurikulum Bahasa Indonesia sejauh ini sudah baik. Ia akan meneliti lebih dalam letak kesalahan yang terjadi pada guru atau siswa yang sulit memahami sehingga angka ketidaklulusan mata pelajaran tersebut sangat tinggi.

"Saya kira kurikulum Bahasa Indonesia sudah bagus. Mungkin saja ada pola pengajaran yang tidak nyambung dari bahasa itu antara guru dan murid," ujarnya.

Sumber: edukasi.kompas.com | Senin, 23 Mei 2011

Ujian Nasional: 70 Persen Tak Lulus Karena Bahasa Indonesia



Heru Margianto

DENPASAR, KOMPAS.com — Bukan Matematika, bukan pula Bahasa Inggris, melainkan momok para siswa yang tidak lulus di Bali justru berasal dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang sejak kecil telah diajarkan oleh orangtua. Ironisnya, 70 persen siswa yang tidak lulus gara-gara Bahasa Indonesia kebanyakan berasal dari sekolah negeri.

Fenomena siswa kesulitan mengerjakan soal Bahasa Indonesia ini sebenarnya bukan hal baru. Pada tahun-tahun sebelumnya juga banyak siswa yang gagal dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Usut punya usut, salah satu faktor yang menyebabkan anjloknya nilai Bahasa Indonesia karena sebagian siswa berpikir lebih baik menekuni Bahasa Inggris daripada Bahasa Indonesia karena lebih menjanjikan pada masa mendatang.

”Bahasa Indonesia kualitas dan bobot soal lebih kuat, selain itu telah terjadi euforia bilingual, yakni Bahasa Inggris, yang menurut siswa harus menonjol,” ujar Kepala Dinas Penididikan dan Olahraga (Disdikpora) Provinsi Bali Ida Bagus Anom.

"Ada juga yang menganggap bahwa pelajaran Bahasa Indonesia belum bisa menjanjikan ke depannya daripada pelajaran Bahasa Inggris," ujarnya.

Dalam ujian nasional tahun ini tak ada satu siswa pun yang meraih nilai sempurna dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Namun, menurunnya kualitas siswa dalam mengerjakan soal Bahasa Indonesia ini bukan karena lunturnya jiwa nasionalisme. "Bukan karena itu, tetapi banyak faktor yang seperti saya sebutkan tadi,” kata Anom.

Untuk tingkat kelulusan, Bali merupakan provinsi dengan nilai kelulusan tertinggi secara nasional. Dari 42.572 siswa SMA/MA/SMK yang mengikuti ujian nasional, hanya 20 siswa yang dinyatakan tidak lulus.

Sumber: edukasi.kompas.com | Senin, 16 Mei 2011

Evaluasi: Bahasa Indonesia Kalah Gengsi...


JAKARTA, KOMPAS.com — Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Yeyen Maryani menilai, rendahnya sikap positif masyarakat terhadap mata pelajaran Bahasa Indonesia membuat mata pelajaran tersebut menjadi kalah bergengsi dengan mata pelajaran Bahasa Inggris.

Itu terkait dengan sikap positif masyarakat yang masih rendah terhadap Bahasa Indonesia. Masyarakat lebih prestisius menggunakan bahasa asing.
-- Yeyen Maryani



Sebagai bahasa sehari-hari, bahasa Indonesia seharusnya terus berkembang pesat, terutama yang terkait dengan proses pembelajaran. Atas dasar itu, para siswa dan tenaga pengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia harus terus diberikan buku-buku yang mendukung proses pembelajaran dan pemahaman pada mata pelajaran tersebut.

"Itu terkait dengan sikap positif masyarakat yang masih rendah terhadap bahasa Indonesia. Masyarakat lebih prestisius menggunakan bahasa asing. Memang tidak dilarang, tetapi dalam berbicara kita harus mengutamakan bahasa Indonesia. Sepertinya orang menganggap bahasa Indonesia kurang menjual, padahal bahasa Indonesia lambang jati diri. Kalau begini, bagaimana kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai bentuk jati diri bangsa," ujar Yeyen kepada Kompas.com, Selasa (24/5/2011).

Yeyen menambahkan, pemahaman dan penggunaan bahasa Indonesia harus diutamakan, terlebih semua telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang bagaimana kita harus mengutamakan jati diri dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Seperti diberitakan, berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional, Bahasa Indonesia menempati urutan kedua dengan angka tidak lulus terbanyak setelah Matematika. Tahun ini sekitar 1.786 siswa (38,43 persen) SMA/MA tidak lulus ujian nasional Bahasa Indonesia.

