Indonesia mempunyai sejarah kelam menyangkut sampah. Yaitu ketika bukit Tempat Pembuangan sampah Akhir (TPA) Leuwigajah, Jawa Barat longsor pada tanggal 21 Februari 2005 silam. Bencana sampah terbesar di Indonesia dimana 143 korban jiwa meninggal dan puluhan luka-luka.
Tapi seperti banyak tragedy lainnya. Bencana ini seolah ingin ditutupi dan dilupakan. Padahal bencana serupa bukan tidak mungkin terulang lagi. Banyak penyebabnya; mulai dari kemampuan Dinas Kebersihan yang belum maksimal mengatasi masalah sampah di TPA. Serta kesadaran masyarakat yang masih rendah dalam menerapkan pedoman 3R (Reduce, Reuse dan Recycle) membuat tumpukan sampah bagaikan ladang emas bagi pemulung. Mereka mendirikan bedeng-bedeng di seputar TPA agar memudahkan operasional. Tetapi sekaligus menantang bahaya dengan menghirup gas beracun tiap harinya dan ancaman longsor dari perbukitan sampah.
Permasalahan sampah di hilir tidak mungkin terurai tanpa mengetahui penyebab di hulu. Bahkan pengibaratan homo homini lupus bagi permasalahan sampah mungkin tepat. Karena tanpa sadar “manusia menjadi serigala bagi manusia” lainnya. Dibawah ini saya mengutip “curhat” seorang anggota milis greenlifestyle sebagai berikut:
“Pagi ini saya basa-basi dgn seorang SATPAM, yang ternyata tinggal di jalur kali Angke tempat saya mengadakan acara tgl. 23 jan, saya menanyakan kalau warga di tempat bapak buang sampah kemana ?,
Dengan enteng dia bilang: ” Ke tanah kosong dekat kali, lalu ke kali Angke, memang tdk ada tempat penampungan agar diangkut dinas kebersihan, dikampung-kampung memang sudah biasa Pa, buang sampah di kali, kalau buat penampungan sampah kan mahal dan belum biaya angkutan sampahnya”,
Saya bilang: “Apa warga tahu kalau sampah yg dibuang ke kali efeknya di hulu sungai jadi banjir?”
“Katanya tahu sih pa, abis gi mana lagi, kan warga mah dari dulu juga memang buang sampahnya ke kali”.
Pagi ini saya ketemu Mobil Dinas kebersihan sampah di jalan, saya parkir motor saya, menanyakan apakah mau mengangkut sampah dari kampung yg saya katakan, katanya bisa aja pa, sampahnya kumpulkan saja di gang nanti angkut, saya tanya biayanya berapa pa, katanya Rp. 25.000 per KK, / saya rasa mahal juga ya.
Saya coba tanya-tanya ke warga, ternyata memang warga banyak org tdk mampu untuk hal seperti itu, sementara sampah akan tetap di buang ke kali, dan terjadi antar generasi ke generasi, ingin rasanya membuat solusi, tapi masi buntu……..”
Beberapa orang akan mengatakan: “Ah, iuran Rp 25.000/bulan sih kecil. Masa ngga bisa bayar? Tapi permasalahan bukan pada besar kecilnya iuran tetapi pada sikap mental. Pada rasa tanggungjawab sosial yang terkikis dan nyaris hilang. Pada ketidak pedulian akan akibat yang disebabkan sampah yang dibuangnya. Sekecil apapun sampah tersebut.
Tidak percaya? Yuk, kita kupas tuntas peranan tiap pihak yang menyebabkan lingkaran setan seolah tak berujung tersebut.
1. Produsen sampah.
Terbanyak adalah rumah tangga. Di daerah pemukiman padat, jumlah yang harus dibayar Rp 3.000-Rp 5.000/Kepala Keluarga untuk honor tukang sampah setempat. Ditambah biaya retribusi Rp 3.000/KK untuk biaya transportasi sampah dari Tempat Pengumpulan sampah Sementara (TPS) ke Tempat Pengumpulan sampah Akhir (TPA). Jumlah sekecil itupun banyak warga enggan membayar dan memilih: membakar sampah, meletakkan ditanah kosong atau membuangnya diam-diam di malam hari/dini hari ke aliran sungai.