Sumber: edukasi.kompas.com | Selasa, 24 Mei 2011

Evaluasi: Bahasa Indonesia Dinilai Terlalu Sulit?

INDRA / LATIEF


JAKARTA, KOMPAS.com — Rendahnya angka kelulusan mata pelajaran Bahasa Indonesia pada ujian nasional 2011 jenjang SMA/MA dinilai akibat soal terlalu sulit. Naskah soal tergolong sulit karena lebih mengutamakan soal yang bersifat penalaran.

Demikian penilaian Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Yeyen Maryani terkait rendahnya nilai ujian nasional Bahasa Indonesia. Berdasarkan data Kemdiknas, Bahasa Indonesia menempati urutan kedua dengan angka tidak lulus terbanyak setelah Matematika. Tahun ini sekitar 1.786 siswa (38,43 persen) SMA/MA tidak lulus ujian nasional Bahasa Indonesia.

"Banyak faktor yang memengaruhi rendahnya nilai ujian nasional Bahasa Indonesia. Dari informasi yang saya terima, rendahnya nilai Bahasa Indonesia akibat soalnya tergolong sulit dan lebih mengutamakan soal yang sifatnya nalar," kata Yeyen kepada Kompas.com, Selasa (24/5/2011).

Akibatnya, lanjut Yeyen, siswa sulit memahami beberapa paragraf yang disajikan dalam soal ujian nasional. Sementara ketika mereka belajar atau bimbingan belajar, guru ataupun instruktur tidak memfokuskan pada soal-soal semacam itu.

"Karena dibagi dalam beberapa materi, seperti pemahaman EYD dan lain-lain," ujarnya.

Meski sampai saat ini belum bisa memastikan indikator utama penyebab rendahnya angka kelulusan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Yeyen mengungkapkan, ada laporan dari daerah bahwa konsentrasi siswa saat mengerjakan soal Bahasa Indonesia terganggu karena sistem yang diterapkan.

"Ada laporan di daerah bahwa sistemnya juga mengganggu. Terutama karena Bahasa Indonesia diujikan pada hari pertama, banyak pejabat yang meninjau, jadi siswa-siswi menjadi tegang, mengganggu konsentrasi. Saya pikir itu hal lain yang juga memengaruhi," kata Yeyen.

Komponen lainnya, kata Yeyen, adalah kemampuan siswa secara pribadi terhadap mata pelajaran Bahasa Indonesia yang mungkin memang rendah.

"Tetapi, jika jebloknya nilai ujian nasional terjadi secara umum (banyak), berarti bukan karena pribadi, tetapi mungkin memang soalnya benar-benar sulit. Proses pembelajaran di kelas kurang efektif, kurikulum yang disajikan, atau faktor buku, dan bisa saja kemampuan gurunya yang kurang," ujar Yeyen.

Sumber: edukasi.kompas.com | Selasa, 24 Mei 2011
|

Selasa, 01 Februari 2011

Andai Suratnya Apik

ROHYATI SOFYAN


MUNGKIN saya termasuk orang yang sangat terlambat mengetahui kabar buku baru apa saja yang terbit dan dianggap bermutu plus laris manis di pasaran. Keadaan membuat saya jarang bisa mengakrabi dunia perbukuan dan trennya. Tiada toko buku di kota kecil saya, hanya gerai Indomaret Limbangan yang setia menyajikan beberapa jenis bacaan yang masuk kategori pop. Itu pun sudah saya syukuri. Ongkos transportasi kian mahal sehingga mobilitas saya sebatas di kota kecil. Hanya bisa ngiler melihat iklan buku baru di internet. Tentu saya berharap buku yang dibeli di sana tak mengecewakan. Setidaknya sebanding dengan uang yang saya keluarkan.

Dan semua sebenarnya berpulang pada penulis dan penerbit. Bahwa selain isi yang layak dan menarik, juga sajian gramatika sampai pengetikannya cukup apik. Surat Kecil untuk Tuhan adalah buku yang sayangnya masuk kategori di atas, bagus namun isinya secara gramatika sangat menyedihkan. Buku yang terasa sempurna karya Agnes Davonar (www.agnesdavonar.net) itu mestinya harus disunting ulang secara kebahasaan. Apalagi jika telah mencapai cetakan ke-8.

Banyak sekali contoh kata dan kalimat yang tak efisien, panjang dan bertele-tele, juga membingungkan susunan kalimatnya ditambah bagi pembaca awam yang tak terbiasa dengan bahasa slank (baca: selingkung) khas anak muda masa kini (karena faktor pengetahuan, pergaulan, usia, sampai fisik), niscaya akan geregetan sebab tak bisa mengikuti atau sekadar menambah paham akan arti kosakata terkini.

Sepertinya Agnes dan Davonar (juga penerbit) harus bekerja keras untuk merevisi ulang secara lebih baik dan apik. Bukankah buku itu akan difilmkan ke layar lebar sekira 15 Januari 2011, pada hari kanker anak sedunia?

Alangkah menyedihkan jika informasi kebahasaannya malah menyebar ke mana-mana dan dianggap lumrah, padahal mereka telah meraih penghargaan sebagai penulis online terbaik se-Asia Pasifik. Alangkah membanggakan jika disunting lagi gramatikanya sehingga lebih apik dan tak melelahkan pembaca yang peduli pada kaidah berbahasa maupun awam yang tak tahu apa-apa.

Adalah Gita Sesa Wanda Cantika (Keke), gadis remaja ceria yang tabah dan tegar berjuang dalam hantaman badai tak terduga, badai itu kanker jaringan lunak yang kasusnya jarang ada.

Dan Keke harus menjadi yang pertama di Indonesia (dan harapannya, hanya ia saja, kalau bisa). Tim dokter angkat tangan menanganinya. Kanker ini tergolong ganas dan tidak memiliki tanda-tanda. Berkembang sangat cepat. Dalam waktu lima hari bisa dipastikan kanker itu mulai terlihat di bagian wajah Keke kalau segera tidak diantisipasi! (Halaman 41). Namun kekuatan cinta dari lingkungan keluarga dan kawan-kawannya membuat ia tetap tegar. Terutama dari ayahnya, Joddy Tri Aprianto. Figur yang sangat dekat dengannya.

Bagaimanapun, Keke, dalam usia belianya, 13 tahun, mampu bertahan melewati semua ujian-Nya, sekaligus menyelesaikan ujian sekolah pada usia 15 tahun. Dan kisah Keke, yang dirangkum Agnes Davonar dengan indah (meski tak mengenal Keke secara fisik), sebenarnya bisa sangat menginspirasi orang banyak agar tabah jika dihantam runtutan masalah.

Kita bisa berkaca pada pengalaman Keke dan apa yang dirasakannya. Hidup ini sebenarnya indah dan harus disyukuri, hidup yang singkat bagi Keke terasa begitu sangat berharga, ia mengajarkan banyak hal dalam deraan rasa sakitnya; mencoba kuat dan berdaya guna! Hingga ketika di penghabisan napasnya, pukul 11 malam, meninggalkan harum melati yang menguar, harum tak terlupakan bagi yang ia cintai dan mencintainya.

Jangan remehkan kekuatan bahasa! Ia bisa menjadi sesuatu yang jelas substansinya bagi penulis yang paham dan peduli, bisa juga malah mengaburkan makna menjadi sesuatu yang mubazir bagi penulis yang abai dan enggan belajar.

Paragraf kutipan dari halaman 41 sebenarnya terbalik, mestinya kalau tidak segera diantisipasi. Sebab segera tidak dan tidak segera tentu berbeda pemahamannya. Apakah Agnes Davonar sedang menulis dengan gaya penulisan asli berbahasa Inggris sehingga seolah tengah menerjemahkan kata per kata? Dan banyak sekali kata dan kalimat salah sampai mubazir yang bertebaran, bahasa Indonesianya terasa melelahkan.

Andai direvisi lagi barangkali bisa menciutkan jumlah halaman bukunya, namun itu tak masalah. Setidaknya tanda baca dan kaidah penulisan juga mendapat perhatian. Pun penggunaan bahasa selingkung yang lagi ngetren, bagi saya secara dan cara berbeda maknanya jika ditempelkan pada suatu kalimat.

Terlalu banyak orang menggunakan secara secara sewenang-wenang hingga menjadi sesuatu yang sebenarnya tak perlu. Apakah masyarakat sebenarnya tengah dibingungkan pengguna ragam bahasa demikian? Kalau begitu, bagaimana tanggung jawab penulis sampai penerbit untuk peduli dan meluruskan?

Tidak mengapa bahasa selingkung ada dalam tulisan, namun sebaiknya diberi catatan kaki, semacam penjelas agar awam bisa paham dan membedakan.

Pun penulisan kitab suci Al Quran sebaiknya konsisten dengan Al Quran saja (meski aslinya dari bahasa Arab, Al Quran), tidak mengapa jika Agnes Davonar tidak tahu hingga inkonsisten karena masalah perbedaan keyakinan, namun sebaiknya mendapat perhatian jika masih ingin belajar. Sebab, proses belajar (juga mengajar) itu sebenarnya indah dan bermanfaat. Kita bisa melihat hidup sebagai sesuatu yang kaya warna; mengisi dan diisi hingga berisi!

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 29 Januari 2011