Mengapa malam hari/dini hari? Karena ternyata mereka masih punya rasa takut dan sungkan apabila ada yang menegur tindakannya. Anehnya warga yang tidak mau membayar retribusi sampah dan mengaku tidak mampu membayar tersebut bisa berhape-ria. Bisa facebook-an. Walau berhape Cina, urusan sampah menjadi nomor sekian. Yang penting lenyap dari rumah, nggak kelihatan mata.
Sampahnya menyebabkan wilayah orang lain banjir? Nggak masalah, kan bukan wilayah rumahnya. Asosial yang menghinggapi wong cilik. Tentu saja tidak semua wong cilik. Kasus ini menimpa penduduk pemukiman padat yang terimbas perilaku hedonis disekelilingnya.
2. Tukang sampah.
Tukang sampah yang umumnya menggunakan gerobak untuk mengangkut sampah ini berada pada hierarki terendah sistem pengangkutan sampah ke TPA. Karena statusnya tenaga lepas maka umumnya mereka juga pelaku usaha rongsokan. Mereka tak segan membongkar sampah rumah tangga untuk mencari sampah anorganik yang bisa dijual seperti kardus, kaleng dan plastik bekas air mineral.
Jadi berbaikhatilah pada mereka dengan memisahkan sampah dapur dengan sampah yang masih laku dijual. Sayangnya mereka memegang teguh: bisnis adalah bisnis. Jangan berharap mereka sudi mengangkut sampah di jalan-jalan yang mereka lalui. Bahkan beberapa tukang sampah hanya mau mengangkut sampah dapur. Selain sampah dapur, mereka tidak mau. Seorang teman pernah marah-marah karena tukang sampah menolak membantu membuang krans ketika bunganya sudah layu. Sehingga terpaksa dia memasukkan sampah krans tersebut ke dalam mobilnya dan membuang ke kontainer di depan pasar.
Ada kisah sedih lainnya, penulis pernah memergoki tukang sampah yang membuang hasil angkutannya ke dalam aliran sungai. Ketika ditegur, si tukang sampah berkilah kontainer sampah di TPS penuh, belum dikosongkan padahal dia harus mengangkut sampah kembali. Sampah dari rumah-rumah harus segera diangkut apabila tidak mau kena marah ibu-ibu. Ketika saya mendatangi ketua RT dan RW untuk meminta penjelasan, hanya dijawab dengan mengangkat bahu tanda pasrah. Wah……
3. Dinas Kebersihan
Karena system pengelolaan sampah di seluruh kota Indonesia masih menganut prinsip yang sama yaitu: kumpul, angkut dan buang maka peran Dinas Kebersihan menjadi amat vital.
Andaikan terjadi privatisasi Dinas Kebersihan dan para pegawainya mogok kerja maka sampah akan bertebaran dari Sabang hingga Merauke.
Bencana yang lebih besar dari padamnya listrik dari Sabang hingga Merauke. Karena bau, aliran air lindi sampah, belatung yang keluar dari sampah organik dan lalat yang bertebaran akan menghiasi setiap sudut kota. Menyebarkan ancaman yang mengcekam. Mengakibatkan ketidakstabilan politik, ekonomi dan sosial.
Berlebihan? Bayangkan saja dulu ^_^
Karena itu petugas pengangkut sampah dari TPS ke TPA sering bersikap “jual mahal”. Walaupun sudah ada garis retribusi dan pembagiannya tetapi pada daerah-daerah tertentu mereka meminta “tip/honor khusus”, contoh nyata adalah kasus di atas. Pada beberapa kasus penulis menjumpai beberapa daerah dimana ketua RW harus mengeluarkan dana ekstra agar sampah dari TPSnya diambil tuntas. Apabila tidak maka pengambilan sampah akan “dicicil” atau “ditunda” beberapa hari. Mungkin untuk memberikan “efek jera” pada Ketua RW dan masyarakat daerah tersebut. Ironisnya daerah yang terkena efek jera itu umumnya daerah pemukiman padat.
4. Pemerintah Daerah
Pemegang otoritas tertinggi masalah pengelolaan sampah ini umumnya mengecilkan arti sampah. Bahkan Kota Bandung mengukuhkan Dinas Kebersihannya sebagai Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan. Sehingga PD Kebersihan harus menghasilkan inkam agar cashflow perusahaan lancar. Karena tidak lancar maka PADpun dikucurkan. Tidak kurang dari Rp 16 milyar per bulan dikeluarkan pemerintah Kota Bandung agar PD Kebersihan bisa menjalankan fungsinya.
Tetapi permasalahan utama berawal dari tujuan perusahaan yang harus menghasilkan inkam dan bukan menyosialisasikan pengelolaan sampah terhadap masyarakat.
PD Kebersihan menjadi impoten. Sebagai perusahaan, kok rugi melulu. Mau mengedukasi dan menyosialisasikan 3R, statusnya kok perusahaan!? Sehingga status perusahaan menjadi sekedar nama tanpa menjalankan fungsi.
Mungkin awal dibentuknya PD Kebersihan cukup visioner. Merubah paradigma sampah sesuatu yang menjijikkan menjadi sampah adalah uang. Sayangnya komposting tidak berjalan, pengangkutan sampah tidak mampu dilakukan 100 % dan uang yang diharap datang tak kunjung tiba.
Cara pembuangan sampah yang sama mengakibatkan setiap kota di Indonesia mempunyai permasalahan yang nyaris sama. Mungkin kebijakan yang diambil setiap pemerintah daerah berbeda tetapi esensinya sama. Yaitu membiarkan masyarakat larut dalam suatu lingkaran. Suatu ketergantungan yang berakibat fatal apabila salah satu pihak terpaksa bertindak diluar lingkaran.
Salah satu penyebabnya adalah semakin menjauhnya TPA dari pusat kota atau bahkan tidak ada lagi lahan yang bisa digunakan sebagai pembuangan sampah akhir. Suatu keniscayaan karena peningkatan jumlah penduduk urban tidak diimbangi kebijakan pro rakyat. Sehingga setiap tahunnya kota ibarat gula yang memikat semut. Memikat penduduk desa yang terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya sekaligus meninggalkan kearifan lokalnya.
Tidak salah apabila pemerintah daerah mampu mengatasi urbanisasi dan berhenti berkeluh kesah.
Dan sebagai produsen sampah sekaligus bagian hulu dari permasalahan sampah maukah kita bertindak? Memisah sampah dengan membuang sampah organik pada lubang resapan biopori atau mengomposnya?
Memisah sampah anorganik berdasarkan produsennya dan membuang sampah tersebut di depan kantor produsen produk tersebut.
Karena tugas merekalah untuk mengelola sampah tersebut sekaligus membantu kita keluar dari lingkaran setan sampah.
Indonesia Solid Waste Association (Inswa) pernah “menegur” produsen air mineral. Dulu sampahnya belum laris tanjung kimpul seperti sekarang. Karena proses memilah dan meleburnya hingga menjadi biji plastik belum dikenal secara luas. Inswamengumpulkan sampah bekas air mineral dan membuangnya pekarangan produsen tersebut. Sekarang, siapapun tentu mafhum bahwa sampah bekas air mineral diburu tukang rongsok dan pemulung.
Masih buntu? Yuk, kita bekerjasama dengan supermarket dan minimarket. Karena di mata retail: “Pembeli Adalah Raja”
Kalau pembelinya bungkem maka retailpun tidak tahu apa yang dikehendaki “Raja”nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar